Karena Bekerja Sepenuh Hati Adalah Tindakan Relijius

Tahun 2010 saya pernah mengambil kursus singkat di Austin Texas. Di sela-sela kursus, saya sempat mampir ke rumah sahabat yang letaknya di kota Denver, negara bagian Colorado. Teman saya, sejak dari bandara saat menjemput hingga saya diantar ke bandara saat kembali, melakukan dengan penuhsukacita. Tak ada alasan karena bekerja mengurungkan niatnya menjemput dan mengantar saya.

photo12
Red Rock Colorado (doc. Pribadi)

Selama saya tinggal di rumahnya pun selalu diantar olehnya. Mampir ke downtown, ke pegunungan Aspen, juga ke Red Rock.

photo1
Dok. pribadi

Alasannya sederhana. pekerjaannya tidak mengikat dirinya untuk setiap hari datang ke kantor. Apalagi kewajiban untuk absen. Aturannya jelas. Sebagai salah satu programmer di oracle, dirinya hanya diwajibkan memastikan project yang diberikan tepat waktu. Sudah itu saja.

Oracle Denver (doc. Pribadi)

Maka, pagi hari kami sempat bermain golf, mengantar anaknya, makan siang di daerah Parker, dan kembali ke rumah untuk melanjutkan pekerjaannya. Setiap hendak membuka komputer, dirinya mengetikkan password yang jumlahnya 64 karakter. Demi keamanan, katanya.

Maka sejak jelang maghrib hingga malam dia berkutat di depan komputer. Jika akan berdiskusi, yang dilakukan olehnya adalah cukup mengirim email dan telpon. Sisanya dilakukan oleh masing-masing dalam satu tim, boleh di rumah masing-masing.

Dia akan ke kantor oracle di kota Denver, jika sedang ada keperluan saja. Misalnya, meeting bersama boss dan kliennya.

Teman saya ini, aseli Indonesia dan bermukim di Amerika sejak tahun 1999.

Apa yang menarik bagi saya adalah konsep usang mengenai berkantor. Denver tidak macet. Kendaraan pribadi dan lalu lintas jalanan pun tidak sesemrawut di sini. Tapi perusahaannya paham benar bahwa yang ingin dicapai oleh pegawai dan perusahaan sama, yaitu menuntaskan tugas sebaik mungkin. Bagaimana caranya? Cukup dengan membebaskan pegawainya berkreasi dengan cara apapun, tanpa ikatan waktu kerja, namun dengan jadual yang ketat dan tanggung jawab penuh. Tidak perlu tatap muka setiap hari.

Tentu saja hal ini tak dapat diterapkan secara langsung di sini. Namun perlu ada penyesuaian dalam beberapa hal. Paling utama adalah memastikan tugas dan tanggung jawab masing-masing pegawai. Trust adalah kunci utama bahwa apapun tugas yang diberikan kepada setiap pegawai dapat dipertanggungjawabkan oleh masing-masing dengan penuh itikad baik dan berintegritas.

Saya selalu tersenyum manakala seorang Ismet, kenalan dunia maya saya, selalu mengejek Imam, temannya, agar tidak terjebak menjadi karyawan. Bahwa menurutnya, menjadi karyawan itu bertemu anak hanya bisa dilakukan di akhir pekan. Bahwa menggendong anaknya yang masih bayi jarang terjadi dan apabila terjadi itupun karena ada waktu luang saja. Tapi memang demikianlah faktanya.

Keruwetan ibukota, kondisi usaha, dan problematika jalan raya menjadikan warga kota besar (dibaca Jakarta) menikmati hari-demi-hari di jalanan. Berapa juta warga kota satelit sekitaran Jakarta yang setiap pagi jelang subuh sudah bersiap diri menjalani hari untuk berangkat kerja. Lalu tiba di rumah saat waktu Isya tiba.

Memilih pekerjaan pun bukan menjadi hal yang lumrah. Dalam benak anak muda yang terjadi adalah “Sudah syukur dapat kerjaan”. Memilih pekerjaan yang ideal hanya dapat dilakukan dengan keberanian. Ideal disini tentunya bukan semata-mata penghasilan besar, melainkan sesuai dengan apa yang diminati. Sangat jarang yang berani untuk berani bertekad untuk menjadikan pekerjaan sebagai menimba pengalaman. Lalu setelah paham benar seluk-beluk dunia kerjanya, dia secara mandiri membuka usaha atau setidaknya tidak menjadi karyawan lagi.

