Beberapa kali di kantor saya, dan sepertinya akan rutin setiap hari jumat dilaksanakan program penggunaan bahasa inggris. Aturannya mudah, semua wajib berbahasa inggris dalam setiap kesempatan: bercakap, rapat, menulis email, bahkan untuk ngegosip. Jika tidak, setiap satu kalimat berbahasa lain akan dikenakan denda Rp.1000. Pengawasnya banyak. Bergantian setiap minggu.
Sepertinya ini sesuatu yang sulit sekaligus mudah. Sulit soal konsistensi, mudah karena efektif mengurangi hal tidak penting di kantor. Obrolan langsung sepi. Kuantitas email yang masuk menurun drastis kecuali dari kantor lain, gosip memudar. Dunia kebatinan yang justru ramai. Semua membatin, kapan jumat akan selesai.
Mau ndak mau kita harus mau untuk belajar sesuatu yang masih “asing”, karena mau-tidak mau jika tetap menjadi asing tidak akan dapat kita taklukan bahkan kita nikmati hasilnya.
+
Misalnya soal uang.
Kita tidak mau disebut mata duitan, tapi kita akan sengsara tanpa uang.
Kita paham sekali bahwa soal uang tak biasa diajarkan oleh warga kebanyakan sejak dini. Uang semacam makhluk gaib. Seolah-olah sumber malapetaka. Kita tak terbiasa untuk dianggap wajar susah payah mencarinya. Uang itu rejeki. Asal-usulnya bisa datang tiba-tiba tergantung peruntungan. Bicara uang melulu, maka kita dianggap rendah. Hidup yang terlalu remeh-temeh. Sebagian dari pendapat itu ada benarnya. Uang bukan segala-galanya. Tapi zaman sekarang, uang menjadi bagian penting dari hidup kita. FinTech, mengajarkan bahwa soal uang adalah soal yang belum efisien. Terlalu banyak tangan dan seluk-beluk persyaratan.
Pernahkah meminjam uang di bank? Bagaimana kita ditelanjangi? Pernahkah kita mengutang pada teman? Lebih enak mana? Lembaga jasa keuangan seperti bank sudah terlalu angkuh untuk digoyang. Ambil atau tinggalkan. Bagaimana dengan modal ventura atau koperasi? Bunga yang terlalu tinggi? Syarat yang begitu banyak? Toh pada akhirnya kita akan bangga memiliki kartu kredit atas nama kita sendiri. Padahal, titik titik titik.
Berapa persen dari kita yang melek huruf? Berapa persen yang tidak memiliki rekening di bank? Berapa persen yang masih asing pada polis asuransi? Berapa persen yang hidupnya bergantung dari pinjaman sanak-saudara?
+
Sejak 1 Agustus 2015 MAS, Monetary Authority of Singgapur membentuk grup baru yang khusus mengurusi soal FinTech & Inovasi (FTIG). Tujuan dibentuknya FTIG ini adalah bertanggung jawab untuk kebijakan peraturan dan strategi pembangunan untuk memfasilitasi penggunaan teknologi dan inovasi untuk mengelola risiko, meningkatkan efisiensi, dan memperkuat daya saing di sektor keuangan. Di dalamnya terbagi dalam tiga unit yang mengurusi bidang Pembayaran dan Solusi Teknologi; Teknologi Infrastruktur; dan Laboratorium Inovasi Teknologi .
Apa yang dapat kita cermati dari hal ini? Apa yang dilakukan oleh MAS, menandakan bahwa Singapura ingin mengambil kesempatan sebagai sumber dan ibukota fintech dunia. Sesuatu yang masih asing bagi kita, apalagi pihak pemerintah dan otoritas yang berwenang.
Apa itu FinTech?
Financial technology, also known as FinTech, is an economic industry composed of companies that use technology to make financial services more efficient. Financial technology companies are generally startups founded with the purpose of disrupting incumbent financial systems and corporations that rely less on software (Wharton FinTech).
Bagaimana dengan legalitas perkembangan usaha ini di Nusantara?
Seperti biasa, kita masih bingung siapa yang memimpin era digitalisasi pasar keuangan ini. Apakah Bank Sentral selaku pemangku kepentingan ekonomi makro utama , Pengawas Jasa Keuangan yang bicara kelembagaan dan aktifitas sektor jasa keuangan baik bank, pasar modal maupun industri keuangan lainnya, atau Kementerian Komunikasi dan Informatika yang saat ini lebih rajin mencari situs yang layak dihambat aksesnya dengan mengatasnamakan moral yang baik sesuai ajaran agama.
Bahkan saat ini Kemenkominfo masih saja menggodok beberapa peraturan menteri yang masih belum jelas arah anginnya, apakah akan memberikan iklim kondusif bagi ekonomi atau justru (lagi-lagi) menghambat perkembangan, antara lain peraturan menteri terkait (1) Sertifikasi Kelaikan Sistem Elektronik, (2) Sistem Manajemen Pengamanan Informasi, (3) Perangkat Lunak, (4)Perangkat Keras (5) Tenaga Ahli, (6) Tata Kelola, (7) Penangangan Insiden (CSIRT), (8) Perlindungan Data Pribadi, (9) Audit Penyelenggara Sistem Elektronik, (10) Sertifikasi Kehandalan, (11) Penyelenggara Sertifikasi Sistem Elektronik, (12)Penyelenggara Sertifikasi Sistem Elektronik Induk, (13) Rujukan Standar Keamanan Informasi bagi Sektor Strategis. Semoga saja deretan peraturan ini adalah bagian dari memberikan kepastian usaha dan mendukung perkembangan industri yang berkaitan dengan teknologi informatika.
Agak susah jika pemerintah yang diwakili BI dan OJK selaku penguasa dunia usaha keuangan dan ekonomi tidak secara jujur mengakui bahwa pola pikir para birokratnya maupun ekonomis dan perisetnya masih duduk manis dengan era konservatif. Belum paham apa yang akan diatur hingga takut pada yang asing. Mereka sibuk memikirkan bank digital 3.0, padahal shadow banking sudah tersebar dimana-mana. Mereka sibuk memikirkan perkembangan baitul mal ta’wil dan koperasi, padahal perusahaan fintech dengan pola crowdfunding sudah menggurita dan dinikmati warga masyarakat. Pengatur dan pengawas modal ventura kecolongan dengan banyaknya Venture Capital yang telah menanamkan investasi milyaran rupiah di beberapa anak usaha berbasis teknologi informatika. Mereka selalu membentengi diri bahwa selama belum ada izinnya maka bukan wilayah kerja mereka dan asing.
Padahal pola pikir ini sudah ketinggalan jam tayang. Seperti pengelola kebun binatang, mereka asik menunjukkan wahana sirkus yang berisi beruang madu, macan sumatra, paus sperma, dan pinguin kutub. Juga sibuk membersihkan kandang dari beberapa macam binatang yang sudah terkurung dalam sangkar emas. Padahal di luar kebun binatang itu terbentang hutan rimba, padang savana, lembah dan rawa-rawa dengan berbagai spesies belum dikenal dan baru muncul. Banyak mutan baru dan varian hibrid dari hasil pemuliaan embrio oleh ilmuwan luar maupun lokal. Biar ndak pusing, mereka bilang: “itu ilegal”. Mudah, murah, dan keblinger.
Uang pajak masyarakat lebih banyak digunakan untuk dinas luar kota ndak penting-penting amat, studi banding pura-pura, gathering karyawan agar makin kerap bergosip, dan bonus akhir tahun untuk membangun usaha kos-kosan jelang pensiun.
Sengaja kita tak bicara data, karena dengan mudah kita bisa mendapatkannya. Tapi jauh lebih vital dan kritis: Kita mau apa? Berdiam diri dan menyaksikan saja, penjajahan postmodern dengan pemain-pemain asing yang berinvestasi dengan leluasa ataukah menumbuhkan daya juang anak negeri dengan memberikan ladang dan bibit serta pupuk yang unggul bagi perkembangan industri.
Jebakan utama kita adalah perlindungan konsumen. Selama dilindungi, dan ada mekanisme perlindungan, ya sudah. Cukup. Itu saja. Maka kita sebaiknya tertawa. karena itu adalah bagian dari ciri kemalasan berpikir pemerintah dan tentu saja kita sendiri. Padahal perlindungan konsumen paling baik adalah di fase pencegahan. memastikan setiap model bisnis tidak mengorbankan kepentingan konsumen.
Regulasi itu penting, tapi mendengar jauh lebih penting. Pemerintah kita terbiasa untuk datang, lawan lalu menang. Vini Vidi Vici. Padahal ndak semuanya mesti demikian. Lebih banyak mendengar. Saling membuka ruang komunikasi tanpa adanya asumsi berlebihan sebelumnya. Bukan lagi bicara ekonomi kerakyatan atau kapitalis. Tapi kapital yang merakyat. Modal yang digelontorkan dengan baik. Tidak lagi bicara asing dan dalam negeri. Tapi apa manfaatnya bagi warga. Pemerintah dan pengusaha yang saling berpilin dalam anyaman ekosistem bisnis.
Demikian.
Sudah siang. Waktu adalah uang. Sementara, kita akhiri dulu. Mari didiskusikan dalam kolom komentar.
Sebaik-baiknya uang, adalah pada saat kita miliki dapat mendamaikan hati.
Salam hangat,
Roy
Paling suka kalimat: Uang pajak masyarakat lebih banyak digunakan untuk dinas luar kota ndak penting-penting amat, studi banding pura-pura, gathering karyawan agar makin kerap bergosip, dan bonus akhir tahun untuk membangun usaha kos-kosan jelang pensiun = fakta banget…..hehehhe
SukaSuka
Gw cuman konsen ke tagging nya ajah…
Bo’ong. Gw suka kalimat nih: “perlindungan di fase…” Apalah itu. Nice.
SukaSuka
pesan subliminal sebagai hak istimewa penulis. ahahaha. iya, perlindungan yang benar ya di tahap preventip. biar belum timbul biaya :)))
SukaSuka
Jadi kalo Tara Basro pake kutek, dia ahli fintech ngga? #galatpikiran
SukaSuka
skipped most part of the article and yet feel so touched with the last sentence.
SukaSuka
serah aja kak.
bebaaaaz
SukaSuka
Salam kemerdekaan!
SukaSuka