Seperti perasaan negatif yang kita alami lainnya, rasa ketidaknyamanan yang umumnya dirasa, kalau tidak salah berasal dari sistem kepercayaan yang ditanamkan sejak dulu. Mungkin dari mulai kita begitu muda, sampai rasanya tidak sadar ketika itu mulai terbentuk sesuatu yang mengakar dalam diri. Begitu beranjak dewasa, bisa jadi kita jadi sadar, dengan begitu secara sadar juga berusaha mengenyahkan belief system yang tidak jarang membuat posisi diri jadi lebih sulit, atau jika masih nyaman dengan sistem ini, atau tidak sadar akan meneruskan sampai mati.
“Ngomong apa sih, Lei?”
Soal seks, sebenarnya. Saya tiga perempat yakin, kalau di pikiran bawah sadar sebagian besar masyarakat Indonesia, seks adalah hal yang masih membuat jengah untuk dibicarakan secara terbuka, dan blak-blakan. Dipikirkan sendiri; boleh saja. Mencari “materi” seperti video, gambar atau teks untuk referensi di internet; tak ada yang melarang. Dijadikan bahan bercanda; tentu seru, apalagi kalau dengan sesama gender. Tetapi god forbid kalau tiba-tiba orang membuka pembicaraan di forum resmi atau setengah resmi, bahwa seks adalah kebutuhan primal manusia. Dan banyak cara yang bisa diambil untuk memenuhinya. Terasa panik juga dan darah mengalir deras begitu anak kita bertanya, “Ma, Pa, sebenarnya kalau orang berhubungan seks itu artinya mereka ngapain?”
Biasanya jika mendapatkan diri di posisi demikian, reaksi kita bisa berbeda-beda. Jika dari yang saya tengarai, dari kecil hingga dewasa, kira-kira seperti ini.
Marah dan menghardik.
Pengalaman masa kecil sampai remaja, bahkan sampai usia saya 20an diwarnai dengan adegan seperti ini; di ruang keluarga kami sedang menonton sebuah film bersama. Lalu ada adegan pria dan perempuan berciuman. Ayah saya sudah dipastikan langsung bereaksi dengan, “Leila, hayo, kamu belum 17 tahun!” atau ketika saya sudah melewati usia itu, “Leila…”
“Pa, aku udah 22 tahun.”
“Kamu tadi bukannya belum solat Isya?”
“Iya nanti aja”
“Hayo sekarang! Jangan ditunda-tunda”
Every. Time.
Tertawa.
Ini sudah saya ceritakan sebelumnya di post ini. Ketika itu saya sedang menonton film di screening tertutup, tentang hubungan seorang perempuan yang sudah berusia 60an, dan pria yang baru menginjak usia 20an. Filmnya sama sekali bukan dibuat untuk lucu-lucuan, dan diceritakan secara sensitif. Tetapi ketika adegan menjadi terlihat sangat intim dan membuat sedikit tidak nyaman, penonton malah tertawa seolah itu adegan komedi.
Bercanda.
Ketika itu sedang konferensi digital, dan ada satu founder vibrator dengan teknologi bisa dikendalikan secara remote dengan aplikasi dari mana saja, asal aplikasi di ponsel (sebut saja) istri, terhubung dengan aplikasi di ponsel (sebut saja) suami. Tujuannya mulia, karena sang founder pernah LDR dengan istrinya ketika dia harus menuntut ilmu di luar negeri, karena itu muncul ide untuk membuat suami bisa memuaskan hasrat istri dari mana pun di dunia ini. Orang asing dan sebagian orang Indonesia menanggapinya dengan ketertarikan yang tulus. Sebagian besar pria Indonesia menjadikannya running joke sepanjang konferensi.
Kabur.
Ketika itu saya sedang punya pacar, dan ada teman saya yang, kalau ingin mampir ke rumah bersama anaknya, pasti bertanya dulu ke saya, apakah pacar saya sedang ada di rumah saya. Kalau ya, dia mengatakan kalau lebih baik dia tidak jadi saja. Jika saya tanya kenapa, dia selalu menjawab; “Kalau anak gue tanya itu siapa, gue bingung jawabnya!”
Saya hanya garuk-garuk kepala, kenapa harus bingung, sih? Kenapa tidak jawab apa adanya saja, toh tidak ada sangkut pautnya dengan dia?
Teman yang sama juga sering berkata kalau worst case scenario dia dalam hal parenting adalah jika anaknya bertanya soal seks. “Gue harus jawab apa, gila! Mending gue pura-pura bego atau belagak tidur aja.”
Errr. Good luck growing up, kid!
Sulit memang mengubah belief system diri. But it’s doable. Lebih bisa dilakukan lagi menanamkan belief system ke anak kita. Apakah kita mau melakukan hal yang sama? Atau berbeda? Pilihan pada masing-masing, asal dilakukannya dengan sadar saja.
Have an amazing weekend!