Komoditas Nostalgia

Jangan remehkan nostalgia. Jangan sepelekan kenangan masa lalu.
Kenapa?
Alasannya karena pertimbangan bisnis. Selama kenangan bisa diduitin atau dijadikan komoditas, kenapa tidak? Toh biasanya kita cenderung melihat masa lalu dengan manis. Artinya, kita cenderung ingat yang baik-baik saja, dan melupakan bagian yang tidak enak.
Piye, enak jamanku tho?

Menyambung tulisan minggu lalu tentang kepungan Star Wars, saya mengakhiri tulisan dengan kemungkinan soal nostalgia. Bahwa yang menonton Star Wars pasti mempunyai keterkaitan emosional dengan franchise ini. Buat yang menonton di bioskop tahun 1977 sampai 1983, apalagi di usia pra-remaja sampai dewasa muda, pasti ingat dengan keseruan melihat efek lightsabers di layar lebar. Ingatan itu melekat, melupakan segala krisis politik dan ekonomi yang mungkin terjadi di sekitar. Toh segala masalah itu redup saat lampu di dalam bioskop dimatikan. Buat yang menonton trilogi awal ini di layar kaca, baik di televisi atau VCD saat usia belia seperti saya dulu, pasti yang teringat adalah ekspresi bengong melihat kecanggihan pertempuran luar angkasa. Ingatan itu melekat, melupakan segala pekerjaan rumah dan tugas-tugas sekolah yang kita kesampingkan.

Star Wars: The Force Awakens
Star Wars: The Force Awakens

Silakan menuduh bahwa Hollywood adalah tempat di mana orisinalitas adalah barang langka. Tetapi kenyataannya sekarang, banyak produk-produk lama yang kembali hadir di berbagai layar, mulai layar lebar, layar kaca, dan layar komputer atau ponsel. Agun pernah menulis tentang hal ini dulu. Istilahnya pun bermacam-macam. Tak cukup dengan sekuel (kelanjutan cerita) atau prekuel (pendahuluan cerita), tapi juga reboot, revamped, remake, yang kurang lebih sejenis, atau spin-off dengan mengambil satu elemen dari cerita asal, dan masih banyak eksplorasi lain. As long as it sells.

Apalagi sekarang makin banyak outlet baru yang membutuhkan konten. Netflix, Amazon Prime, Hulu, dan makin banyak lagi yang akan hadir. Semuanya perlu konten. Tak puas dengan konten baru, bolehlah menghidupkan kembali serial lama. Maka serial “Full House” pun kembali hadir dengan “Fuller House”. Serial “Boy Meets World” berlanjut sekaligus bertransformasi dengan “Girl Meets World” mulai tahun lalu. Jangan heran kalau bisa saja nanti “Mac Gyver” muncul lagi, meskipun aneh rasanya kalau sedikit-sedikit Mac Gyver harus googling dulu sebelum bertindak.

Full House
Full House

Amerika sedang dilanda demam nostalgia. Demikian pula di dunia. Pertumbuhan dunia yang semakin sesak dan sempit membuat orang lelah menjalani hari. Dalam keadaan lelah, muncul perasaan rindu akan masa lalu, saat semuanya terasa lebih mudah. Everybody yearns for simpler times. Kata kuncinya, tentu saja, adalah “terasa”. Karena kenangan pasti beda dengan kenyataan. Dan yang dikenang inilah yang menjadi elemen penting menghidupkan kembali artefak masa lalu.

Di Indonesia sendiri? Sama. Memang tidak banyak brand dalam dunia hiburan yang menjadi franchise kuat. Baru-baru ini hanya Ada Apa Dengan Cinta? (AADC) saja yang menarik perhatian. Buktinya? Video iklan LINE dari film tersebut yang diluncurkan akhir tahun lalu mendapat jutaan views kurang dari 24 jam. Perasaan orang yang menonton pun sama, bahwa mereka menontonnya sambil terkenang masa lalu. Sama siapa waktu dulu nonton AADC yang pertama. Di mana nontonnya. Abis nonton ngapain. Dan masih banyak lagi. Tentunya faktor ini menambah rasa penasaran, apa yang terjadi sekarang? Setelah sekian tahun berlalu, masak masih sama saja?

AADC
AADC

Dan inilah yang akhirnya menghidupkan lagi sebuah franchise, yaitu menggabungkan apa yang orang kenang sambil melanjutkan cerita. Rasa-rasanya di luar cerita superhero atau genre action dan sejenis, konsep inilah yang bekerja. Nostalgia hanya akan cepat berhenti kalau masih berada di satu titik yang sama Nostalgia bisa menjadi komoditas kalau masih ada relevansinya dengan sekarang. Lebih menarik perhatian ketika banyak orang berkonspirasi tentang apa yang kira-kira terjadi dengan Cinta dan Rangga sekarang di sekuel AADC2, ketimbang melulu ngomongin gaya dandanan Cinta dan Rangga waktu SMA dulu. Lebih bikin penasaran, bagaimana Han Solo tua beraksi, daripada mengingat-ingat peran Han Solo muda dulu.

You can always prolong the memory, instead of sticking to the same old one. Dan selama kita masih bisa berimajinasi, maka akan ada kisah lanjutan cerita dari apa yang pernah Anda baca dan lihat dulu.

macgyver

Jangan berhenti di sini.

Satu respons untuk “Komoditas Nostalgia

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s