KONDISI dunia berubah signifikan sejak hampir sepekan lalu, ketika kekuatan demokrasi memaksa Inggris Raya untuk bercerai dari Uni Eropa–organisasi mentereng yang isinya eksklusif, hanya negara-negara dari Eropa Barat serta beberapa sekitarnya.
Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Mau apa pun bentuknya, dan bagaimanapun bentuk hasil akhirnya, tidak ada yang bisa luput dari perubahan. Besar maupun kecil. Seperti itulah yang dihadapi dan dialami para rakyat Inggris, pemerintahnya, dan para petinggi Uni Eropa.
Tentu ada berderet-deret dampak dan implikasi yang dihasilkan. Beberapa di antaranya barangkali sudah mulai terjadi, dan tetap menyisakan banyak hasil analisis dan prakiraan. Mudah-mudahan saja para rakyat Inggris tidak jatuh dalam posisi yang patut dikasihani di kemudian hari.
Kebetulan masih bicara soal Inggris, bisa jadi perpisahannya dengan Uni Eropa lewat pemungutan suara Jumat lalu bakal memberi pengaruh sama luar biasanya dengan peristiwa munculnya Anglikanisme, atau sebut saja kekristenan ala Inggris Raya yang memisahkan diri. Konon gara-gara urusan kawin-mawin sang Raja Henry VIII, dan ditolak pihak gereja Katolik konservatif. Akhirnya dibentuklah struktur religius baru, menghasilkan perubahan secara menyeluruh dan sistematis.
Ada satu tuh gereja sekaligus sekolahnya di Jakarta, enggak jauh dari Tugu Tani.
Nah, kalau aturan-aturan baku agama saja bisa diubah perspektif atau cara pandangnya, apalagi urusan birokrasi dan kerja sama antarnegara yang saling bertetangga macam Uni Eropa? Namun tenang saja, pada kenyataannya perubahan-perubahan mendasar seperti ini terjadi hampir di semua agama. Mulai dari yang bentuknya paling fleksibel macam agama-agama tradisional, sampai yang upaya penyebarannya paling kencang sekalipun. Jangan harap skema institusi agama-agama modern saat ini masih berbentuk sama ketika pertama kali didirikan oleh para pembawanya masing-masing. Beberapa di antaranya bahkan mulai mengalami modifikasi dan perubahan oleh para pemimpin umat beberapa puluh tahun setelah wafatnya sang aksis.
Kembali mengambil contoh kehidupan religius Inggris. Sebelum Anglikanisme muncul dan memisahkan diri dari Katolik, sudah terjadi persinggungan besar dengan Protestanisme. Ratusan tahun sebelum perpisahan besar itu terjadi, pun telah diselenggarakan sejumlah konsili atau sidang raya, semacam majelis pembahasan dan penyusunan sistematika Kristiani yang dianggap sahih (dan berfaedah secara realistis, tentunya).
Dari sejumlah konsili tersebut, ada banyak poin yang menghadirkan perubahan besar dalam tubuh Ecclesiae, atau jemaat gereja. Kekristenan yang dijalani secara popular hingga saat ini saja–dengan prinsip Trinitas, dogma-dogma baku, cara pandang gereja pada banyak hal, sistem tata kelola gereja, Takhta Suci serta kedudukan Paus, dan lain sebagainya–merupakan hasil kesepakatan konsili-konsili. Dari konsili tersebut, ada banyak hal yang ditolak, dianggap bidah Kristiani, dianggap ketidaksesuaian tafsir, dan sebagainya.
Apakah semua penolakan itu diterima begitu saja? Tentu saja tidak. Buktinya, ada dua Paus di dunia. Satu yang berkedudukan di Vatikan, kini adalah Paus Fransiskus; dan Paus umat Gereja Ortodoks Koptik di Mesir dengan sistem administrasi berbeda, yang hampir semua ritus maupun sakramennya menggunakan Bahasa Arab dan setiap doanya patut disambut dengan “amin”, bukan “amen”.
Ada pula Gereja Ortodoks Rusia dengan pimpinan tertinggi pada Patriarch Kirill, yang baru ditemui Paus Fransiskus pertengahan Februari lalu setelah dua lembaga tersebut saling terpisah 1.000 tahun lamanya. Itu pun pertemuannya berlangsung di Kuba. Keren ya!

Hal serupa juga terjadi dalam Protestanisme. Sebagai ilustrasi, baru di Jakarta saja saya bisa menemukan satu ruas jalan yang tidak besar-besar amat, namun ada empat gereja berdiri di sepanjang ruasnya. Empat gereja, sama-sama Kristen, akan tetapi berbeda denominasi: artinya bisa berbeda cara pandang terhadap pola hidup Kristiani, berbeda penafsiran atas Firman, berbeda metode khotbah dan pendekatan rohaniah pada umat, bahkan salah satu dari gereja tersebut dianggap memberikan ajaran bidah oleh ketiga lainnya.
Dalam Islam, sudah akrab bagi ruang pikir kita istilah Sunni atau Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja), dan Syiah. Dua aliran besar yang memiliki banyak perbedaan mendasar. Saking mendasarnya, sampai-sampai dengan mudahnya bisa bikin sebagian orang menyebut aliran lain sebagai bidah. Kemunculan dua aliran besar tersebut jelas merupakan buah dari perubahan atas penyikapan, perlakuan, pemikiran, maupun penafsiran.
Belum berhenti sampai di situ saja. Aswaja dan Syiah kembali terbagi dalam beberapa mazhab. Lebih kepada perbedaan dalil fikih berdasarkan ulama-ulama besar tertentu, maupun aspek-aspek lain terhadap praktik kehidupan beragama. Dalam Aswaja ada empat mazhab besar: Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafii yang dianut secara mayoritas di Indonesia. Begitu juga Syiah dengan sepuluh mazhabnya.
