Jakarta Tak Perlu Warga Miskin?

Buat sebagian besar warga Jakarta, Singapura sudah layaknya seperti tetangga. Sejak kecil, berlibur ke Singapura memberikan kebahagiaan yang luar biasa. Apalagi sekarang sejak adanya pesawat terbang ekonomis yang menjadikan kelas menengah Jakarta bolak balik ke Singapura. tak hanya berbelanja, tapi juga berobat, berwisata, ngopi-ngopi atau bahkan kencan gelap sesaat.

Sejak itu pulalah tertanam konsep kota yang ideal adalah Singapura. Trotoar yang bersih, lampu lalu lintas yang teratur, tingkat kriminalitas yang terbilang rendah, tepi sungai yang tertata apik sehingga bisa menjadi daya tarik wisata, pasar basah yang tidak bau menyengat, kendaraan umum yang selalu tiba tepat waktu, kemacetan yang minimal, banjir yang hampir tak pernah datang, dan tak ada kawasan kumuh di tepi sungai. Seluruh warga bisa hidup tenteram, aman, dan sepertinya bahagia lahir batin.

Begitu pulang ke Jakarta, mendadak semuanya itu hilang. Kota yang semrawut, kotor, berantakan, dan kawasan kumuh yang dihuni oleh warga miskin tersebar di seluruh penjuru kota. Membuat sakit mata warga kelas menengah. Terutamanya saat membawa turis dari negeri yang lebih maju, rasa malu dan tidak percaya diri pun menyelinap pelan-pelan. Tak hanya rumahnya yang kumuh, warga miskin yang tinggal di kawasan kumuh pun perlahan kita anggap sebagai musuh bersama.

Warga miskin yang tinggal di tepi sungai, dituduh menjadi penyebab penyempitan sungai yang mengakibatkan banjir. Warga miskin yang tak memiliki pekerjaan sering muncul di media sebagai pelaku tindak kekerasan. Warga miskin yang sering melanggar aturan lalu lintas sebagai penambah kesemrawutan. Menyulitkan warga yang mengendarai mobil. Secara singkat dan gamblang, warga miskin adalah musuh utama pembangunan dan kenyamanan kota.

Penggusuran wilayah kumuh terutamanya tepi sungai pun mendapat sambutan positif bagi sebagian besar warga kelas menengah Jakarta. Harapan kota yang indah nan permai seperti Singapura mulai menunjukkan titik terang. Sungai dan kali yang bersih sehingga mengurangi banjir sebentar lagi akan terwujud. Warga miskin itu memang tak seharusnya tinggal di situ. Mereka tinggal di tanah tanpa izin. Dan di atas segalanya, toh mereka mendapat ganti tinggal di Rusunawa yang disediakan gratis oleh pemerintah. Rusunawa tentunya lebih nyaman daripada di tepi sungai. Kurang enak apalagi coba?

Ketika terjadi bentrokan saat penggusuran, media sosial pun terpecah. Saat ada yang teraniaya dan terluka pun tak dianggap penting. Kekerasan yang dilakukan oleh Ormas, pantas untuk dikutuk. Tapi jika dilakukan oleh Pemerintah demi kepentingan kota, wajar dan pantas dilakukan. Warga miskin dinilai memang layak diperlakukan sedemikian rupa. Merekalah penghambat dan penghalang selama ini. Penyebab segala nista kota. Kalau tidak mau diatur sebaiknya mereka pergi saja dari Ibukota kita tercinta ini. Kalau mau tinggal di sini, ya harus ikut aturan rimba: siapa kuat dia menang.

Bagi yang biasa tinggal di rumah tanah, tinggal di Rusunawa tentu butuh penyesuaian. Apalagi kalau ukurannya tak lebih dari 15m2 dengan ancaman bangunan perpanjangan setiap 2 tahun dan bisa dirubuhkan kapan saja tanpa hak ganti rugi. Setelahnya? Mereka pun harus pergi. Silakan cari tempat tinggal sendiri. Di kota yang tak lagi sanggup mereka tinggali.

