Ada satu kebiasaan yang saya lakukan dari kecil sampai kuliah.
Saya suka membaca keras-keras tulisan yang saya baca. Terutama dalam bahasa Inggris.
Saat saya sedang membaca sebuah tulisan, biasanya di koran atau di majalah, saya suka membacanya dengan lantang. Seolah-olah saya ini penyiar.
Kebiasaan ini tidak dimulai atas suruhan siapa-siapa. Guru les bahasa Inggris waktu kecil dulu cuma menyarankan agar saya banyak membaca. Tentu saja bacaan buku bahasa Inggris. Supaya saya tidak salah pronunciation atau mengeja, membacanya tidak boleh dalam hati. Harus dilafalkan. Kalau terdengar salah, langsung dikoreksi.
Ternyata kebiasaan ini masih berlanjut. Terutama di saat sudah mulai nyaman dengan ejaan yang benar. Kalaupun ada kata yang belum familiar, tinggal buka kamus. Apalagi jaman sekarang, tinggal buka Google Translate. Kalau belum tahu cara mengucapkan kata, tinggal tekan tombol volume. Lalu terdengar suara pengucapan kata yang benar.
Toh masih menyenangkan juga saat kita bisa membaca tulisan sambil mendengarkan suara kita sendiri. Seolah-olah tulisan itu menjadi semakin personal sifatnya. Tulisan yang ditulis orang lain akan terasa lebih dekat dengan kita. Tulisan yang kita tulis, terutama untuk orang lain, akan menjadi lebih terasa nyata.
Aha!
Berapa banyak dari kita yang sadar akan pentingnya poin terakhir di atas?
Seorang teman pernah berkata waktu kami baru masuk dunia kerja, “Sadar nggak, kalau separuh hidup kita nanti akan dihabiskan dengan membuat draft email?”
Saya masih belum ngeh. “Hah? Maksudnya?”
“Lihat saja nanti. Waktu sudah kerja, satu hari bisa kita habiskan hanya untuk menulis email. Make sure bahwa orang yang terima email itu sepaham sama kita. Itu ‘kan susah. Soalnya bahasa tulisan. Bahasa tulisan yang formal lagi. Jadi ya harus politically correct, tapi di sisi lain, harus bisa mudah dipahami.”
Belasan tahun kemudian, saya cukup melihat folder “Drafts” di salah satu mailbox, dan menatap tumpukan rancangan email. Ada beberapa yang tak pernah terkirim, karena sudah lewat dari tenggat waktu. Ada beberapa yang belum terkirim, karena belum sreg dengan isinya.
Berkomunikasi lewat bahasa tulisan itu tidak pernah gampang. Membuat orang lain paham dengan maksud kita tanpa kehadiran kita, tidaklah mudah. Tulisan kita sejatinya membuat orang lain bisa membayangkan seolah-olah kita yang sedang berbicara langsung.
Makanya, saya tersenyum membaca tulisan Gandrasta hari Senin kemarin. Tulisan mempunyai nyawa sendiri. Ada senses atau panca indra yang tak terlihat, tapi dapat terbaca di setiap tulisan. Buktinya? Coba baca dengan lantang tulisan yang Anda temui. Kalau Anda bisa membaca dengan lancar, berarti tulisan itu bernyawa. Lain halnya kalau Anda harus membaca laporan sidang atau buku panduan mesin gergaji. Tulisannya memang sengaja dibuat kaku. Meskipun begitu, dia harus memberi petunjuk. Tetap saja tulisan yang bersifat guidance itu harus menuntun pembacanya untuk mengerjakan apa yang harus dikerjakan.
Saya teringat lagi dengan celotehan Ivan Lanin di Twitter beberapa hari lalu. Kurang lebih dia berkata, kalau kita sedang stuck dalam menulis, coba baca lagi apa yang sudah kita tulis. Dibaca dengan lantang. Biasanya dari situ kita bisa melihat apa permasalahan dari tulisan yang sudah kita buat. Selain itu, kita bisa lebih lancar juga melanjutkan apa yang akan kita tulis. Kenapa bisa begitu? Karena kita menulis apa yang ingin kita sampaikan secara lisan.
Jauh sebelum berinteraksi dengan Glenn di Linimasa, saya sudah kagum dengan tulisan-tulisannya. Setelah mengenal beliau secara langsung, saya selalu merasa seolah-olah Glenn sedang bercerita di samping saya saat membaca tulisannya. Tidak semua orang bisa menulis seperti ini. Tidak mudah juga mencapai tingkat penulisan seperti ini. Butuh kejujuran dan kebiasaan menulis secara rutin.
Semua orang punya kepribadian sendiri-sendiri. Saya tidak akan pernah bisa menulis apa yang Gandrasta, Glenn, semua penulis Linimasa lain, atau semua penulis lainnya ciptakan. Anda pun sebaiknya tidak meniru mentah-mentah tulisan atau gaya tulisan.
Yang penting, rasakan tulisan kita.
Rasakan dengan membacanya sendiri. Saat kehabisan nafas dalam membaca, berarti tulisan sudah terlalu panjang. Pendekkan. Jangan terlena dengan penggunaan tanda baca koma. Lupakan kalimat majemuk. Buat kalimat singkat.
Yang penting, pesan sudah tersampaikan.
Nah, bicara soal pesan yang tersampaikan, cara mudah menyampaikan kabar saat ini adalah dengan mengirim email. Sudahkah kamu tahu cara membuat email dan apa saja kegunaan email, kamu bisa membacanya lebih seksama cara membuat email
Salam




Tinggalkan Balasan ke nauvalyazid Batalkan balasan