Jauhkan aku dari manusia yang tidak mau menyatakan kebenaran kecuali jika ia berniat menyakiti hati, dan dari manusia yang bersikap baik tapi berniat buruk, dan dari manusia yang mendapatkan penghargaan dengan jalan memperlihatkan kesalahan orang lain.
“Eh, tau gak. Gue kemarin lihat dia lho keluar kamer si Bapak itu pas lagi dines”.
Tidak ada yang lebih memberikan letupan semangat selain membicarakan orang lain. Karena bicara soal orang lain menjadikan kita laksana dewa yang sedang mengatur nasib makhluk ciptaannya. Berkuasa penuh, dengan berbagai macam emosi campur baur dan olah analisis mengapa begini, mengapa begitu.
“Lihat deh tuh, tas itu sama banget kan dengan punya aku. Apa-apa dia ngikutin gaya aku muluk sih..”.
Coba diingat-ingat, kapan terakhir kali kita membicarakan orang lain. Bisa jadi setelah membaca tulisan ini, kita akan kembali asyik masyuk membicarakan siapa lagi. Ini bukan soal peran media sosial dan gawai. Ini soal kebiasaan. Ini soal minat. Ini soal hobi. Ini soal watak. Gawat!
“Jadi, kalo mau cepet dapet target ya, lo kudu mau buka dua kancing lah pas nemuin klien, kayak si.. tau sendirilah lo.. Ahahaha bener kan omongan gue”.
Bahwa cara paling mudah agar kita lebih “tinggi” dari sekitar kita adalah dengan “memandang rendah” yang lain. Laksana alih-alih kita naik sebuah kursi kecil ketika akan foto bersama agar tertangkap jelas kamera karena kita berada di baris ketiga, kita lebih memilih mencangkul permukaan tanah depan kita agar baris kedua posisinya lebih rendah. Seperti bukannya berlomba menaiki anak tangga agar kita lebih mulia, siapa lebih tinggi derajatnya, namun memilih berlari sembari membawa kulit pisang dan satu ember oli. Agar yang lain, yang terpenting, jelek di mata sesama. Jatuh bergelimpangan. Rampung.
“Orang yang berjiwa besar memiliki dua hati, satu hati yang menangis dan yang satu lagi hati yang bersabar”
Arena yang paling sering dijadikan wahana saling bicarakan selain “kita” adalah gerobak sayur yang senantiasa keliling kompleks perumahan. Ini dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga. Atau kubikel salah satu ruang kerja. Biasanya dipicu oleh sepiring rujak buah. Atau grup whatsapp. Bagi bapak-bapak tentu saja warung kopi, angkringan, pojok tangga darurat tempat mereka mengepulkan asap.
“Bukan saya bermaksud menjelekkan dia tapi kenyataannya tuh ya dia itu…”
Paling mudah memang membicarakan apapun selain kita. Bicarakan orang lain yang tak benar maka timbulnya fitnah. Jikapun benar, namun jika itu tidak akan membawa kebaikan bagi yang dibicarakan dan tak membuatnya senang, itulah ghibah. Dalam bahasa padang pasir, ada istilah Fastabiqul Khoirot. Berlomba-lomba dalam kebaikan. Saling mengumpulkan nilai sebanyak-banyaknya. Bukan saling mencoreng muka. Bukan menyematkan bau amis di pakaian sahabat, rekan kerja, atau pasangan kita sendiri.
“Ah, dulu tuh ya jaman masih kere, Bapak itu kan..”.
Ada saatnya kita mulai membatasi ruang gerak kebiasaan lama. Mulai membedakan mana batas privasi orang lain dan ranah publik. Lebih mengenal dan menghormati kehidupan orang lain. Bahwa ketidaksempurnaan “selain kita” bukan menjadi alasan pembenar untuk dapat didiskusikan dan menguliti segala permasalahan yang menghinggapinya.
Apa yang lebih indah dari saling menjaga hati agar tetap berseri-seri?
Salam anget,
Roy
Satu tanggapan untuk “Kita Berbaring di Padang Rumput Lalu Memandang Langit dan Perlahan Mengatupkan Mata Merasakan Dibelai Semilir Angin”
Sulitnya menahan rasa keingintahuan di kalangan publik
SukaSuka