Beralih ke Asia, jangan dikira agama-agama non-Samawi adem ayem tanpa perubahan besar dalam tubuhnya. Dalam Hinduisme modern, ketiga dewa Trimurti (Brahma, Vishnu, Siva) sama-sama memiliki kelompok pemujanya masing-masing. Ada pula yang lebih menjunjung aspek feminin dari dewata tersebut, yakni pemuja dewi-dewi pendamping/istri (Shakti). Ditambah lagi kelompok pemuja dewa-dewa lokal yang dipercaya sebagai pelindung suku, dan memiliki kedekatan sosiokultural terhadap etnik tertentu. Banyak!
Selain Hinduisme, India juga menjadi kampung halaman sejumlah ajaran. Ada Buddhisme, ada Jainisme, ada Sikhisme, ada Ahmadiyah, dan banyak lagi lainnya.
Buddhisme berasal dan pernah populer di sana, kemudian mengalami tekanan juga perubahan hingga nyaris punah menyisakan para umat di luar India. Selain itu, mazhab-mazhab Buddhisme terbentuk dalam konsili yang dilakukan ratusan tahun pascawafatnya Buddha. Dua kelompok mula-mula adalah Sthaviravada dan Mahasanghika, yang awalnya berselisih tentang aturan dan norma. Keduanya terus mengalami perubahan (modifikasi, pertambahan, pengurangan, pembaruan) selama ribuan tahun hingga akhirnya menyisakan tiga mazhab besar modern: Theravada yang ortodoks (yang saking ortodoksnya, sampai-sampai bisa bikin penganutnya seperti takfiri), Mahayana yang sinkretis, dan Tantrayana/Vajrayana yang esoteris. Makanya, ada mazhab yang mengharuskan bervegetarian tapi tidak perlu berpuasa, ada pula yang tetap boleh makan daging dengan beberapa kondisi tertentu tapi harus puasa, setiap hari.
Konsili seperti ini terus dijalankan untuk memastikan keaslian ajaran dan peraturan. Penyelenggaraan terakhir berlangsung 1954 silam di Myanmar oleh sekitar 2.500 Bhikkhu mazhab Theravada, dan memakan waktu dua tahun untuk pengulangan kembali serta penyelarasan seluruh ajaran Buddha.

Apakah berhenti sampai di situ? Tentu tidak. Beraneka sub mazhab bermunculan di Asia Timur. Implikasi politik terjadi dalam tubuh Sangha (komunitas para Bhikkhu/Bhiksu). Diangkatnya Sangharaja atau pemimpin tertinggi Sangha yang berafiliasi dengan dinasti yang berkuasa di negara-negara Buddhis Indochina. Dampaknya, meskipun tak seekstrem apa yang dilakukan Raja Henry VIII, tapi tetap ada kemungkinan batas toleransi dibengkokkan, bahkan menjadi tradisi yang bisa ditiru.
Di Thailand saja, contohnya. Setidaknya ada tiga kelompok Sangha berdasarkan tradisi dan afiliasi politik. Secara kronologi, yaitu: Maha Nikaya (kelompok umum, di luar lingkar kerajaan, heterogen), Dhammayuttika (berasal dari gerakan pemurnian penerapan aturan, lebih ketat, dipimpin Sangharaja, disokong kerajaan), dan Dhamma Nikaya (kelompok baru yang fenomenal, tapi ada beberapa aspek pengajaran dianggap bidah Theravada). Hal ini juga berpengaruh di Indonesia, dengan nuansa Dhammayuttika yang kental. Terlepas dari tepat tidak tepat ritus tradisi yang “diimpor”. Belum lagi masalah mana Bhikkhu benaran dan yang asal-asalan.
Untuk Tiongkok, kumpulan konsep yang diasumsikan sebagai agama asli bangsa itu adalah paganisme Tionghoa. Dari kepercayaan purba yang mengerucut menjadi Taoisme; kemunculan Konfusianisme; dan masuknya Buddhisme Mahayana pun diterima dalam bentuk sinkretisme. Penyatuan. Perubahan yang menghadirkan kepercayaan tradisional khas budaya Tionghoa berusia lebih dari 3 ribu tahun, dan terus dilakoni sampai sekarang.
Kebanyakan contoh ya.
Kembali ke Inggris lagi deh. Entah itu urusan agama sebagai sebuah institusi maupun politik, sama-sama encer. Terlalu encer malah. Saking encernya, sampai-sampai perubahan sekecil apa pun bisa memberi dampak yang terlampau besar. Tetapi malah diperlakukan seperti batu kali: keras. Saking kerasnya bisa bikin kepala seseorang bocor, bahkan pecah.
[]
tulisan yang menarik. kalo inggris pake referendum untuk keluar dari UE, waktu beberapa agama muncul beda tafsiran (dan beda sekte) apakah juga mempertimbangkan jumlah umat pendukung?
SukaSuka
Sepertinya, elite agama enggak bakal sedemokratis itu. Ada pengerahan kekuasaan yg (diklaim) ilahiah, dan dorongan untuk menambah pengikut. Di sisi lain, kekuatan mayoritas juga enggak cocok dijadikan dorongan tunggal. Sedikit bigot saja sudah mengkhawatirkan, apalagi kalau banyak dan dominan?
Jadinya samar, kan? Ya begitulah. Agama. Yang konkret cuma bagaimana menjadi manusia yg baik dan bermanfaat bagi sesama manusia, dan alam sekitarnya.
Barangkali begitu.
SukaSuka