Meramal masa depan itu dilarang oleh agama. Iya. Agama saya. Tapi dianjurkan jika menggunakan awalan “ber-“. Beramal.
Jadi lebih baik meramal masa depan atau beramal untuk masa depan?
Mungkin akan lebih baik jika penggunaan kata yang dipilih adalah mempersiapkan masa depan. Apa yang akan terjadi di lain waktu sudah kita antisipasi sebaik mungkin.
Kemarin saya membaca salah satu tulisan di blog konpasiana soal prinsip ilmu nabi Yusuf yang terkenal bukan saja ganteng namun ahli dalam perbekalan. Dirinya dianggap berhasil mengubah mimpi buruk kemungkinan bencana kekeringan dan kelaparan negeri Mesir menjadi sebuah kehidupan yang gemah ripah loh jinawi.
Setidaknya ada empat prinsip pokok tentang ketahanan pangan yang digagas dan diterapkan oleh Nabi Yusuf AS yang sampai dengan saat ini bahkan pada masa-masa yang akan datangpun masih tetap relevan untuk diterapkan.
Pertama, prinsip Optimalisasi Lahan, yaitu
mengoptimalkan seluruh potensi lahan untuk melakukan usaha pertanian yang dapat menghasilkan produk berupa bahan pangan pokok.
Kedua, prinsip Manajemen Logistik Pangan, dimana masalah pangan sepenuhnya dikendalikan langsung oleh pemerintah yaitu dengan memperbanyak cadangan pangan pada saat produksi berlimpah dan mendistribusikannya secara selektif pada saat ketersediaan pangan masyarakat mulai berkurang.
Ketiga, prinsip Mitigasi Bencana Kerawanan Pangan, yaitu melakukan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya bencana kelaparan atau kondisi rawan pangan yang disebabkan oleh perubahan drastis kondisi alam dan lingkungan.
Keempat, prinsip Deteksi Dini dan Prediksi Anomali Iklim dan Cuaca, yaitu melakukan analisis terhadap kemungkinan terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrim dengan mempelajari fenomena alam seperti tingkat curah hujan, kelembaban udara, arah dan kecepatan angin, evaporasi atau penguapan air permukaan serta intesitas sinar matahari yang diterima oleh bumi. Prediksi atau prakiraan dini terhadap kemungkinan terjadinya anomali iklim dan cuaca yang dilakukan oleh Nabi Yusuf AS belakangan terbukti secara ilmiah bahwa hal itu bukan sekedar dugaan atau rekayasa belaka. Pengamatan dan Analisis yang dilakukan oleh otoritas klimatologi di hampir semua negara, termasuk Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) membuktikan bahwa anomali atau perilaku menyimpang dari iklim dan cuaca bisa terjadi pada kurun waktu 5 sampai 10 tahun sekali.http://m.kompasiana.com/masfathan66/konsep-ketahanan-pangan-nabi-yusuf-a-s_54f9214fa33311ac048b46ac
Demikianlah.
Ajaran agama terutama soal sejarah (Tarikh) seharusnya disikapi secara ilmiah. Namun hal ini jarang dikupas dan menjadi fokus ibu-ibu pengajian dan khotbah jumat.
“Agama yang kita kenal itu melulu agama yang heboh tuhannya marah-marah”, kata Gandrasta.
Iya, soal agama dan ilmu seolah-olah terdapat garis pemisah. Belajar agama berbeda dengan belajar ilmu. Padahal?
Kemarin topik ini sempat kami bahas di WA Group Penulis Linimasa.
Gandrasta menambahkan bahwa sebetulnya dalam belajar agama terutama kisah hidup Rasul terdapat ilmu bermacam-macam. Lintas disiplin.
Ada soal bangun pagi, oksigen, teori fusi, gravitasi, ovulasi, dan cara PDKT Nabi Muhammad SAW ke calon istrinya, cara keluarga Nabi Muhammad SAW keluar dari krisis keuangan (jaman kain impor ibu Khadijah telat kirim karena kapalnya dibajak orang).
Pertanyaannya: mengapa hal ini jarang disinggung?
Apakah karena cendekia muslim begitu lekas mati tanpa kaderisasi? Sehingga efeknya umat muslim menjadi tertinggal soal iptek akhir-akhir ini.
Erick Chaney menulis dalam jurnal di Harvard Desember 2015 kemarin. Judulnya Religion and The Rise and Fall of Islamic Science. https://rawlacquer.files.wordpress.com/2015/12/science_12_10_2015-2.pdf
Salah satu sebab dunia Islam tak lagi menguasai iptek adalah soal keberpihakan pemimpinnya yang membiayai dan mendukung penuh lembaga maupun aktivitas ilmiah. Salah satu alasan adalah politis. Ketika muncul orang pandai, pemimpin akan kuatir dengan pengaruh “orang pandai” lain yang tumbuh dari madrasah-madrasah yang dibiayai. Juga pemimpin lebih baik memiliki banyak pendukung dengan beranak pinak sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan lebih jauh apakah keilmuan generasi penerus akan cukup bertahan bahkan melampaui generasi sebelumnya.
Hal ini dimungkinkan mengingat kekhasan dunia islam bahwa pemimpin adalah wakil tuhan. Maka apa kata pemimpin adalah titah tuhan.
Lalu bagaimana soal meramal dan beramal ini.
Tentu saja untuk meramal (forecasting) perlu ilmu. Apalagi beramal. Selain ilmu, untuk beramal jariyah perlu juga harta benda. Maka, bagi saya meramal atau beramal, sama-sama baik. Bukan meramal nasib pribadi apa yang akan terjadi esok hari. Namun meramal apa yang perlu kita siapkan dalam menyongsong hari esok agar lebih baik, lebih tenang, lebih kaya, dan lebih bermanfaat.
Sembari itu, kita beramal. Apapun yang dapat dan boleh kita berikan.
Islam itu hebat, karena tak ada batas penghalang dalam kita bermasyarakat. Kecuali yang dilarang. Lantas mengapa kita sibuk membatasi diri, ketakutan berlebihan terhadap yang boleh dan tak boleh?
Islam yang ramah. Memberikan apapun yang terbaik bagi seluruh semesta raya. Menyumbangkan dan berperan aktif untuk Sesama manusia, alam, masa lalu dan masa depan agar lebih baik.
Kita tak perlu najis untuk membaca segala. Bacalah. Bukan berarti apa yang kita baca akan mengubah diri kita persis dengan apa yang ada dalam kata-kata bacaan itu. Membaca segala, menambah cakrawala, hingga tak berhingga.
Karena pada akhirnya kita semua ingin menuju Yang-Tak-Berhingga.
Selamat menjalankan tahun kabisat.
Salam hangat dari saya.
Roy