Dua dari sekian banyak film favorit saya adalah film Make Way For Tomorrow (1937) dan film Tokyo Story (1953). Film yang disebut pertama memang menjadi inspirasi cerita untuk film kedua. Tak heran kalau plotnya pun mirip.
Dua-duanya berkisah tentang sepasang suami dan istri di usia senja. Mereka terancam kehilangan rumah mereka. Untuk itu mereka memutuskan tinggal secara bergantian di rumah anak-anak mereka. Apa daya, anak-anak mereka malah menganggap kehadiran orang tua mereka sebagai beban. Tidak ada waktu untuk mengurus orang tua, karena kehidupan mereka dipenuhi kesibukan dan permasalahan sendiri-sendiri.
Kedua film ini banyak menginspirasi film serupa lainnya. Tapi tetap yang paling menyentuh adalah dua versi awal yang saya sebutkan di atas.
Sudah cukup lama saya tidak menonton kedua film ini. Meskipun begitu, kenangan terhadap ceritanya cukup membekas. Apalagi di hari semacam Idul Fitri ini.
Hari di mana banyak dari kita yang, mau tidak mau, harus bersinggungan dengan orang-orang lintas generasi. Entah itu kepada orang tua kita, orang-orang yang lebih tua dari kita, atau orang-orang yang lebih muda dari kita. Orang-orang yang tidak kita jumpai sehari-hari. Orang-orang yang mempunyai ikatan darah dengan kita. Orang-orang yang selama ini we take for granted due to the biological relations.

Sudah belasan, hampir puluhan tahun, saya tidak tinggal bersama orang tua. Frekuensi pertemuan secara fisik dilakukan beberapa kali dalam setahun. Salah satunya tentu saja di hari raya ini.
Apalagi dengan saudara-saudara lain, yang tidak tinggal di satu kota dengan orang tua. Pertemuan dengan mereka lebih jarang terjadi.
Tentu saja ketika bertemu, terutama dalam suasana perayaan seperti ini, pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi tidak terelakkan. Kebiasaan yang sepertinya sudah mendarah daging di hampir semua kultur kita. Entah apa yang membuat orang lain senang sekali menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti, “kapan kawin? Kapan punya anak? Kapan punya anak lagi?”, dan seterusnya. Pertanyaan yang membuat penanya seperti berada di atas angin. After all, we like to play God.
Memang melelahkan menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Apalagi dibarengi dengan tameng alasan, “ini demi kebaikan bersama”, atau “anggap saja ini doa.” Semakin banyak justifikasi, semakin sesak kita dipaksa menanggapinya.
Maka tak heran, hari raya yang mestinya menjadi perayaan, malah terasa seperti siksaan. Dan tak banyak dari kita yang jadi takut duluan ketika hendak bersilaturahmi. Kita sudah defensif dari awal. Sudah terburu menganggapnya sebagai beban.
Padahal, banyak hal lain yang bisa didapatkan dari bersilaturahmi. Tergantung bagaimana kita mau mencobanya.
Waktu almarhum nenek saya masih hidup, ketika kami berkunjung ke rumahnya waktu Lebaran, saya suka mendengarkan cerita bagaimana orang jaman dulu merayakan Lebaran. Bagaimana cerita dia dan almarhum kakek bertemu sebelum menikah. Apa saja kue yang terhidang di Lebaran kala itu.

Pada saudara sebaya, pertanyaan yang terkait seputar “sedang mengerjakan apa sekarang?” atau “aktivitasnya apa saja sekarang?” lebih bisa membuat saya bercerita dibanding “kenapa masih single?”. Demikian pula ketika saya bertanya tentang hal serupa, lebih menyenangkan untuk mendengarkan jawaban mereka, agar pembicaraan bisa bergulir dari situ.
Pada yang lebih muda, tentu saja mendengarkan mereka berceloteh tentang media sosial masa kini bisa membuat pengetahuan kita makin kaya.
Intinya adalah mendengarkan. Tidak mudah awalnya, tapi sedikit pertanyaan pancingan bisa membuat orang-orang bercerita banyak hal. Mendengarkan, terutama cerita dari mereka yang lebih tua. Membuat mereka diperhatikan dan didengar, agar terhindar dari nasib orang-orang tua seperti di kedua film yang saya sebutkan di awal.
Toh silaturahmi itu berarti catching up, bukan showing off.
Semoga libur Lebaran ini banyak cerita indah dari keluarga.
Setuju dengan cathing up, not showing off.
Pertanyaan-pertanyaaan yang ngganjel bisa juga muncul karena kecanggungan basa-basi setelah gak ketemu lama, dan pengen cepat akrab (karena sodara kata orang harus dekat).
SukaSuka
Betul. Keakraban yang dipercepat, karena jarang ketemu dan waktu terbatas, membuat kita kadang2 pengen “kepo”. Pengen tau boleh banget, selama gak terlalu personal aja pertanyaannya. 🙂 Sorry ya, lama merespon komentarnya.
SukaSuka