Dalam perjalanannya, saya menikmati menulis di linimasa.com dengan pikirandan perasaan terbebas dari beban itu adalah tulisan “saya”. Tidak menggunakan kata “saya” ternyata juga memberikan keseruan dan tantangan tersendiri dalam menulis. Apalagi kalau dicek statistiknya, tulisan saya bukanlah yang tinggi pembacanya.
Ini juga yang membuat saya merasa bebas menjadi orang lain. Pernyatan, pikiran dan perasaan tak selalu benar berasal dari saya. Bebas berperan. Tak perlu jujur. Apalagi curhat. Pemikiran pun saya mengandai-andai, sesekali menyelipkan pemikiran saya sebenarnya. Selain banyak menggunakan kalimat tanya. Dan biarkanlah jawabannya ada di benak pembaca saja. Saya senang kalau tulisan saya bisa mewakili pikiran dan perasaan sebagian pembaca. Tak perlu semua. Saya merasa enteng saat menulis. Dan merasa terbebaskan.
Sampai suatu malam saya kehabisan ide dan memutuskan untuk menulis Surat Terbuka untuk Pembuat Film Indonesia. Isi suratnya pun sebagian besar karangan dan sebagian kecil pemikiran saya. Tak seperti layaknya surat yang diakhiri dengan tanda tangan penulis surat, surat terbuka ini tak memiliki penulis. Tak ada kata “saya” di situ, yang ada adalah “kami”. Kami siapa? Ya saya dan sebagian lagi khayalan. Saya seolah-olah mewakili seluruh penonton film Indonesia. Padahal? Mana mungkin…. Saya belum pernah melakukan riset. Semua benar hasil rekaan saya saja.
Setelah tombol “terbitkan” saya tekan, reaksinya sungguh di luar dugaan. Ada yang setuju, ada yang mencaci. Ada yang membalasnya dengan kultwit. Ada yang menyanggah, ada yang tertawa. Hampir seminggu lamanya saya menemukan mention di Twitter dan Facebook. Mulai dari sutradara, pekerja film, pengamat, kritikus, rupanya ikut terkena imbas dan membahas surat terbuka ini. Semua komen saya “like” saja. Karena toh isi surat itu bukan sepenuhnya pemikiran saya. Apa yang hendak saya capai melalui surat itu pun tak jelas.
Dalam hati saya bertanya “mengapa tidak ada yang bertanya siapa “kami” di surat itu?” Bukankah itu menjadi pertanyaan penting? Ah tapi sudahlah. Sampai di suatu siang, saya membuka timeline dan threat Twitter beberapa orang yang membahas surat terbuka itu. Seperti ditampar untuk disadarkan, saat ada yang ngetweet “orang iklan, anak selatan bro… cuekin aja. Mana ngerti dia soal penonton Indonesia?”
Artinya, penulis surat terbuka ini sudah diselidiki. Tapi tetap tidak mempertanyakan “siapa “kami” di surat itu?” Saat itu saya tersadar bahwa sepandai pandainya bersembunyi, penulis akan ketauan juga. Saya orang iklan dan saya tinggal di daerah Selatan Jakarta. Itu kesimpulan pertama.
Kesimpulan keduanya, pembaca sepertinya tidak benar-benar membaca. Bukan pembaca yang cermat apalagi kritis. Banyak yang isi diskusinya melenceng jauh dari isi surat. Bahkan banyak yang mulai menggunakannya untuk menyerang pihak lain. Kultweet pun berkembang bukan lagi membahas soal surat terbuka, tapi kondisi perfilman Indonesia saat ini. Yang bahkan saya baru tau. Lumayan membuka pikiran.
Kesimpulan terakhir, di era media sosial ini keabadian akan jadi kelangkaan. Keseruan surat terbuka dalam hitungan hari sudah diganti dengan topik lain. Hari ini membahas soal mafia, besok membahas cabe-cabean. Hari ini memuja Presiden, besok menghujat. Semua berganti lebih cepat dari yang saya kira. Dan yang lebih melegakan, nama kita pun akan lebih cepat dilupakan. Makanya mungkin banyak celebtweet yang terbebani harus terus aktif ngetweet untuk mempertahankan “nama”nya di media sosial.
Dalam sebuah acara, saya dikenalkan dengan seorang “pembuat film” yang dari akun twitternya cukup aktif bersuara saat surat terbuka muncul. Selain memberikan kultweet, dia juga ikut berbincang panjang lebar dengan rekan-rekannya. Saya pun memperkenalkan diri saya dengan sedikit deg-degan. Ternyata, dia tak ingat sama sekali. Baginya, Glenn Marsalim adalah mahkluk yang baru dikenalnya. Lega…
Dari ketiga kesimpulan itu, saya pun mulai berani dan nyaman untuk menggunakan kata “saya”. Saya lebih leluasa untuk menyampaikan pemikiran pribadi saya. Ada triliunan tulisan di muka bumi ini setiap harinya. Mengingat satu tulisan saja sepertinya adalah kemustahilan. Kalem aja jek!
Lalu apa gunanya menulis di internet saat ini? Satu-satunya yang bisa saya pikirkan saat ini adalah untuk menciptakan ruang diskusi. Baik diskusi dengan orang lain, maupun dalam diri sendiri. Ruang yang selama ini ditiadakan oleh keluarga, pendidikan, sekitar dan agama. Berdiskusi mengenai keyakinan yang kita pegang teguh selama ini. Untuk terus bertanya ketimbang memberikan jawaban, dengan pemahaman bahwa jawaban yang mutlak adalah kemustahilan. Untuk terus membuat keresahan pada kenyamanan, dengan kesadaran bahwa kenyamanan akan lebih mendekatkan kita pada kematian. Mencari persamaan di perbedaan dan perbedaan di persamaan, sampai kita mampu melihat perbedaan sebagai keragaman.
Berbagi cerita kehidupan terkini yang bisa memberikan keluasan pandang. Soal hari ini, detik ini, masa kini, kekinian. Karena besok bisa beda cerita, beda tantangan, beda pengalaman dan yang kemarin tak selamanya relevan apalagi berguna. Tergilas oleh tulisan-tulisan baru yang mencerahkan ketimbang memberatkan dengan masa lalu. Berbagi keresahan dan duka terkini tak lagi dianggap curhat, baper atau caper semata. Tapi keinginan untuk bersama memikul beban bagi yang senasib. Mana tau jalan keluar bisa ditemukan bersama. Sehingga saat kita terpisahkan ruang dan waktu, di hubungan maya kita bisa saling mengenal satu sama lain dan merasa semakin dekat dengan yang Satu.
Dengan kemampuan mengingat kita yang semakin terbatas, mungkin kemampuan merenung kita bisa meningkat. Berpikir sebelum bersuara. Merasa sebelum berpendapat. Mendengar sebelum didengar. Menulis bukan hanya untuk menambah kegaduhan. Tapi dengan niatan untuk menambah kejernihan. Untuk diri sendiri kemudian sekitar. Dan menciptakan riak saat kejernihan dan ketenangan itu tiba. Begitu berulang sampai kejernihan yang selamanya datang.
Dar! Aku katam, angkat capel, dan bilang setuju,’Menulis membuka ruang diskusi,’ enggeh, benrr loek.
SukaDisukai oleh 1 orang