Dia

Padahal wajahnya biasa saja dan menjadi cantik di saat-saat tertentu. Misalnya saat tak mengenakan baju. Sisanya ia tertutup rapat. Seperti sidang kabinet. Eh itu rapat tertutup ding. Tapi iya. Sungguh wajahnya biasa, dengan beberapa bentol jerawat di atas dahi dan pipi sebelah kiri. Saat tersenyum juga ndak cakep-cakep amat. Daya dongkrak senyumnya hanya sepuluh persen saat wajahnya diam tanpa ekspresi. Rambutnya kemerahan. Tidak diombre. Hanya highlight seadanya. Entah mengapa ada yang istimewa dari dirinya. Postur tubuhnya agak gempal. Ndak semampai seperti putri-putrian yang dilombakan. Pinggulnya besar. Perutnya ada kerut dan payudaranya tak sekencang bunyi peluit pak pulisi saat menilang. Namun, aksinya seperti Dian: “Jangan kasih kendor!”. Bagian kakinya tak seindah warna aselinya. Ada banyak selulit. Juga betis penuh bekas luka bakar knalpot.

Saat diam, seringkali terlihat sedang menggaruk kepala, lalu jemarinya didekatkan ke lobang hidung. Membaui keringat kulit kepala bercampur ketombe. Juga seringkali mengupil tanpa sebab. Tak ada hasil. Hanya memasukkan jentik lalu menari-nari. Dia tidak jaim. Namun terkadang tak tau tempat. Saat makan pun terkadang terdengar gemretak gigi bertemu sendok. Saat mengunyah juga seringkali mengecap. Parahnya, dia sering ndak bawa dompet. Sebuah lupa yang disengaja.

Saat mengobrol, kita akan tahu dirinya cadel. Juga bibir yang dower. Tidak bisa diajak bicara politik apalagi sisa pertandingan sepakbola. Yang ada adalah soal gosip dan gosip.

“Eh ada yang bilang nicsap itu gay, benar ya?”.  

“Bener gak sih Ahok itu cina?”.  

“Katanya trend suku bunga bank sentral di dunia sekarang itu negatif ya?”

“Uni eropa bikin persyaratan apa ya untuk bantuan kepada Yunani?”

Iya. Dua pertanyaan terakhir hanya angan-angan saja. Dia jarang bicara masa depan. Apalagi bertukar ide brilian. Yang ada, soal kekinian dunia artis dan filem yang tayang minggu ini. Lima kata yang sering diucapkan: Sephora, Path, Pinsil alis, Uno stacko, dan Snapchat.

Bagaimana dengan aroma tubuhnya? Jika jarak dua meter, kamu akan membaui dirinya seperti berada di toko Ramayana sabtu sore di pinggiran Bekasi. Ada semriwing bau molto dan seprei kos-kosan. Jika jaraknya dilekatkan lagi hingga setengah meter, kamu seperti berada dalam kerja intensif bersama kuli proyek MRT. Bukan asam, tapi bau yang begitu legend. Serupa bau keringat lelaki pekerja di bawah terik matahari.   Aroma yang enak darinya adalah saat berpagutan. Nafasnya memburu. Keluar masuk aroma susu.

Jika ditanya mau makan malam dimana? Terserah. Jika ditanya kenapa nasinya ndak dihabiskan, jawabannya klasik: diet. Dia lupa, pecel lele dan paha ayam goreng dengan sambal super pedas, dua tempe garit, satu tusuk ati ampela sudah bersemayam di lambungnya barusan. Dan tentu saja, dia selalu ndak bawa dompet! Sebuah lupa yang disengaja.

Katanya: “Namanya juga diet, ngapain bawa dompet?“.

Epic, bukan?

Jangan tanya soal masa kuliah. IP-nya adalah nol koma diatas bilangan phi. Ndak pernah merasa lulus. “Aku kuliah itu untung, karena akhirnya bisa lolos“. Jarang ke toko buku. Jikapun perlu, sekadar membeli kertas file warna-warni untuk dikoleksi. Artis luar negeri adalah wilayahnya. Setiap judul drama korea saja tapi dan sederetan artis oplas tanpa komedo namun penuh filler botoks. Jangan tanyakan filem Holywood, apalagi filem festival. Juga haram hukumnya main tebak lagu dengannya. pasti sakit hati. Semua lagu itu dianggapnya ciptaan Calvin Harris.

Namun,

Setiap wa dirinya, selalu sigap dibalasnya. Ndak pakai lama. Apapun postingan path, selalu dilope-lope tanpa kecuali. Siang menjelang, nanti ada barisan line yang berbunyi: “Makan siang apa hari ini? sudah jam setengah dua belas”. Jika minta dijemput, selalu diakhiri: “Kalau masih ada kerjaan atau mau kumpul sama temen dulu,  kasih tau aja, nanti aku nguber atau ngojek. Gpp“. Juga tak pernah protes jika sebatang dua batang rokok menjadi abu saat bersamanya. Mau ngicipin pete yang dipesan. Menyeka keringat di dahi seusai makan. Tersenyum saat mendengar bualan khas lelaki. Mendengar dengan mata berbinar saat bualan itu menjadi-jadi. Seolah-olah semuanya benar. Seolah-olah pria di hadapannya adalah seorang bapak yang sedang mendongeng si kancil kepada anak gadisnya. Ada raut wajah yang membuat segalanya lebih tentram.

Tak sungkan menemani sarapan warteg. Juga tak canggung saat menikmati Paulaner Brauhaus. Tak peduli Velvet, Premier atau apa adanya, selama berdampingan berdua menonton layar lebar. Tak peduli judul asal ada subtitle.

Dia lebih banyak tertawa tanpa sebab. Tak pernah protes jika dibilang gendut. Menyukai Outback, namun tak menolak diajak Abuba. Memesan teh tawar dan tak keberatan jika lelakinya memilih Heineken. Menyukai Sushi, baik Tei maupun Pudjiastuti. Mau berkeliling mal tanpa membeli. Juga mau berkeliling mal dengan banyak tas belanjaan tanpa menyuruh ikut menentengnya. Mau gunakan sepatu hak tinggi, juga mau kenakan celemek saat membuat aglio olio di sabtu pagi.

Dia, yang wajahnya biasa saja dan menjadi cantik hanya di saat-saat tertentu.

 

salam anget,

Roy

 

6 respons untuk ‘Dia

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s