Berat untuk saya menulis ini. Tapi setelah melalui pemikiran dan pengalaman pribadi saya harus mengambil kesimpulan yang mungkin tak terlalu enak untuk dibaca. Percayalah, tak ada keinginan saya untuk menyerang siapa pun dengan tulisan ini. Murni ingin berbagi hasil pemikiran dan pengalaman yang pastinya bersifat pribadi. Bahkan terlalu pribadi sebenarnya. Mengapa tulisan ini harus dituliskan? Karena saya merasa harus ada yang menyampaikan.
Sebagai freelancer, atau sebutlah pekerja serabutan yang bekerja sana sini dengan berbagai orang dengan berbagai latar, dalam berbagai situasi dan tekanan, saya menemukan orang pandai tak bisa bekerja.
Baiklah sebelumnya kita sepakati dulu, apa yang saya maksud dengan orang pandai di sini. Orang pandai di tulisan ini adalah orang yang bersekolah tinggi, berpengetahuan luas, banyak membaca buku, fasih menyampaikan pemikirannya serta (biasanya) jago bahasa Inggris. Mereka adalah sumur pengetahuan bagi orang-orang di sekitarnya. Pasti banyak yang kagum pada mereka. Tak jarang pula yang mengidolakan.
Apakah pengetahuan yang dimilikinya lantas membuatnya bisa mewujudkannya menjadi sesuatu yang nyata? Ternyata belum tentu. Bekerjasama dengan mereka, ternyata memerlukan waktu yang banyak untuk berdiskusi. Terkadang satu arah saat mereka terus menerus menyampaikan pemikiran dan pandangannya. Lebih seringnya, diskusi berakhir dengan mengambang. Karena kebanyakan orang pandai merasa tak perlu semua diakhiri dengan keputusan. Tak ada yang mutlak. Semua harus terus menerus digali. Pertanyaannya, sampai kapan? Apalagi untuk pekerjaan yang memilik tenggat waktu. Lebih sering memerlukan keputusan yang cepat, taktis, dan tak perlu banyak dipikir.
Saat semua orang pandai berkumpul, bisa dipastikan diskusi akan berlangsung seru! Mendengarnya saja bisa membuat orang-orang di sekitarnya terkagum-kagum. Apalagi kalau mereka memiliki banyak kosa kata yang tak lazim. Para penonton akan sibuk googling untuk mencari tau maknanya. Mereka akan saling melempar ide dan pemikiran, bantah-bantahan, saling menunjang terus menerus dan terus menerus sampai seluruh urat leher mereka berkontraksi. Untuk selanjutnya kita sebut mereka Kaum Pemikir.
Bekerja di tulisan ini adalah menghasilkan sesuatu. Tak harus berupa barang memang, tapi jelas terlihat atau dirasakan dampaknya oleh orang-orang di sekitarnya. Mewujudkan yang tadinya ide atau pemikiran menjadi kenyataan. Menjadikannya nyata memerlukan otot dan bergerak. Tak bisa terjadi hanya dengan omongan saja. Biasanya, bagian ini kemudian dialih tugaskan kepada kaum pekerja. Eksekutor dari kata eksekusi. Kaum yang secara tak tertulis, dinilai posisinya lebih rendah daripada kaum pemikir. Buruh. Pekerja. Tak punya otak. Tak memiliki banyak ilmu. Untuk selanjutnya kita sebut mereka Kaum Pekerja.
Kaum ini mulutnya diam. Mereka tak pandai bercakap. Biasanya mereka berada di balik layar. Mulut diam, tangan bekerja. Lebih seringnya ketika hasil kerja usai, kaum pekerja tak dapat pengakuan. Karena dikembalikan kepada pemilik ide awal. Dia lah yang berhak mendapatkannya. Kaum pekerja kembali ke belakang layar dan bekerja lagi. Mereka seringnya berada di ruang-ruang yang bau, berdebu, tak nyaman apalagi sering dikunjungi orang.
Sepertinya, waktu sebenarnya berpihak kepada mereka. Setelah lama bekerja dan bekerja, mereka mulai menggunakan pikirannya. Setelah mulut terdiam tangan bekerja, kini ditambah otak berputar. Walau pendidikan resmi mungkin tak pernah mereka dapatkan, tapi mereka punya pengalaman bekerja. Tanpa mereka sadari, kaum pekerja sebenarnya sedang belajar saat bekerja. Apalagi dengan mulut terdiam, semakin banyak pengetahuan yang mereka serap. Sementara kaum pemikir terus menggunakan otak dan tak sudi menggunakan otot. Satu-satunya otot yang dilatih adalah lidah yang terus menerus berbicara.
Satu persatu kaum pekerja bermunculan ke permukaan. Di tangan mereka masing-masing memegang sebuah karya hasil kerja mereka. Bisa jadi orisinal, tiruan atau tiruan plus-plus tak lagi penting. Yang penting di tangan mereka ada sesuatu yang mereka tawarkan. Kaum pemikir tau akan kondisi ini dan perlahan mulai menjadi kritisi ulung. Entah atas dasar ingin membantu atau sebenarnya hanya kaget bercampur sirik. Hampir semua karya para pekerja ada cacat celanya.
Para Pemikir merasa perlu untuk memasukkan pemikiran dan idenya kepada kaum pekerja. Karena di bawah sadar kaum pemikir, kaum pekerja posisinya lebih rendah. Kaum Pemikir pun terus menerus mengumandangkan kritikan, masukan, saran dan nasehatnya kepada kaum pekerja. Yang kebanyakan ditanggapi dengan diam, sambil membawa hasil kerja mereka kembali ke ruang sunyi, dan diam-diam memperbaikinya.
Kaum Pemikir, cendekiawan, pandai dan berilmu, bisa jadi tahu apa yang seharusnya tapi belum tentu bisa mewujudkannya. Kalau pun mereka mewujudkan banyak yang sebenarnya bisa dibilang kualitasnya biasa-biasa saja. Kadang sama persis dengan hasil kerjaan kaum pekerja yang tak perlu berpikir banyak dan panjang.
Sebenarnya kedua kaum bisa bekerjasama, tapi lebih seringnya kita mendengar kaum pemikir yang nyinyir akan hasil kerja dari kaum pekerja. Sementara kaum pekerja merasa sudah cukup ilmu dan tak perlu kaum pemikir. Tarik ulur ini menarik. Untuk saat ini, kalau harus memilih salah satu. dengan kondisi saya sekarang, saya lebih memilih jadi kaum pekerja. Saya menikmati diam-diam bekerja saja. Dan lebih sering malas untuk ikut kongkow-kongkow bertabir diskusi.
Di saat semuanya diperlukan dengan waktu yang cepat, saya tidak bisa terlalu banyak berpikir. Apa yang sudah kamu kerjakan, jadi pertanyaan yang lebih sering ditanya ketimbang kamu lulusan mana. Apa hasil karyamu, menjadi pertanyaan sakral abad ini ketimbang apa yang kamu ketahui. Ini pun yang sering saya rasakan ketika saya mendapat undangan jadi pengajar atau pembicara. Di akhir sesi tanya jawab, bisa dipastikan pertanyaan mengenai apa yang sudah saya lakukan akan dilontarkan oleh peserta. Dari hasil karya yang saya perlihatkan, peserta kemudian akan menilai apakah sesuai dengan apa yang saya sampaikan dan ajarkan.


Tinggalkan Balasan ke glennmars Batalkan balasan