Benarkah kita akan selamanya hidup dalam ketakutan yang satu ke ketakutan berikutnya? Begitu seterusnya sampai-sampai rasa takut menjadi energi terbesar pendorong kehidupan. Dan kita terus menerus berusaha memberanikan diri tanpa sebenar-benarnya berani?
Takut dimarahin orang tua
Takut ketauan Guru
Takut tidak naik kelas
Takut tidak lulus Sarjana
Takut tidak diterima di pergaulan.
Takut miskin
Takut dianggap miskin
Takut jomblo
Takut ditolak
Takut diputusin
Takut jatuh cinta
Takut menikah
Takut dianggap gagal
Takut sendiri di hari tua
Takut sakit
Takut mati
Dan banyak ketakutan-ketakutan lain diantaranya. Kalau benar rasa takut adalah motor penggerak kehidupan, mengapa kita lebih sering mendengar penyangkalan “jangan takut” ketimbang “jangan berani”. Mengapa kita tidak bersahabat saja dengan rasa takut. Menerima rasa takut sebagai bagian kehidupan kita di bumi yang tidak bisa diusir sama sekali.
Berteman dengan rasa takut, bisa dimulai dengan mengakuinya dan mendeklarasikannya. Ah, persetan kata orang laki gak boleh takut. Rasa takut tak punya jenis kelamin. Dia adalah hak setiap umat manusia. Semakin besar usaha menekan rasa takut, akan semakin pula kekuatannya menghantui.
Lagian apa salahnya dengan hidup dalam ketakutan? Hidup dalam ketakutan membuat kita lebih giat bekerja, lebih waspada, lebih memperhatikan sekitar, lebih menghargai setiap manusia, dan bukan tak mungkin lebih takluk pada Yang Maha Besar. Rasa takut pula yang mengajarkan kita untuk rendah hati.
Di zaman di mana semua cenderung berlebihan, rasa takut membuat kita bisa membatasi diri. Saat lepas kendali mendapat ruang dan pengakuan, rasa takut membuat kita bisa mengendalikan diri.
Banyak yang bilang, rasa takut hanyalah milik orang tua. Sementara anak muda, hanya boleh berani. Ambillah salah seorang anak muda secara acak, dan galilah semua rasa takut yang dimilikinya. Lakukan yang sama dengan orang tua. Dan bandingkan, siapa yang memiliki rasa takut lebih banyak? Harusnya, yang hidupnya diperkirakan lebih panjang, akan semakin punya rasa takut lebih banyak.
Masalahnya, hidup dalam ketakutan yang berlebihan pun sepertinya bukan pilihan yang bijaksana. Pertanyatannya, sampai di titik mana rasa takut bisa dianggap berlebihan? Kemungkinan besar jawabannya adalah saat rasa takut membuat kita tak lagi menikmati hidup. Saat kita tak hanya takut jatuh cinta, tapi menampik semua kemungkinan cinta yang ada di depan mata. Atau waktu kita tak bisa tidur pulas, karena takut kalau pasangan hidup mengetahui perselingkuhan kita. Mengorbankan kesehatan dan keselamatan, demi berhemat karena takut tidak bisa melunasi hutang. Bahkan mengajak orang lain untuk takut masuk neraka, padahal sendirinya belum tentu masuk Surga.
Salah satu cara untuk berteman dengan rasa takut, sama dengan mengenali orang yang baru kita kenal. Kenali saja mengapa rasa takut itu muncul? Mungkinkah ketakutan muncul bersumber dari ketidak tahuan? Kalau benar, maka cari tahu. Semakin banyak tahu, bisa membuka peluang yang membuat kita lebih tenang. Walau ada pula yang beranggapan, semakin banyak tahu bisa membuat kita semakin takut. Kalau begitu mungkin bisa coba cari tempe.
“Expose yourself to your deepest fear; after that, fear has no power, and the fear of freedom shrinks and vanishes. You are free.” ― Jim Morrison
Seperti penganut Jamaah TylerDurdenian: “It’s only after we’ve lost everything, that we’re free to do anything.”