Di Lapangan Blok S, pangan dekat tempat tinggal saya sewaktu kecil, ada sebuah pohon besar bernama Pohon Saga. Dari pohon tersebut, menghasilkan biji Saga. Warnanya merah, kecil-kecil, bertebaran di sekitaran tanah akarnya. Buat yang belum pernah melihat, ini saya ambilkan dari Google.
Setiap habis berjalan-jalan, ke Gereja atau Sekolah, selalu melewati Lapangan Blok S. Ibu sayalah yang mengenalkan akan jenis buah ini dan sekaligus permainannya. Sederhana sekali kalau diingat. Tapi tetap penuh tantangan. Cuma diserak di lantai, dan kemudian dijentikkan agar satu biji saga kena dengan satunya lagi. Tapi sebelum dijentikkan, jeda antara biji yang satu dengan yang lain, harus digaris menggunakan jari dan jari tak boleh mengenai biji Saganya. Kalau kena jari, ganti pemain. Kalau sukses, silakan disentil sampai kena. Syaratnya lagi, tak boleh mengenai biji Saga yang lain di lantai. Siapa yang berhasil mengumpulkan biji Saga terbanyak, dialah pemenangnya.
Dari biji Saga ini pulalah saya mengenal warna merah. Iya, warna merah yang saya suka. Dan di kemudian hari selalu menjadi panduan saya saat mendisain. Ingin mencapai warna merah Saga. Tidak cemplang, tidak terlalu pekat. Merah yang alami. Dan menurut mata saya, merahnya sangat berkelas.
Sejak mengenal biji Saga, saya hampir selalu membawa sekantung biji Saga. Dari mulai saya kuliah, pindah kos saat bekerja, mengontrak, sampai punya tempat tinggl sendiri. Dua mangkok biji Saga menjadi bagian dari hiasan rumah. Setiap kali melihatnya selalu bisa memberikan rasa bahagia. Dan sedikit optimisme, kalau boleh lebay.
Dari dulu pula, ada tantangan yang saya buat sendiri. Gimana caranya, bisa bikin ronce biji Saga. Masalahnya, dulu belum ada bor yang mikroskopik. Mengingat biji Saga yang ukurannya sedikit lebih besar dari biji Jeruk. Dan sekalinya ada, biji Saganya pecah saat dibor. Mau dibuat ronce buat apa? Saya membayangkan, kalau ada pohon Natal yang dihias menggunakan ronce biji Saga sepertinya akan jadi indah. Apalagi kalau pohon Natalnya benar pohon Cemara asli. Bukan plastik.
Setiap kali saya melihat dua mangkok biji Saga, jadilah semacam tantangan hidup. Tak hanya mengingatkan pada masa lalu, tapi juga harapan akan masa depan. Sepertinya saya akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia kalau saya bisa menemukan cara membuat lubang kecil di biji Saga, kemudian meroncenya. Kalau mau dibilang obsesi kecil, bisa juga.
Sampai ketika saya berkunjung ke sebuah pasar malam di Siem Reap kemarin. Bukan hanya terkejut, saya bahagia luar biasa ketika melihat sebuah booth yang menjual perhiasan yang terbuat dari RONCEAN BIJI SAGA! Karena tak ada yang tau cerita pribadi saya dibalik biji Saga ini, saya tak bisa membaginya kepada siapa pun. Sampai saya menuliskannya di sini.
Penjualnya bercerita bahwa dia memang memiliki pohon Saga yang tumbuh di belakang rumahnya. Mengebornya satu per satu pun ternyata memang tantangan tersendiri. Satu persatu karyanya saya pegang. Dan mendadak saya seperti dibawa ke zaman sekolah di Lapangan Blok S.
Natal 2015.
Melihat dua mangkuk biji Saga di atas meja. Bendanya tetap sama. Biji Saga tetap tumbuh, walau jumlahnya sudah tidak sebanyak dulu. Merahnya masih seindah dahulu. Tapi sayanya yang berubah. Kini dua mangkuk biji Saga bukan lagi tantangan. Sudah ada yang berhasil memecahkannya. Tapi zaman yang membuat saya melihat biji Saga dengan berbeda.
Yang tadinya tantangan menjadi kenangan. Yang tadinya khayalan menjadi kenyataan. Yang tadinya harapan menjadi keberhasilan. Seperti makna Natal untuk saya. Karena selalu jatuh berdekatan dengan Tahun Baru, Natal semacam “pemanasan” untuk mulai berencana, berharap dan berkhayal .
Tepat di hari Natal kemarin, saya dan Ibu sengaja mampir ke Lapangan Blok S. Kami ingin melihat apakah pohon Saga masih ada. Kegembiraan luar biasa saat melihat biji Saga berserakan di tanah. Ingin rasanya memungut semua biji Saga yang ada. Biji Saga yang diam-diam selama ini telah menjadi bagian dari hidup saya. Mulai dari warna merahnya yang menginspirasi sampai bentuknya yang membangkitkan imajinasi.
9 tanggapan untuk “Saga Natal”
Ada satu pohon di rumah embah di kampung, namanya ‘oro’ kalau kami bilang. Bisa di bakar pasir trus di makan, kena gigi bunyinya kletus kletus. Rasanya tawar, gak enak. Dulu di sajikan kalo kami berkunjung, sekarang kakek nenek sudah gak ada, jadinya gak ada lagi yang ngurusin pohon ini.
SukaDisukai oleh 1 orang
Waaah aku baru tau ini bisa dimakaaaan… terima kasih ya udah berbagi
SukaSuka
Om.. Inget ini jd inget jaman asma dulu, kalo udh batuk disuruh minum rebusan daun saga.. Tapi pahitnya naujubile. btw boleh keknya dishare buat di tanem dirumah bijinya
SukaSuka
Aku gak punya lahannya hahahaha
SukaSuka
Sy baru tau kalau ini namanya biji saga. Tulisan mas glenn membawa saya kembali ke jaman SD. Kalau pelajaran belum mulai, saya senang ngumpulin biji merah ini. Sayang pohonnya di lapangan sekolah harus dipotong saat saya kelas 2.
SukaDisukai oleh 1 orang
Udah mulai jarang ketemu pohonnya yaaa
SukaSuka
glenn, aku juga punya kenangan juga tentang biji saga ini. aku dulu tau mengenai biji ini di taman lembang, gara-gara ngumpul sama temen-temen (yang sampe sekarang jadi sahabat) dan salah satu yang kuinget sampe sekarang adalah biji-biji merah ini.
SukaDisukai oleh 1 orang
Apa coba kenangannya?
SukaSuka
1 orang sudah meninggal glenn.
SukaSuka