Sampai dua dekade lalu, berpendapat hanya bisa dilakukan beberapa orang. Dengan ijin atau dalam pengawasan. Bahkan, bisa berujung kematian kalau ndak sesuai kesukaan pihak penguasa. Kemudian, kolom-kolom opini berita mulai disesaki nama-nama tertentu yang memang rajin berpendapat. Utamanya sejak awal 1998. Nama-nama ini sekarang sering disebut sebapai pakar. Pakar aneka bidang yang biasa dikarang-karang media untuk meningkatkan kredibilitas narasumbernya. Pendapat mereka lantang. Kadang, lebih lantang dari apa yang bisa disampaikan pelaku maupun korban.
Masyarakat butuh pendapat. Dan para pakar seperti pembimbing spiritual. Mereka menjelaskan apa yang sebetulnya sudah tertulis dalam kitab. Meluruskan masalah yang bengkok. Membengkokkan masalah yang lurus. Tergantung penawar tertinggi aja. Pendapat jadi bisa direkayasa, diubah, diralat, atau disangkal sesuai pemesannya. Musim kampanye politik adalah musim panen untuk pendapat. Kalau para pakar bisa membelah diri, mereka akan melakukannya agar bisa berpendapat di tiga stasiun berita secara bersamaan.
Pakar berubah jadi profesi lewat pendapat mereka. Meski rating membiaskan nilai tukarnya, media punya rate-card khusus. Dari barter popularitas sampai jutaan rupiah. Di tahap ini pendapat mengambil alih panggung berita. Jam tayang pendapat lebih tinggi dari fakta. Ia juga jadi lumrah. Diterima banyak pihak, termasuk jurnalis dan media. Tapi ini hanya sementara.
Sampai Media Sosial mampu jadi wadah untuk pendapat. Cakupannya lebih luas. Lebih lama. Lebih organik. Karena pendapat orang yang kita kenal jauh lebih bermakna dari iklan dan berita. Kebebasan berpendapat masuk era baru. Siapapun bisa berpendapat di media sosial. Keleluasaan ini ditunjang dengan demokrasi, waktu, tempat, teknologi dan kecilnya sanksi. Pendapat kehilangan kualitasnya. Bobotnya berdasarkan kuantitas. Kebenaran adalah suara terbanyak. Di titik ini, berita hanyalah pemancing pendapat. Lebih buruk, fakta jadi berbelok sesuai pendapat banyak orang. Pendapat mulai menempati jabatan baru. Kini ia mampu jadi penentu hukum dan kebijakan satu negara.
Padahal, ada istilah: pendapat seperti lubang pantat. Masing-masing punya satu dan ndak semua orang mau melihatnya. Lagian, ndak semua hal butuh pendapat kita kok.
Catatan: tulisan ini juga pendapat. Biarin aja ya. Sampai ia berevolusi lagi ke bentuk yang ndak bisa diprediksi.