“Karena kehidupan yang menyakitkan jauh lebih buruk daripada kematian yang menyakitkan’
Karena hidup memang selalu harus diperjuangkan. Bertahan hidup adalah asasi pertama manusia. Maka hidupilah hidup. Apapun adanya.
Adakalanya hidup tak terlalu menyenangkan. Semacam menjadi korban. Apa iya? Karena semua soal pilihan. Tetap menjadi korban, atau berkorban dan beranikan diri untuk melawan. Tentu saja dengan ongkos yang tak tentu.
Agar agak sedikit membumi dan jatuh dari awang-awang, mari kita bercermin. Mematut diri apa yang kurang dari wajah kita? Seharusnya ndak ada. Soal bentuk saja. Demikian juga dengan tubuh.
Dan sesungguhnya hidup tak sesederhana itu. Karena hidup tak melulu tubuh. Hanya sebuah wadah. Molekul-molekul yang sedemikian rupa saling mengikatkan diri untuk membungkus percikan-percikan dinamis yang ada dalam otak. Sebagian orang menganggap itu adalah hati. Sebuah perasaan yang kemunculannya berasal dari dada. Tapi sesungguhnya semua adalah dalam pikiran kita. Hati dan pikiran adalah satu.
Dan sesungguhnya teman kita yang sejati adalah pikiran kita. Pernahkah kita menghitung berapa kali percakapan yang terjadi antara kita dan kita sendiri. Dialog pagi hari, dialog siang hari, dialog saat naik motor, dialog saat di toilet. Dialog saat di depan cermin. Dialog saat di depan layar komputer. Dialog saat menggengam gawai. Dialog saat akan memutuskan apakah memilih warna merah atau biru. Dialog sore hari. Dialog untuk menentukan ekspresso atau kapucino. Dialog untuk menolak atau menerima.
Dan sesungguhnya kita adalah makhluk yang kesepian. Selalu harus ada yang hadir di samping kita. Entah hawa, buaya betina, kerbau jantan, atau sejenis kucing garong. Dalam filem “Her“, pendamping kita cukup lawan bicara. Entah peduli apakah manusia atau sekadar mesin dengan kecerdasan dan perasaan artifisial.
Dan sesungguhnya menjalani kehidupan sendiri dan bersama dengan yang lain sebetulnya sama saja. Secara natural manusia ingin bercinta, maka dibuatlah toys, dildo, filem bokep, baby oil, sabun, dan setumpuk tisu.
Dan sesungguhnya soal selera adalah soal yang direkayasa oleh sebagian pengusaha. Karena tanpa mengenakan baju dengan merek tertentu, makan di restoran tertentu, atau tinggal di daerah tertentu kita tetap sehat wal afiat.
Ini adalah sumber persoalannya.
Manusia menderajatkan diri pada strata semu yang diciptakan dan diyakini. Segumpal darah yang ingin jadi priyayi. Sekerat daging yang ingin dihormati. Status sosial yang memberikan keistimewaan tertentu, kebanggaan tertentu, yang “dan sesungguhnya semu”.
Kita juga tak luput terjebak atas profesi, silsilah keluarga, tingkat pendidikan, dan orientasi seksuil.
Mengapa?
Karena pada akhirnya kita akan sibuk dengan urusan kita masing-masing. Semua strata, semua derajat akan berakhir dengan “cukup tahu”. Tak ada yang peduli siapa kita, karena masing-masing sedang sibuk menciptakan identitas masing-masing. Jika dilihat lebih kita akan cemburu. Jika dilihat tidak lebih baik dari kita maka kita alamiah untuk bangga.
Dan sesungguhnya ketika perasaan tak pernah cukup, maka penderitaan manusia dimulai. Secara individu maupun secara komunal derita itu terus muncul dan mendera, maka perlu ada sesuatu yang baru yang memberikan harapan. Sebuah kehidupan lain yang dapat diharapkan. Sebuah hidup ideal bak nirwana. Bahwa selalu ada kegembiraan tanpa jeda.
Maka pemuka agama mengambil alih kesempatan ini. Membuka wawasan yang cenderung terlalu visioner untuk melakukan lompatan bahwa yang penting adalah kehidupan “bab lanjutan”. Maka diciptakanlah kurcaci-kurcaci yang diiming-imingi kehidupan setelah mati. Duniawi menderita saja ndak papa. Surga lebih bernilai. Asal minggu depan jangan lupa undang saya lagi dan siapkan amplopnya.
Tuhan menjadi sebuah konsep asing yang sengaja didekatkan dengan segala ancamannya. Tuhan diperkenalkan seperti mitra bisnis dengan mata uang bernama pahala dan dosa.
Tuhan macam apa yang mengasingkan manusia dari manusia lainnya? Pemuka agama macam apa yang membangun rumah tuhan jauh lebih megah daripada tempat tinggal saudara kita yang dengan atap seng dan dinding kardus indomie. Bahkan rumah kita sendiri. Pemahaman macam apa yang menganggap yang beda adalah musuh? Ajaran apa yang selalu menyuruh untuk terus berdiam diri dalam doa, tanpa melecut umatnya untuk giat diterpa matahari dan berkeringat dalam kerja?
Dan sesungguhnya beranikan diri saja untuk melakukan apapun yang kita anggap baik dan kita kehendaki.
Seperti selera, bahagia adalah soal yang begitu personal.
Dan sesungguhnya…
..bagimu bahagiamu, bagiku bahagiaku.
Salam anget,
Roy
Tulisan manis. Bikin harap2 semu bisa nulis kayak gini.
SukaSuka
Aku keinget film PK juga Om Roy, setelah membaca ini.
Salam cerah dan sehangat matahari pagi,
SukaSuka
Om Loy Kerennn..Warbiyasakkk..
:))
SukaSuka
terima kasih. 🙈
SukaSuka
salah satu pembaca setia linimasa, Ria, bikin ini. 🙂 terima kasih ya.
https://www.dropbox.com/s/4ebzithnty3ncgk/dan%20sesungguhnya.mp4?dl=0
SukaSuka
Sangat roy.
SukaSuka
Salam anget jg
SukaSuka
peluk anget
SukaSuka
Thanks for the writing, om! Sukak!
SukaSuka
terima kasih sudah membaca 🙂
SukaSuka
bagus tulisannya..
SukaSuka
aku orangnya emang suka gitu. kalo nulis bagus.
SukaSuka
Iya emang, sudah terbukti om ^^
SukaSuka
ahahaha. terima kasih. maap ya, suka ujub
SukaDisukai oleh 1 orang