Ini cuma nukilan sederhana tentang orang-orang yang melawan arus. Sudah menjadi kewajaran tentu jika aksi, sikap, dan perilaku mereka kerap mengundang decak kagum. Tak jarang orang menaburkan puja-puji setinggi langit pada setiap orang yang terlihat berbeda dan menentang arus.
Namun, tidak sedikit juga yang mencibir dan menaruh bumbu-bumbu rumor di setiap sisi. Tujuannya bisa disingkat dalam satu kalimat: yakni supaya orang yang melawan arus gagal mencapai tujuan yang dikehendaki.
Kalau melihat masa lalu, tentu saja cukup banyak orang termasyhur yang melawan arus. Justru bukan karena tindakan melawan arusnya yang membuat mereka besar dan dicatat sejarah dengan tinta emas, melainkan karena tindakan dan pemikiran mereka yang, diakui atau tidak, berkontribusi besar bagi orang-orang di sekitarnya atau bahkan bangsa dan peradaban pada masanya.
Namun, adakah orang yang melawan arus itu sepenuhnya berkepribadian layaknya malaikat? Sepenuhnya tanpa cacat? Tentu saja tidak. Mereka, orang-orang besar itu, tentu cuma manusia biasa yang tidak luput dari setitik-dua titik kesalahan atau perilaku ganjil.
Permasalahannya kemudian: apa yang pantas disebut “ganjil”, apa yang pantas disebut “normal”? Apa karena satu individu atau sebuah kelompok memiliki ajaran dan sudut pandang yang berbeda dengan sebagian besar masyarakat, lantas pantas disebut “aneh”, “ganjil”, atau bahkan “tidak normal”?
Alan Turing merupakan contoh terbaik dari hal ini. Ia yang merupakan profesor bidang matematika di Inggris semasa Perang Dunia II dianggap jenius. Ia bersama rekan-rekan yang dipimpinnya berhasil memecahkan sandi Nazi lewat mesin yang dibuat oleh dirinya. Berkat kejeniusan dan ketekunan Turing, masa waktu Perang Dunia II berhasil disingkat menjadi enam tahun saja.
Namun, hidup Turing sendiri tidak bertabur gemilang kemewahan dan riuh-rendah puja-puji. Ia setia berdiri di pojok sunyi karena tugas memecahkan sandi berada dalam pengawasan intelijen militer yang ketat. Ia harus bekerja secara rahasia. Pun, ia harus merahasiakan pula keberhasilan yang dicapai bersama rekan-rekannya.
Di ending film The Imitation Game (2014) yang menceritakan keberhasilan Turing semasa Perang Dunia II, ia digambarkan membakar semua kertas kerja ke dalam api unggun bersama para rekan kerjanya ketika perang telah berakhir. Semua kerja keras mereka tidak boleh ada yang tahu.
Adakah Turing berbahagia hidup dalam pojok sunyi? Tidak. Pada kelanjutan perjalanan hidupnya, ia terpaksa harus menerima suntikan oestrogen dari pemerintah Inggris guna “menyembuhkan” orientasi seksual sejenis yang dialaminya. Tidak tahan karena terus menerus diawasi oleh pemerintah, Alan Turing bunuh diri pada 8 Juni 1954.
Berbagai karyanya di bidang matematika dan keberhasilannya memecahkan sandi Nazi selama Perang Dunia II—yang kemudian menjadi cikal bakal algoritma yang diterapkan pada komputer sekarang—menjadi sedikit bittersweet, karena kehidupan personal Turing sendiri tidak bahagia layaknya dongeng masa kecil yang sering dibacakan sebelum tidur saat malam hari. Pun, ternyata seorang individu jenius seperti Alan Turing tidak berdaya ketika menghadapi tekanan pemerintah Inggris yang menghendaki dirinya menganut standar moral umum masyarakat.
Alan Turing dalam film The Imitation Game (2014), diperankan Benedict Cumberbatch. (foto: newnownext.com)
Sikap melawan arus dan setia pada kata hati diri sendiri seringkali memiliki konsekuensi kurang menyenangkan. Kehidupan personal yang berantakan hanyalah salah satu dari sekian banyak konsekuensi itu. Dalam hal ini, Alan Turing mempunyai titik singgung dengan Soren Kierkegaard, seorang pemikir Denmark pada Abad 19.
Berbeda dengan Alan Turing yang bergerak dalam bidang matematika dan urusan pecah-sandi, Kierkegaard merasuk lebih dalam. Ia bergerak dalam ranah filsafat dan etika-teologi Kristen. Pada Abad 19, sebagian besar daratan Eropa tengah berjaya berkat rasionalisme universal yang dibawa Immanuel Kant. Kehidupan beragamanya? Tenang, aman, damai.
Namun, sebenarnya tatanan kehidupan beragama Eropa saat itu hanya terlihat stabil dan kuat di permukaan. Fondasi kuat yang mengakar di masyarakat tidak hadir secara utuh di setiap sendinya. Akibatnya jelas: kemunafikan masyarakat menjadi-jadi. Banyak institusi Geraja pada saat itu hanya menjadi pemegang legalitas moral yang bersekutu dengan kekuasaan.
Dengan situasi seperti itu, sudah tentu kemunafikan dan kepercayaan taat buta pada Gereja menghasilkan masyarakat yang seperti gembala sapi: mudah diatur, terlihat stabil, aman, namun tidak memiliki gairah, daya kreativitas yang tinggi, serta kesadaran untuk mengikuti sesuatu berdasarkan pemikiran logis yang tumbuh dari diri sendiri.
Hal itulah yang kemudian menjadi titik dasar pemikiran Kierkegaard. Dalam hal etika Kristen pada masanya, ia mengkritik sebagian besar perilaku masyarakat yang munafik dalam hal beragama. Sementara dalam bidang pemikiran ilmiah dan filsafat, Kierkegaard banyak disebut-sebut sebagai “Kakek Eksistensialisme” berkat pemikiran akan subjektivitasnya yang mendahului zaman.
(Kalau sekarang ada mahasiswa ilmu sosial yang sedang menulis skripsi menggunakan metode kualitatif, sudah tentu hal itu tidak lepas dari peran seorang pemikir melankolis seperti Kierkegaard yang hidup tiga abad sebelum sekarang. Hehe)
Lantas, bagaimana dengan kehidupan personal Kierkegaard? Apa ia bahagia? Sama seperti kasus Alan Turing, jawabannya tidak. Hidup Kierkegaard sebenarnya penuh bumbu ironi tanpa harus banyak polesan. Selain kecemasan hebat dan kegalauan yang melanda dirinya, ia juga membatalkan pertunangan dengan Regine Olsen, seorang perempuan yang dicintainya.
Pertunangan itu dibatalkan Kierkegaard bukan karena ada laki-laki atau wanita lain. Melainkan ia lebih memilih berkonsentrasi mencurahkan pikirannya dalam bidang ilmiah dan teologi Kristen. Lebih dari itu, ia juga menganggap dirinya tidak layak berperan sebagai kepala keluarga dan seorang suami karena memiliki masa lalu keluarga yang tidak baik.
Masa lalu keluarga yang tidak baik itu didasarkan satu fakta: Kierkegaard lahir dari hubungan pra-nikah yang dilakukan ayah bersama ibunya. Persoalannya, ayah Kierkegaard merupakan seorang pendeta yang dihormati oleh lingkungan sekitar. Sudah tentu persoalan hubungan intim pra-nikah seorang Pendeta menimbulkan kecemasan dan kegalauan dalam diri Kierkegaard. Bagaimana mungkin ayah yang seorang Pendeta bisa melakukan dosa besar seperti itu?
Pada akhirnya, Kierkegaard pun sama seperti Alan Turing. Ia memilih posisi sunyi: tidak menikah sepanjang hayat lantas mencurahkan perhatiannya pada kajian dogma Gereja dan berbagai pemikiran ilmiah pada masanya.

Soren Kierkegaard dan Alan Turing memang cuma dua tokoh dalam sejarah yang melawan arus dan berdiri di pojok sunyi. Banyak tokoh lain dalam sejarah yang memiliki irisan yang sama dengan mereka. Namun, dua contoh ilustrasi itu setidaknya menggambarkan dengan jelas, bahwa orang-orang hebat dalam sejarah pun punya sisi yang acapkali tidak lazim bagi orang kebanyakan.
Yang menjadi perhatian tentu saja bukan hanya soal melawan arus dan keberanian untuk mengungkapkan pikiran, melainkan lebih pada apa yang mereka kerjakan tanpa harus banyak publisitas yang kurang perlu.
Selain itu, tentu saja para pelawan arus seperti Kierkegaard dan Alan Turing bukan malaikat. Mereka manusia biasa. Orang-orang seperti kita yang apalah artinya dibandingkan dengan miliaran bintang-bintang yang bergerak setiap hari di angkasa itu sudah sepantasnya menaruh hormat secara wajar. Dengan kata lain, tidak ada kultus individu pada mereka yang dicatat dalam sejarah dengan tinta emas.
[]
Iman Purnama K, adalah penulis tamu linimasa. Pernah bekerja sebagai wartawan magang, copywriter dan content writer. Saat ini sedang menyiapkan sekolah lanjutan (S2).
Jika tertarik menjadi kontributor, dapat membacanya disini.