Museum Nasional: Akhirnya Ketemu yang Sungguhan

LAHIR dan besar di Samarinda, museum pertama yang saya kunjungi justru berada di Tenggarong, ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara: Museum Mulawarman.

Lupa kapan waktu persisnya, namun yang jelas baru kali itu saya benar-benar melakukan “kontak” dengan artefak sejarah, termasuk benda-benda yang pernah disebut dan ditampilkan fotonya dalam buku pelajaran IPS SD.

Gedung Museum Mulawarman itu dulunya merupakan istana Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, bentuk terakhir dari Kerajaan Kutai yang masih tercatat sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Sehingga hampir semua koleksi yang dipamerkan berhubungan dengan keberadaan kesultanan, budayanya, dan runutan era peradaban di Kaltim. Mencakup objek-objek arkeologis yang ditemukan di hulu Sungai Mahakam.

Di salah satu ruangan, ada jejeran (sesuatu yang seperti) batu dengan tinggi sekitar  1 meter. Lengkap dengan torehan tulisan beraksara asing.

Jadi, ini yang namanya prasasti. Batu yang dipahat berupa tulisan dari zaman dulu.” Kurang lebih begitulah penjelasan Pak Romiansyah, guru SD yang mendampingi kunjungan darmawisata saat itu.

Namanya juga anak-anak, pasti penasaran dengan hal-hal yang baru mereka lihat. Prasasti itu pun disentuh, dipegang-pegang, bahkan diketuk-ketuk.

Tok… Tok…

Kok ada keluar suara?

Prasasti-prasasti itu ternyata imitasi. Terbuat dari fiber dan bertekstur khusus, meskipun dibuat semirip mungkin dengan batu kali sungguhan. Ya, yang begitu saja sudah cukup kok.

Sampai pada Jumat (8/7) pekan lalu, iseng datang ke Museum Nasional dan akhirnya bisa melihat langsung bentuk asli Prasasti Yupa/Prasasti Muara Kaman/Prasasti Kutai, atau yang ditulis sebagai Prasasti Mulawarman dalam kartu penjelasannya. Diketuk-ketuk juga. Refleks.

Batunya padet.

Hanya saja, tetap ada yang disayangkan. Baik atas prasasti-prasasti asal Kaltim tersebut, maupun terhadap tata kelola penyajian koleksi di Museum Nasional tersebut.

>> Di Tenggarong, replikanya saja menjadi salah satu atraksi utama. Semua Prasasti Yupa dikumpulkan dalam satu ruangan khusus. Sedangkan di Museum Nasional, prasasti-prasasti Kerajaan Kutai tersebar di beberapa titik. Tiga prasasti berada di seberang Taman Arca, di bawah lengkung jalur menuju ruang Prasejarah. Beberapa Prasasti Yupa lainnya ditempatkan di lantai 2 gedung samping, mengenai peradaban manusia. Prasasti-prasasti Kerajaan Kutai itu sangat mudah dikenali karena bentuknya yang cenderung kasar, tinggi. Tanpa hiasan maupun ornamen layaknya prasasti-prasasti asal pulau Jawa yang lebih muda.

IMG_0932
Tiga di antara Prasasti Yupa, ditempatkan di depan Taman Arca. Barangkali termasuk yang belum terbaca dan diketahui makna tulisannya.
IMG_0957
Prasasti Yupa utama, yang menjelaskan silsilah Raja Mulawarman hingga ke Kudungga, kakeknya. Ditempatkan di lantai 2 gedung eksibisi tematik.

Ya enggak kenapa-kenapa juga sih kalau Prasasti Yupa dari pedalaman Kaltim dibawa dan disimpan di Jakarta, jauh dari “kampung halamannya”. Kan awalnya untuk dipelajari, dan dijaga kondisinya. Tinggal bagaimana memperlakukannya saja.

