Menarilah dari Rambutnya yang Merah Beribu Kupu-Kupu *)

IMG_7380

Dalam Kekosongan terdapat Kebaikan tapi tanpa Kejahatan. Kebijaksanaan adalah Keberadaan. Prinsip adalah Keberadaan. Jalan adalah Keberadaan. Pikiran adalah Kekosongan.

Hari Kedua Belas Bulan Kelima, Tahun Kedua Shoho

Shinmen Musashi

Ketika saya masih belajar di sekolah dasar, jalan pikiran saya pendek. Untuk menjadi pintar harus rajin belajar dan jangan banyak bermain. Faktanya, saya jarang belajar namun selalu juara kelas. Ketika  sekolah lanjutan pertama, jalan pikiran saya masih sama. Kompetisi yang sengit menjadikannya saya hanya menempati juara dua dan tidak pernah sama sekali meraih urutan pertama.

Ketika usia remaja (dibaca SMA), saya malah lebih sering main daripada belajar. Pertama kali memiliki keberanian membeli sebatang-dua batang rokok eceran dilakukan kelas satu SMA di warung pinggir jalan. Berat rasanya pada suatu saat harus memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah melainkan bermain bilyar atas ajakan beberapa teman. Atau pacaran. Juga meneruskan upaya senior mengenalkan teater kepada anak remaja dengan mengemban amanah menjadi ketua teater sekolah.

Ternyata kesimpulan bahwa belajar dan bermain itu bertolak belakang menjadi kabur. Bahwa belajar sebetulnya bisa dilakukan sambil bermain baru saya rasakan betul sekaligus saya pedomani adalah saat SMA. Karena jalan pikiran saya tidak sesempit ketika saya masih SD. Belajar tidak harus berbau akdemis. Ndak mesti pegang buku dan pinsil. Belajar boleh sambil bercucuran keringat. Belajar boleh sambil tertawa dan mencemooh sahabat. Belajar boleh dalam segala aktivitas apapun. Belajar yang bukan hanya untuk mempelajari segala sesuatu yang belum kita ketahui di luar sana, melainkan belajar untuk memahami, terutama: diri kita sendiri.

Salah satu cara memahami diri sendiri secara efektif sebetulnya adalah dengan berpacaran. Secara fisik kita akan jauh lebih berlama-lama mematut diri di depan cermin. Secara batin dan pikiran sadar kita akan lebih sering memastikan apa kelebihan kita yang sekiranya dapat disukai dan diajukan sebagai nilai tambah dihadapan si dia dibandingkan para pesaing kita. Dari proses berkenalan, PDKT, PDKT, nembak, dan akhirnya ditolak, adalah pembelajaran yang hampir sempurna. Terlebih lagi jika proses perkenalan dan langkah lanjutannya adalah pacaran. Ini adalah pembelajaran yang nyaris paripurna. Bagaimana memahami perasaan kita dan dia. Bagaimana memahami kondisi keuangan kita, dia dan masing-masing orang tua sebelum secara gegabah menuntaskan uang bulanan demi tiket konser. Bagaimana memahami manajemen waktu. Dan paling penting adalah terjadinya proses tawar menawar dalam mengambil keputusan, termasuk peran serta perasaan dalam pengambilan keputusan dimaksud.

Karena hidup adalah pilihan.

Apalagi ketika masa-masa kuliah di Jogja. Kuliah adalah pilihan terakhir dari sekian banyak tawaran menarik. Nongkrong di kantin, jalan-jalan naik roda dua keliling kota, nonton pagelaran, diskusi masalah pelik seputar cinta segitiga di angkringan, ngintip kos-kosan putri di sebelah, bahkan mengikuti perkuliahan di kampus gebetan dengan mata pelajaran dan dosen yang sama sekali asing jauh lebih menarik daripada kuliah di tempat sendiri yang sudah susah payah kita bayar dan isi KRS-nya.

Proses membentuk diri rupanya berliku. Masing-masing orang punya cara dan catatan tersendiri. Tidak ada pakem yang menentukan bahwa untuk menjadi seseorang harus mengikuti jalan hidup seseorang. Termasuk seluruh kegiatan di atas belum terjamah selfie dan pengkinian status lewat layar hape. Semua dijalani dengan mengalir apa adanya dan hanya catatan-catatan kecil dalam buku harian yang ditulis rutin jelang subuh sebelum tidur.

Maka ketika tadi malam saya menyempatkan diri ke Taman Ismail Marzuki tanpa alasan dan tujuan yang jelas, justru saya agak sentimentil. Ada rasa iri yang menggelayut. Melihat anak kecil latihan menari sesuka hati. Tertawa riang gembira. Remaja yang berdiskusi sembari toyor-toyoran kepala. Sepasang remaja yang asyik-masyuk tenggelam dalam romansa di bawah pohon yang entah namanya namun cukup gelap dan aman untuk curi-curi cium sekejap. Juga saat menyaksikan kumpulan rak-rak buku bertumpuk dan berdebu yang dijaga dengan gagah perwira oleh bapak siapa itu dulu yang sudah saya lupa namanya.

Saya tak sengaja bernostalgia. Masa remaja saya adalah masa-masa jauh dari buku namun masih dekat dengan ilmu-yang-ditempuh-dengan-cara-lain.

Saat menikmati ruap suasana jumat malam di TIM, tiba-tiba saya hampir loncat karena kaget. Teman saya di sebelah, berbisik:

Aku baru pertama kali ke TIM…”

Kalimat itu meluncur dari bibir merah manis merekah perempuan kelahiran Jakarta.  Dan saat saya menoleh, matanya berbinar.

*) Digubah dari kalimat “menarilah dari rambutnya yang merah beribu kupu-kupu”, puisi Abdul Hadi W.M, berjudul Winter, Iowa 1974

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s