Sementara, sebagian besar kelas menengah, bisa dibilang tak bisa lagi hidup tanpa pembantu dan sopir. Buktinya, saat musim Lebaran tiba, banyak yang mulai jejeritan mengeluh. Atau saat hendak membangun atau merenovasi rumah, mana ada warga kelas menengah yang mengerjakannya sendiri? Semua panggil tukang. Tengah malam kelaparan? Ada tukang nasi goreng dukduk yang melintas. Tak punya waktu mengurus surat-surat, ada banyak tukang yang siap membantu. Tukang parkir yang siap memberikan panduan slot parkir kosong. Pramusaji yang menjadikan acara ngopi-ngopi jadi lebih nikmat. Supir gojek, taksi, bis, bajaj, semuanya ada di Ibukota dan sebagian besar mereka tinggal di daerah kumuh.

articlecitypatterns_11

Kalau seluruh warga miskin Jakarta, perlahan menepi dan tinggal di lingkar luar kota apa yang akan terjadi? Tentu harga jasa mereka akan semakin mahal. Karena biaya transportasi mereka akan semakin meningkat. Dan semakin mereka terpinggirkan, perlahan akan pergi dan mencari nafkah di kota-kota lain yang “menerima” kehadiran mereka.

Tentunya kelas menengah tak perlu khawatir, akan selamanya ada tenaga-tenaga yang siap mengerjakan pekerjaan mereka selama ini. Bahkan mungkin lebih profesional. Tapi, dengan biaya yang semakin tinggi. Saat membangun rumah, maka harus “mengimpor” tukang dari kota lain. Saat kelaparan tengah malam, tak ada lagi penjaja makanan yang lewat. Tanggal cekak? Tak ada lagi warteg tempat seluruh warga miskin dan pekerja kelas menengah makan bersama. Tukang urut langganan? Tak lagi tersedia setiap waktu. Persis seperti yang terjadi di Singapura saat ini. Tenaga kerja kasar dan buruh yang harus diimpor dari Pakistan, Filipina, Indonesia, India dan lain-lain.

Tindak kriminalitas akan menurun? Tentu tidak juga. Karena ini soal tindakannya, bukan pelakunya. Semua kelas warga bisa dan sering melakukan tindak kriminalitas. Kita sudah menjadi saksi bahwa pencuri dengan nilai terbesar di Ibukota ini sebenarnya dilakukan oleh warga menengah ke atas. Kecelakaan di jalan raya pun banyak yang dilakukan oleh pemilik mobil mewah. Perampokan? Bukankah para koruptor banyak yang tinggal di Ibukota? Warga miskin tidak taat aturan, banyak. Tapi banyak juga kelas menengah dan atas yang mengendarai mobil dan parkir keluar dari marka. Warga miskin sering membentuk kelompok-kelompok yang meresahkan warga. Itu terlihat. Tapi bukankah lebih banyak lagi warga kaya yang membentuk kelompok dan merugikan warga lain, yang sialnya tidak terlihat. Atau bahkan sulit untuk dibuktikan.

Hidup berdampingan antar kelas, tentunya menjadi ideal. Karena ideal makanya sulit untuk diwujudkan. Tapi bukan tidak mungkin bahkan menjadi kewajiban bersama. Membutuhkan waktu yang lama tapi lebih menjanjikan keharmonisan untuk kota. Wilayah kumuh yang kalau dikelola dangan baik dan bijak, akan menambah keindahan dan karakter kota yang memiliki nilai tersendiri. Percayalah, selamanya Jakarta bukan Singapura. Dan sebaiknya Jakarta tak jadi Singapura. Karena Jakarta memiliki keunikan, ciri khas, kebudayaan, kelebihan yang sering membuat warga Singapura iri. Dan, menurut kabarnya, Singapura menyesal telah mensterilkan kota eh, negaranya dari wilayah kumuh dan memelihara warga miskinnya http://m.thejakartapost.com/news/2016/01/23/in-search-kampung-spirit-jakarta.html

kalisunter - ken pattern

homeontheciliwung-2 traditions

Ken Pattern's Stone Lithograph "Benhil" during the opening of Ken Pattern's Charity Art Exhibition at Grand Melia Hotel, Jakarta (Monday, April 26, 2010) organized by The Canadian Women's Association. And exhibition open until May 22, 2010. ----- JP/P.J.LEO

"Kali Ciliwung - Sunda Kelapa" by Ken Pattern
“Kali Ciliwung – Sunda Kelapa” by Ken Pattern

seluruh ilustrasi di artikel ini karya Ken Pattern, http://www.kenpattern.or.id

By:


3 tanggapan untuk “Jakarta Tak Perlu Warga Miskin?”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: