“ITU ngapain sih?”
Untuk pertanyaan-pertanyaan seperti di atas, saya lebih sering mendapat jawaban seperti ini:
“Jangan keburu jadi tua deh, Gon! Enggak seharusnya orang seumuran kamu pusingin soal gituan.”
Begitulah kata seorang kenalan yang menganggap saya naif, tapi sinis saat merespons banyak hal.
Dianggap naif, barangkali lantaran saya terlampau lugu (dan cenderung bodoh) dalam memandang realitas hidup di lingkungan yang baru. Pada saat berhadapan dengan sesuatu yang belum pernah ditemui, tanggapannya hanya tiga macam: terpukau, padahal menurut orang lain biasa-biasa saja; reaksi datar, terkesan cuek; atau bikin pengin nyela, meskipun agak lebay dan berlebihan. Nah, dari bentuk tanggapan yang terakhir inilah, aroma sinis terendus orang-orang di sekitar. Padahal seharusnya sih wajar saja. Lain ladang lain belalang, beda kota beda budayanya. Ya anggap saja sedang mengalami cultural shock, konsekuensi yang tak terelakkan.
Berikut beberapa contohnya.
Klakson
Soal “makhluk” yang satu ini pernah saya tulis beberapa pekan lalu. Ketika para pengendara di Jakarta terlalu royal berbagi bunyi klakson kendaraannya kepada orang lain.
Awalnya, saya pikir orang-orang Jakarta sendiri sudah sangat terbiasa dengan kondisi begini. Sampai kemarin enggak sengaja baca tweet yang di-like Mas Masna ini.
Perihal ini, saya naif dan sinis karena “kayak enggak pernah bunyiin klakson aja,” dan “tindakan membunyikan klakson secara terus menerus itu kan sebagai bentuk ekspresi atas perasaan tertekan, emosional, dan dilampiaskan di jalan raya.”
Makan di Restoran Populer dan Sangat Ramai
Mengapa para pengunjung, yang terdiri dari keluarga-keluarga, mau-maunya menunggu begitu lama di restoran tertentu, untuk kemudian memesan menu-menu yang sebenarnya tidak terlalu mereka nikmati? Setelah pesanan dihidangkan, langsung ludes. Cepat banget makannya. Seolah mereka sudah tidak pernah makan apa pun yang layak konsumsi selama tiga hari. Amun jar urang Banjar itu, kada dikunyah langsung dihirup.
Padahal logisnya kan begini. Restoran tersebut begitu terkenal karena sajiannya lezat, rasa dari menu-menu yang disuguhkan. Untuk benar-benar bisa menikmati cita rasa makanan yang disajikan dengan maksimal, tentu harus dimakan dengan cermat, bukan dengan melahapnya ibarat vacuum cleaner. Durasi yang lama justru bukan pada saat makan, melainkan ngobrol sendiri-sendiri atau bahkan tenggelam di depan gadget masing-masing.
Tidak ketinggalan, masih di restoran ternama yang sama. Para bapak dan ibu sibuk bolak-balik berteriak memanggil para pramusaji bahkan untuk persoalan yang paling sepele sekalipun, dan permintaan itu mesti dilakukan dalam sekedipan mata. Mereka terlalu mudah berteriak dan menghardik para pegawai di sana seolah sedang menikmati hidangan terakhir sebelum menjalani eksekusi mati. Entah karena tidak sabar atau memang tabiatnya begitu, 30 detik terasa seperti 5 menit bagi mereka. Alhasil, restoran terkemuka yang sudah ramai itu pun makin ingar bingar dengan keberisikan mereka.
Perihal ini, saya naif dan sinis karena “namanya juga orang lagi lapar, dan pergi makan bersama keluarga. Pelanggan kan adalah raja. Lagipula, buat apa bayar mahal-mahal kalau tidak dilayani dengan baik?”
Ikut Tren
Dipersempit menjadi dua hal: event, dan aktivitas.
Selalu ada banyak acara, termasuk pertunjukan dan pameran seni, maupun sejenisnya. Setiap kegiatan pasti mengusung tujuan dan sasaran, paling tidak ya pengenalan dan apresiasi, atau cari cuan besar lewat penjualan tiket. Seperti konser.
Persoalannya, apakah yang hadir di sana, apalagi yang masih sangat muda, benar-benar paham dengan apa yang sedang mereka saksikan? Bersedia membeli karya-karya yang dipasarkan? Apabila kurang paham, apakah mereka punya dorongan untuk aktif bertanya dan mencari tahu? Setidaknya ngobrol dengan perupa, kurator? Ataukah kehadiran mereka di sana hanya untuk foto-foto; selfie/wefie/Kinfolk-ish demi menambah isi Instagram, Snapchat-an, dan media sosial sejenis?
“Eh, kemarin aku datang ke acara itu loh.”
“Wow! Keren banget. Apa tema utamanya?”
“Ehm, enggak ngerti juga sih. Pokoknya dateng aja, biar kekinian. Ini, lihat deh foto-fotonya. Lucu, kan?”
Perihal ini, saya naif dan sini karena “anak muda itu ya memang harusnya begitu. Kamu jangan sok tua deh, Gon!”
[]
Kalau urusan klakson di lampu merah di Samarinda kan juga gitu mas walaupun mungkin gak se-ekstrim yang di Jakarta ya.. Saya paling gelisah kalau sudah ketemu lampu merah menyala tepat pas saya di barisan depan, perasaannya udah kayak Rossi lagi di pole position, begitu lampu hijau klakson sudah berisik di belakang.. Hehehe..
SukaSuka