‘Kamu Sufi?’ – Tulisan Kontributor Linimasa

sufi

“Kamu Sufi?” Seorang teman kantor melontarkan pertanyaan itu beberapa bulan lalu. Teman itu perempuan, keturunan Arab, dan (ehm) punya paras wajah lumayan cantik.

Saya tersenyum mendengar pertanyaan yang dilontarkan dengan nada penuh ingin tahu itu. Ia sendiri seorang yang punya tradisi Arab lumayan kental. Dalam banyak hal, suatu kali ia pernah cerita, keluarga besarnya masih sering menjalankan berbagai tradisi yang berbau Timur Tengah. Meski demikian kini, lanjut ia lagi, kebiasaan itu pelan-pelan semakin pudar dan longgar.

Ia tidak cerita tradisi macam apa saja yang masih sering dilakukan sampai kini. Lagi pula saya pun tidak terlalu berminat soal itu. Namun, pertanyaan spontan ia tentang dugaan saya seorang Sufi, teringat kembali ketika tulisan ini diketik.

Apa betul saya seorang Sufi? Tarekat Tasawuf macam apa yang saya lakoni? Siapa guru (mursyid) yang saya ikuti?

Bagi yang mengharapkan pertanyaan itu akan terjawab jelas, mungkin akan kecewa. Sebab, saya bukan seorang Sufi, meski sejak lahir memeluk agama Islam.

Keluarga besar saya, terutama dari pihak Ayah, berlatar belakang santri. Dalam satu buku otobiografi kecil-kecilan yang ditulis Kakek, ia menceritakan istrinya merupakan keturunan seorang pemimpin pondok pesantren di Cimahi.

Sedikit berbeda dengan dirinya yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Pendidikan Jawa Barat pada era 70-80an, istrinya sangat teguh dan ketat dalam menjalankan praktik agama, terutama shalat.

Selain latar belakang keluarga, dalam rak buku di rumah terdapat berbagai macam literatur yang sedikit-banyak bersinggungan dengan ajaran Tasawuf. Sebagai contoh, sebut saja Fihi ma Fihi (Inilah Apa yang Sesungguhnya) Jalaluddin Rumi, Tutur Penerang Hati Ibnu Athaillah, Sang Nabi Khalil Gibran, dan satu-dua literatur lain.

Namun, tentu saja dengan latar belakang keluarga santri dan aneka buku Tasawuf yang tersimpan di rak, tidak lantas menjadikan saya seorang Sufi. Sama halnya dengan miliaran orang di luar sana yang banyak membaca buku tentang bisnis dan entrepreneurship, tapi bukan seorang wirausahawan atau pemimpin perusahaan.

Dalam kehidupan sehari-hari, sudah tentu ada perbedaan jelas antara teori dan praktek. Seseorang yang pintar membaca buku-buku agama, belum tentu memiliki sikap yang baik dan luhur budinya pada sesama. Begitu pun sebaliknya, seseorang yang dicap buruk oleh masyarakat, katakanlah pelacur, belum tentu setiap tindak-tanduknya kurang ajar dan pantas dirajam dengan batu.

Dalam beberapa kasus, seseorang yang dicap buruk oleh masyarakat bahkan bisa jadi memiliki perilaku yang lebih baik, welas asih, dan tidak gemar menghakimi dibanding orang yang banyak membaca buku dan gemar beribadah. Orang yang sudah memiliki jam terbang tinggi dan makan asam garam kehidupan nampaknya sudah paham benar akan hal ini.

Namun, di sisi lain, tentu saja menarik memperhatikan bagaimana seseorang bisa begitu mudah menyematkan label tertentu pada orang lain. Hal itu, dalam banyak kasus, memang sudah menjadi suatu kewajaran dan tidak menjadi persoalan rumit.

Tapi, jika label-label tersebut berkonotasi negatif, sudah pasti akan membuat banyak pihak tidak nyaman. Terlebih di lingkungan komunal yang budaya tutur (oral) lebih kuat dibanding budaya tulisan seperti di Indonesia.

Dalam budaya demikian, aneka prasangka bisa begitu mudah bermunculan, lantas menimbulkan kekhawatiran, ancaman, ketakutan. Hidup tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang indah dan anugerah, melainkan menjadi sesuatu yang penuh kecemasan.

Padahal, banyak orang bilang, segala sesuatunya begitu mudah dilakukan dan dicerna. Ada akal sehat dalam diri, ada batin yang penuh dengan aneka pertimbangan matang, ada media massa yang siap memberikan banyak informasi, ada pakar dan ahli dalam berbagai bidang yang bisa dijadikan pegangan berkat pengetahuan yang dimilikinya, ada pula sarana-prasarana lain yang kiranya dapat dimanfaatkan demi kebaikan bersama.

Namun, mengapa banyak orang di luaran sana yang masih saja muram dan hidup dalam kecemasan? Mungkin karena sejak kecil kita tidak dididik untuk berani—berani bertanya, berani mengambil sikap, berani membaca, berani berpikir, berani berpendapat, berani mengemukakan apa saja yang ada dalam pikiran dan hati—sehingga, akibatnya, nilai-nilai individualitas larut begitu saja dalam mental komunal yang serba patuh tanpa reserve, serba mengangguk-angguk, serba takut, serba mengiyakan, meski tahu ada sesuatu yang kurang beres.

Sampai kapan model masyarakat feodal seperti di zaman kerajaan Majapahit ini terus berlangsung? Saya kurang tahu. Namun, kalau melihat ratusan orang rela antre berjam-jam demi membeli aneka gadget terbaru di berbagai mal di kota-kota besar, wah kok rasanya jadi ragu…

Di titik ini, sebaiknya jangan ada salah paham. Tentu saja sah dan boleh untuk membeli aneka gadget terbaru yang canggih dan keren di mal, tapi tentu saja alangkah lebih baik jika cara berpikir kita juga ikut terbawa canggih dan modern. Sehingga, apa yang tertulis dalam kertas sampul buku pelajaran SD, “Sukses Bagi Si Rajin”, tidak hanya menjadi ajang nostalgia dan pajangan di akun media sosial.

Kamu Sufi? Seorang teman kantor bertanya pada saya beberapa waktu lalu. Saya cuma tersenyum mendengar pertanyaan itu. Kini, setelah selesai menulis ini, mungkin sebaiknya saya membuka lagi lembar demi lembar Fihi ma Fihi Jalaluddin Rumi yang tersimpan di rak dan mencernanya kembali…

[*]

Iman Purnama K adalah penulis tamu pertama linimasa. Pernah bekerja sebagai wartawan magang, copywriter dan content writer. Saat ini sedang menyiapkan sekolah lanjutan (S2). Jika tertarik menjadi kontributor, dapat membacanya disini.

 

4 respons untuk ‘‘Kamu Sufi?’ – Tulisan Kontributor Linimasa

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s