Siapkah Kita Menjadi Angka?

Atas tuntutan pekerjaan, setiap tahun saya harus menonton sekitar 600-700 film pendek. Bahkan angka tersebut pernah bertambah mendekati 1.000 beberapa tahun lalu. Tentu saja ini di luar urusan pribadi, atau menonton film for leisure activity, yang jumlahnya sekitar separuh dari itu per tahun. Kalau masalah lelah, pekerjaan apa sih yang tidak melelahkan at some point? Tetapi kita tidak akan membicarakan hal itu hari ini. Yang akan kita bicarakan bersama justru kegiatan menonton itu sendiri.

Pada saat menonton, saya akan meminta bantuan teman untuk mendata film-film tersebut. Biasanya dalam satu file Excel, film-film tersebut akan didata berdasarkan tanggal masuk. Setelah itu baru diurutkan berdasarkan judul. Lalu saya akan meminta file tersebut untuk menjadi panduan saya menonton. Panduan ini cukup berdasarkan nomor film tersebut, dan judulnya apa. Saya tidak perlu tahu nama sutradara, sinopsis, apalagi detil kontak pemilik film. Cukup nomor dan judul.

Kalau perlu informasi lebih lanjut, biasanya saya akan mengirim email atau pesan singkat kurang lebih seperti:

“Ini file F1-20 kok mandeg di menit ke-11 ya? Tolong tanyain dong, file-nya corrupt atau gimana.”

“Film A5 sepertinya sudah pernah submit tahun lalu. Aku nggak akan consider kalau gitu ya.”

“Buat film D8, durasinya kepanjangan. Tapi ceritanya menarik. Coba kita tanya ke pembuatnya, apa dia punya versi yang lebih pendek.”

Dalam bahasa yang singkat, kami sudah tahu apa yang kami bicarakan. Dengan bahasa yang sama pula, saya berusaha mengapresiasi sebuah karya seni yang tentunya sudah dibuat dengan tingkat kesulitan, pengorbanan waktu, dan jerih payah tersendiri oleh pembuatnya.
Toh nyatanya, ketika karya tersebut harus dinilai, diapresiasi, atau ditelaah untuk diberikan nilai tertentu, maka karya itu sudah menjadi komoditi produk. Artinya, karya itu sudah menjadi barang yang siap dikuantifikasi.
Ini berarti, tidak cuma satu barang saja. Ada beberapa barang lain, bahkan mungkin banyak barang lain, yang siap bersaing.

5iRKdnzeT

Dan untuk mengkondisikan persaingan yang “fair”, maka dipakailah penanda paling netral untuk membedakan satu dengan yang lain: angka.

Saya akan membocorkan satu rahasia.

Mau tahu bagaimana sebagian besar kurator, programmer, distributor film bekerja? Apa rahasia mereka bisa melihat ratusan bahkan ribuan film dalam waktu singkat?
Mereka tidak menonton film secara utuh.
Di film market, yang merupakan tempat perdagangan film, kita akan melihat banyak orang sliweran dari satu tempat pemutaran ke tempat pemutaran lain. Di sana mereka akan melihat cuplikan film, dan dari cuplikan singkat itu, mereka sudah bisa memutuskan, filmnya cocok atau tidak untuk mereka. Apakah film ini cocok untuk pasar negara mereka? Apakah film ini cocok untuk festival mereka? Dan untuk sebuah film panjang, cukup dari cukilan adegan 15 menit apapun, biasanya akan ketahuan bagaimana film ini bekerja.

And that’s how it works.

Tidak fair? Tentu saja tidak, kalau kita cukup punya banyak waktu untuk duduk dan menonton satu per satu. Tapi dalam satu periode yang singkat dan begitu banyaknya produk yang ditawarkan, mau tidak mau keputusan harus diambil.
Kurator, programmer, distributor, dan banyak pelaku bisnis dunia seni lain yang sudah lama berkecimpung di profesinya akan mempunyai mata yang terlatih. Seorang kurator seni cuma perlu melihat sepintas dari sudut pandang matanya, berapa nilai dari lukisan yang baru separuh selesai dikerjakan. Demikian pula seorang editor publikasi fesyen, yang cukup melihat beberapa items busana untuk menentukan kualitas rancangan desainer di musim berikutnya.
Saya pun mengakui, bahwa dari beberapa menit awal sebuah film, terutama film pendek, intuisi akan mengatakan apakah film ini akan baik, atau tidak.

Seorang teman mengomentari tentang hal ini dengan bercanda:

“Itu bikin film udah capek-capek, lho. Masak kamu kasih nilai segitu?”

Sesaat saya pandang teman saya dengan blank look, lalu berkata:

And so are million other films in the world. Ini kan kompetisi. Ada ratusan film di sini, masak semuanya dibilang bagus? Kita kan harus pilih-pilih. Dan ini baru di sini. Apalagi kalau udah di festival besar atau market. Ribuan film, bok, yang masuk. Those tiring process of making a film? In the end, they end up being just numbers.

Audience-Watching-Cinema-17121-large

Jadi, ketika kita berkarya, siapkah karya kita menjadi sebuah bilangan?

Kalau jawabannya “ya”, dan harus “ya”, maka amunisi berikutnya adalah membuat karya yang baik. Itu saja.
Angka hanya akan lewat di pandangan mata begitu banyak orang tahu kalau isi angka tersebut tidak baik. Sebaliknya, angka akan terpatri di kepala kalau isinya baik.
Tidak banyak film yang harus saya tonton untuk urusan pekerjaan secara utuh, dari awal sampai akhir. Film-film tersebut pasti mempunyai kekuatan tersendiri di dalamnya, sehingga dapat dinikmati dengan baik.

Kalau sudah begitu, angka tersebut akan saya lingkari, lalu akan saya tulis di sebelah angka tersebut: Recommended.

Kenapa “recommended”?

Because word of recommendation travels fast.
Even for numbers.

By:


6 tanggapan untuk “Siapkah Kita Menjadi Angka?”

  1. aku jg klo borong beli film, cuman perlu beberapa menit utk memutuskan beli yg mana. di antaranya faktor aktor yg bermain (reputasinya), sutradara, & distributornya. tp zaman skrg aktor legend film nya banyak yg flop. sgt maksa temanya

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: