JAKARTA ENAK

Baiklah. Kali ini saya lagi ndak ingin bicara soal hati. Saatnya bicara soal kaki. Iya, kaki.

Kaki gunanya selain menendang adik kelas saat SMA, menjegal teman sejawat, satu-satunya organ vital saat lari dari  segala kewajiban, juga tentu saja dipergunakan untuk berjalan santai keliling kota.

Kaki satu-satunya gawai anugrah tuhan yang diberikan kepada kita agar kita bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya sesuai kehendak kita. Oleh karena itu kita harus sering-sering bepergian. Jika tidak, Tuhan bisa murka. Bukan kaki yang dikasih, melainkan akar.

Lalu, sejak Negeri Api menjajah umat manusia, segalanya berubah. Masalah mulai timbul ketika kebutuhan manusia untuk selalu pergi tidak diimbangi kemampuan fisik. Kita akhirnya bisa pergi dengan perahu. Kita boleh terbang dengan pesawat. Kita bisa ngebut dengan mobil. Bisa bergaya dengan sepeda.

penulis, sebagai orang pertama indonesia yang menggagas "Jakarta Enak Dengan Sepeda" dan Gerakan #Panoselfie
penulis, sebagai orang pertama indonesia yang menggagas “Jakarta Enak Dengan Sepeda” dan Gerakan #Panoselfie

Muncul motif ekonomi. Ndak semua harus kita miliki. Banyak manusia dengan otak cenes mulai berusaha cari cuan. Di Amerika abad 19  jalur kereta api jadi pendorong laju ekonomi. Masyarakat sisi pantai timur mulai beranjak pergi ke daratan barat. Mencari penghidupan lebih baik.

Di Indonesia, biar menjajah nusantara bisa dengan leluasa, maka dibuatlah jalan tol gratis dari Anyer menuju Panarukan oleh Daendles. Maka mobil, andong, motor akhirnya bisa menelusuri lekuk lanskap pulau Jawa. Kemudian hari muncul Bus AKAP yang membolehkan kita naik dengan gratis, tapi bayar saat mau turun. Dari Jakarta menuju Surabaya boleh juga naik kereta.

Intinya: Moda transportasi adalah alat yang sungguh pital. Ndak percaya, coba tanya Mak Erot.

Baiklah.

Saat kita sibuk dengan asap, sebagian lain sibuk dengan aplikasi teknologi internet. Ada gojek, ada uber, ada grab-bike, ada macam-macam lainnya.  Menjadi penting karena sepertinya pemerintah selalu ketingalan jaman soal beginian.

Boro-boro berpikir menata ulang aturan main transportasi. Masih banyak bus yang usianya sepantaran itik Puspa dan masih beroperasi setiap hari. Hasilnya, asap hitam dan kandungan emisi karbon yang jauh dari ambang batas. Apa susahnya sih menekan operator jasa transportasi untuk wajib mengganti mobilnya setiap 6-10 tahun sekali?

Lalu apa tindakan otoritas transportasi darat saat tahu banyak bus dan kopaja yang seenak titit menurunkan penumpang di pinggir jalan dan mengopernya ke bus atau kopaja di belakangnya.

Juga soal taxi yang tak paham jalan. Atau argo kuda.

Ketika Uber dan Gojek menawarkan sesuatu yang lebih pasti. lebih nyaman. lebih murah, semuanya gelagapan. Semuanya kebakaran jembut. Kecuali konsumen. Mereka diuntungkan.


Saya sedikit mengamati obrolan singkat di path yang bicarakan soal ini.

ngambil dari akun path olia maznyah
ngambil dari akun path olia maznyah

Saya hindari kata Pemerintah. Saya akan coba selalu menyebut kata pengelola negara saja.

Pengelola negara memang sejak lahir harus ketinggalan zaman. karena produk yang dihasilkan adalah ketentuan. Mereka harus mengamati, meresapi dan akhirnya ejakulasi dengan mengeluarkan policy.  Masalahnya adalah, pengelola negara lahir dari mana. jaman dahulu pengelola negara itu lahir dari kekuasaan yang sudah ada. Status quo. Melanggengkan kuasa. Jaman sekarang?

Pengelola negara jaman sekarang itu semuanya titipan pengusaha swasta, para donatur pemerintahan Jokowi. Boleh dari parpol, boleh juga dari pemilik modal. Ya sudahlah ya. Asal ndak jelek-jelek amat kita terima dulu aja. Mereka ada di posisi pimpinan. Sedangkan di sisi bawahan, para highlander birokrat yang dari muda sampai setengah tua jadi PNS ya gitu gitu aja. Ndak banyak perubahan yang berarti. Mereka masih dengan gaya baca koran, main candy crush di hape (dulu di komputer desktop), atau mabal ke tanah abang cari cemilan dan kerudung. Untuk bapak-bapaknya masih bicara batu cincin, dan awewe. Ndak ada lagi yang lain.

Tiba-tiba, pengusaha takzi merasa terancam. Mereka merasa sudah banyak ngasih sesuatu buat Kepala Dinas, Pak menteri dan ntah siapa lagi. makanya ketika ada uber, yang boleh gratis saat promo dan susah dipalak karena ndak jelas rimbanya, maka wajar mereka kebakaran bulu ketiak. Enak aja! Gua banyak kasih sana-sini, situ cuma modal aplikasi di hape cina, udah bisa cuan banyak. Gitu kira-kira.

Baiklah. Biar sama-sama enak. Biar Jakarta enak (sengaja nyebut jakarta dulu aja, mau kota lain ntar teralu melebar masalahnya), maka seharusnya kita banyak belajar dari negara lain yang juga memiliki masalah yang sama.
Singapura sudah bikin ketentuan. Walau baru akan berlaku pada Bulan Desember tahun ini (penyesuaian 3 bulan sejak peraturan diterbitkan – September 2015),  setidaknya Otoritas Transportasi darat Singapura  membuat  aturan main yang jelas dengan poros utama demi kepentingan konsumen. Ada tiga hal pokok utama:

  1. Semua penyelenggara transportasi harus terdaftar dan mendaftarkan diri ke dinas perhubungan darat.
  2. Atas pendaftaran tersebut, otoritas memiliki kewenangan dan daya paksa agar penyelenggara transportasi melaporkan operasional perusahaan dan sewaktu-waktu otorits dapat memeriksa perusahaan, termasuk melakukan pemeriksaan keuangan, hubungan kontrak pekerja, agen dan perkiraan perhitungan pengenaan tarif.
  3. Otoritas akan membuat perturan khusus yang harus dipatuhi oleh seluruh penyelenggara jasa takzi-takzi, baik konvensional maupun berbasis aplikasi.

Begitu. Jika Singapura sudah bikin, bagaimana dengan kita. Ya itu tadi. Pengelola negara kita mah selow beibeh. Kecuali penyokongnya teriak. Misal, Blue bird merasa terancam dengan uber. Ekspress juga. Tadinya mereka bertengkar, sekarang agak bersatu karena sudah punya musuh bersama yaitu Uber.

Pengelola negara jangan terjebak dalam pikiran sempit plat hitam dan plat kuning. Apa untungnya bagi pendapatan negara. Bepikirlah secara dewasa. Jika memang uber lebih menguntungkan masyarakat dari sisi ekonomis, tinggal bagaimana mekanisme perlindungan konsumen. Bagaimana caranya mengawasi seluruh plat hitam ini.  Bagaimana mekanisme pengaduan konsumen jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Sudah selayaknya pengelola negara berpegangan pada komitmen pengelola jasa transpostasi terhadap “service level” yang dijanjikan kepada konsumen. Bukan berapa banyak jatah amplopan bulanan. Bukan berapa jatah saham jika sudah go-public.

Beberapa pihak selalu mensyaratkan tujuh hal untuk beroperasinya perusahaan taksi sebagai berikut:

  1. harus berbadan hukum indonesia
  2. berdomisili jelas
  3. mekanisme pemesanan
  4. jumlah minimal kendaraan
  5. ketersedian pool untuk pelayanan dan pemeliharaan
  6. uji kelayakan kendaraan
  7. ijin setiap kendaraan untuk beroperasi

Sebetulnya ketujuh syarat tersebut dapat lebih dikerucutkan menjadi cukup kewajiban terdaftar sebagai badan usaha di indonesia dan kantor pengaduan, demi pajak dan pertanggungjawaban hukum. Selain itu perlu penakanan pada  syarat pelayanan prima (SLA dan QoS). Soal mekanisme pemesanan, jumlah kendaraan, pool dan kelayakan kendaraan, biar itu menjadi selera pasar. Konsumen yang akan menilai, termasuk perbandingan harga dengan layanan.

Bagaimana? Yok lah buat Jakarta lebih enak.

Jakarta enak milik kita bersama.

Ada pendapat? ayo kita berdiskusi.

Muahhhh!

2 respons untuk ‘JAKARTA ENAK

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s