Termasuk saya.

Saat ini, dalam waktu seminggu saya diminta untuk memutuskan harus kemana diantara dua tempat kerja. Selama dua tahun ini saya ditugaskan di sebuah tempat kerja lain. Gaji anggap saja dobel. Walaupun dobel bukan berarti dua kali lipat, namun mendapat penghasilan dari dua tempat. Namun akhir tahun ini oleh bos saya diminta untuk mematikan pilihan, mau di tempat lama atau baru.

Sebetulnya tidak sulit untuk memilih kedua pekerjaan ini. Cukup dengan hati nurani. Dimana saya merasa lebih kerasan. Lebih merasa betah dengan suasananya. Soal gaji memang salah satu faktor pertimbangan, tapi lebih dari itu. Ada tidaknya rasa bangga dalam hati jika saya mengerjakan suau pekerjaan tersebut. Bagaimana dan apa kata anak saya jika paham bapaknya bekerja dimana. Timbul rasa bangga ataukah justru bertanya-tanya.

Jika mengejar aset yang dapat dilihat, misalnya rumah, mobil, uang, dan karir, maka saya akan mudah sekali menentukan dimana saya harus berlabuh, yaitu tempat kerja baru. Namun jika ukuran saya ditingkatkan agak lebih tinggi lagi, yaitu kontribusi kepada masyarakat sekitar, rasa bangga, dan “nilai”, yang ada dalam hati, maka saya lebih memilih tempat lama.

Bekerja sebetulnya adalah salah satu cara agar kita tetap menjadi manusia. Saya selalu menganggap siapapun dia, selama dia menunaikan tugas  pekerjaannya dengan penuh konsentrasi dan kesungguhan hati, maka saya anggap orang itu adalah orang yang relijius. Orang yang menjalankan amanat sebaik mungkin. Orang yang patut kita beri hormat. Bisa jadi bos kita, rekan kita atau bahkan anak buah kita sendiri.

Bekerja menjadikan kita sewaktu-waktu menjadi elang, yang terbang sendirian. Namun bekerja juga menuntut kita menjadi kerumunan serigala yang sedang berburu hewan ternak. Dengan bekerja kita paham benar bahwa kita butuh banyak teman, harus menjaga sikap,  dan yang terpenting selalu berusaha untuk selalu dapat dipercaya.

Saya jadi ingat pertemuan dengan teman saya di Denver itu. Dirinya lebih menyukai dunia teknologi informatika dibandingkan dunia perminyakan sebagaimana dirinya dahulu menempuh jalur pendidikan formal. Dirinya lebih menyukai sebuah dunia belantara yang masih dapat dikembangkan hingga tak berhingga. Baginya, bukan apa yang didapat atas sebuah pekerjaan. Namun apa yang akan dapat diberikan atas apa yang dia kerjakan. Baginya, dia ingin seperti mobil jepang yang irit, bandel mesinnya, namun produktif. Dibawa kemana saja mampu. Dia tidak ingin menjadi kendaraan yang boros bahan bakar, dan maunya hanya jalan di jalanan mulus dan lebih banyak diam di lorong parkir hingga usai jam kerja.

Baginya bekerja di negeri orang bukan menjadi pilihan utama, namun dirinya dapat bermanfaat jauh lebih besar jika ditantang untuk banyak mengembangkan ide-ide dan diberi kesempatan untuk mewujudkan ide tersebut. Baginya, bekerja bukan untuk menjadi kaya. Bekerja baginya adalah untuk tetap menjadi manusia. Belajar dan terus membuat karya.

Maka, jika minggu depan itu tiba waktunya, saya telah memilih sebuah jawaban dimana saya akan melanjutkan pekerjaan.

Saya akan memilih tempat bekerja dimana saya tetap menjadi manusia. Bukan angka, apalagi gembala.

Selamat sabtu senja.

Roy.

 

 

 

12 respons untuk ‘Karena Bekerja Sepenuh Hati Adalah Tindakan Relijius

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s