Pertemuan orangtua murid dan pihak Sekolah dua minggu lalu berakhir kecut. Hanya sekitar 3 anak murid yang akan melanjutkan jenjang SMP di sekolah ini. Dua orang harus pindah ke kota lain. Selebihnya karena biaya. Masuk SMP butuh Rp. 50,000,000,- dengan uang bulanan Rp. 2,000,000,. Lalu ada tambahan sekitar Rp. 350,000,-/bulan untuk catering dan Rp. 250,000,-/bulan buat tabungan perjalanan wisata tiap akhir tahun ajaran.
Sekolahan janji ndak ada biaya tambahan selain yang disebutkan di atas. Dalam pikiran orang tua, kan belum uang jajan, antar-jemput, ekstrakulikuler, les, kursus masak, bioskop, pulsa, internet? Mereka ndak bisa jelaskan secara rinci kenapa menolak tawaran sekolah tadi. Tapi semua punya logika yang sama: lah, mahal amat?
Dengan aggaran di atas. Kalau janji sekolahan terbukti. Maka, untuk 3 tahun ke depan, orangtua harus membayar Rp. 143,600,000,. Setara Rp. 4,000,000,- sebulan. Ditambah biaya lain-lain, termasuk uang pacaran, bisa jadi Rp. 6,000,000,- sebulan. Angka ini jauh melampaui UMP Jakarta 2015.
Mungkin sebagian kita bilang, “ah ndak masalah kalo kaya-raya.” Atau, aku yakin bakal ada yang ambil kesempatan menyarankan sebuah tabungan dana pendidikan atau sejenisnya. Juga ndak masalah kalau pendapatan orangtua murid mencapai Rp. 50,000,000,- per bulan, yatim-piatu, punya anak tunggal, dan bebas cicilan.
Lagipula di luar banyak sekali sekolahan. Besarnya biaya juga beragam-ragam sesuai kemampuan. Kita pilih aja. Ndak ada kewajiban untuk memaksakan diri ke sekolah A atau B. Lalu, Apa sih yang kita dapat dengan biaya sebesar itu?
Jawaban sekolahan seru banget. Dari mendapatkan sistem pengajaran internasional, guru yang profesional, reputasi, sampai fasilitas yang lengkap. Tapi, semua sekolahan juga ngakunya begini. Entah atas sumbangan orangtua atau negara. Sementara film Kungfu Panda memberi lebih banyak motivasi ketimbang satu semester pelajaran di bangku sekolah. Dan menangkap bintang laut di pantai Sanur lebih menstimulasi dari satu tahun pelajaran Biologi di dalam kelas.
Yang orangtua beli adalah substitusi dirinya sendiri untuk mengembangkan pikiran anak mereka. Sekaligus melayani konsensus kolot soal keberhasilan manusia. Sekolahan menjual rasa aman dan nyaman untuk orangtua. Orangtua membeli waktu dan usaha yang jadi kewajibannya atas anak. 80% dari transaksi ini terjadi karena terpaksa. Ndak ada pilihan. Siapa berani terima pegawai tanpa ijazah coba?
Ilmu pengetahuan hanya formalitas. Coba, pisahkan ilmu pengetahuan dari bumbu marketing, maka ia jadi kurang bernilai. Sifatnya generik dan pasaran. Bisa diajarkan di rumah. Maka, sekolahan butuh taburan gula-gula. Seperti: materi berbahasa Inggris, guru impor, hafal Al-Quran, disiplin militer, dan lain-lain. Mengarang bebas.
Ndak satupun yang mengakui kalau sekolahan juga bisnis. Ia harus dapat keuntungan dari mengajari anak-anak kita ilmu pengetahuan. Banyak orang yang harus diupahi dari jasa pengajaran. Padahal orangtua ndak kaget sih kalo sekolahan bilang: “biaya operasional kami tinggi untuk standar pengasuhan setara kasih-sayang di rumah.”
Sekolahan lain beri garansi lulusannya mampu menjawab tantangan masa depan. Dengan bahasa lain: ndak jatuh miskin. Di sekolahan berbasis agama bahkan menjamin lulusannya punya moralitas prima calon penghuni surga. Kenyataannya, ndak sedikit dari orangtua murid tadi yang lulusan SD INPRES dan Madrasah. Mereka bekerja, punya rumah dan, mungkin juga, ikut ke surga.
Orangtua boleh berharap sekolahan yang janji mengajarkan ilmu pengetahuan dengan cinta supaya anak bahagia jadi dirinya sendiri. Bener deh, cukup kok.
Ketimbang minta uang, ajak orangtua terlibat dalam kegiatan tukar pengalaman di kelas. Jadikan salah satunya wali kelas. Buat kelas di rumah-rumah, lengkap dengan pisang goreng dan kandang ayam. Gantian. Sama-sama pergi ke Kelenteng belajar soal iman lain. Kelas komunitas yang diprakarsai oleh aneka kelompok. Jadwal dan tema pelajaran ndak terbatas. Diumumkan di satu situs atau media. Anak bisa pilih mana yang paling bikin penasaran. Ujiannya tiap hari waktu dia berhadapan dengan hidupnya sendiri.
Ya. Utopia.
Kalau harus diperbandingkan. Ada baiknya orangtua murid juga merujuk biaya pernikahan mereka dulu. Jangan lupa perhitungkan juga waktu retensinya: Tiga jam vs tiga tahun. Oh hasilnya: perceraian vs ilmu pengetahuan.


Tinggalkan komentar