>> Agak mengganjal rasanya, ketika melihat ada coretan kode dengan cat putih di ruang kosong prasasti. Tidak adakah cara lain yang lebih etis untuk menandai artefak sejarah dibanding mencoretinya? Penomoran seperti ini tidak terjadi pada prasasti saja, melainkan juga di arca-arca, dan peninggalan sejarah lain.

>> Masih mengenai prasasti. Entah karena kekurangan tempat, atau sekadar memanfaatkan ruang kosong, dua area terbuka yang nyempil di depan Taman Arca samping pintu masuk utama dijejali prasasti-prasasti dari berbagai era. Jadi sempit sekali, bikin pengunjung awam enggan untuk singgah dan memerhatikan detailnya.

IMG_0929
Dibanding yang lain, prasasti warna merah terang di sebelah kanan sangat menarik perhatian. Tulisannya pun besar dan mudah dibaca: HYDRANT :p Sempit banget, kan?

>> Dari hampir semua area pameran terkategorisasi, hanya area arca dan prasasti saja yang terkesan bercampur baur tanpa benang merah jejak masa (timeline). Penataannya seakan bertujuan dekoratif, supaya rapi, jadi semacam hiasan bangunan. Sama-sama arca, sama-sama prasasti, digabrukin semua jadi satu.

IMG_0934

Barangkali ada pertimbangan arkeologis tersendiri di balik penataan seperti itu, akan tetapi sangat terasa mengganggu ketika dua arca yang bersebelahan ternyata berasal dari zaman yang berbeda. Kemudian, ada arca lain dari masa yang sama, yang lokasinya di pojok ruangan.

Belum lagi arca-arca bernuansa Hindu dan Buddha ditempatkan secara acak, dicampur. Kenapa arca-arca bernuansa Hindu tidak dikumpulkan jadi satu, begitupun dengan arca-arca Buddhis? Tujuannya sederhana kok, supaya lebih mudah ditelusuri, dicermati, dan dinikmati detail-detailnya.

>> Apabila ingin berbagi informasi, apalagi pengetahuan bidang tertentu, alangkah lebih baik apabila disampaikan dengan benar dan tuntas. Bukan sekadarnya. Sehingga pengunjung museum tidak akan pulang dengan informasi keliru, atau clouded knowledge.

Kesan seperti itu yang ditangkap dari membaca kartu-kartu keterangan di hampir semua arca atau prasasti. Hampir semua, sebab ada yang tidak dilengkapi penjelasan apa pun. Berikut adalah salah satu contohnya.

IMG_0926

Pada kartu penjelasan ini, seolah terkesan bahwa Amoghapasha Avalokiteshvara adalah entitas tunggal. Padahal Amoghapasha dan Avalokiteshvara adalah dua figur berbeda. Amoghapasha memang kerap disalahkirakan sebagai Avalokiteshvara ala Tibet secara tampilan artistik.

Dalam kasus ini, istilah-istilah yang ditampilkan memang berasal dari ranah keagamaan tertentu, tapi mbok ya sedikit cermat saat menyajikannya. Setidaknya atas nama arkeologi budaya. Saya sendiri pun bukan seorang pelaku Buddhisme aliran Tibet.

Apakah penting? Namanya kan museum.

Terlepas dari beberapa hal di atas, Museum Nasional tetap merupakan salah satu museum besar dengan koleksi cukup komprehensif di Indonesia yang pernah saya kunjungi. Rasanya menyenangkan, dan bakal datang ke sana lagi.

Di sisi lain, semoga makin banyak kota di Indonesia yang memiliki museum besar, membanggakan warga setempat, dan menyenangkan untuk didatangi.

[]

4 respons untuk ‘Museum Nasional: Akhirnya Ketemu yang Sungguhan

  1. Sebagai salah satu tim akreditasi rumah sakit.. Perlu saya sampaikan bahwa radius 2 meter dari hidran tidak boleh ada benda apapun termasuk arca dan prasasti….. Kalau kebakaran kebayang gimana mau mindahin arca duou… Ckckck

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s