tak ada yg lbh tabah
dr hjn bln Juni
dirhsiaknny rntik rnduny
kpd phn brbnga itutak ada yg lbh bijak
dr hjn bln Juni
dihpusny jjak-jjak kkiny
yg rgu-rgu di jln itutak ada yg lbh arif
dr hjn bln Juni
dibiarknny yg tak terucpkn
diserap akar phn bnga itu
MAAF, bukan bermaksud untuk mengubrak-abrik karya susastra kontemporer, tapi…
Ya! Kita pasti mengenali puisi di atas sebagai “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono. Namun tidak. Tidak ada yang salah secara fungsional atas penulisannya. Sebab, meskipun dengan beberapa huruf vokal yang hilang, kita tetap mampu mengidentifikasi kata dan membacanya. Akan tetapi ada kesan yang berbeda, gereget yang kurang, rasa yang tak sampai, lantaran kita lebih menggunakan pikiran analitis ketimbang kalbu saat membunyikannya. Memahami maknanya, namun gagap memaknainya.
Demikianlah tulisan, yang berupa kumpulan simbol penanda bunyi tertentu; aksara-aksara. Susunan aksara menghasilkan kata, kumpulan bunyi yang mewakili atau berarti sesuatu. Begitu seterusnya kumpulan kata menghasilkan kalimat, kumpulan kalimat menghasilkan ide, konsep, pemikiran, ekspresi emosi, dan sebagainya dalam bentuk kasatmata. Bahkan bisa sampai beribu-ribu halaman panjangnya.
Pada intinya, tulisan membekukan lisan.
…
Sebagai penutur bahasa Indonesia, sangat mudah bagi kita untuk mengenali kata-kata dalam tiga bait puisi Sapardi Djoko Damono di atas. Huruf-huruf vokal yang dimutilasi dengan pola tertentu, relatif tidak menimbulkan bias pelafalan pada bentuk kata yang tersisa. Toh dalam keseharian saat ini pun, kita sudah sangat terbiasa dengan kata-kata yang tak utuh. Saat mengetik SMS atau online chatting, misalnya. Pemotongan huruf dilakukan supaya lebih cepat, atau ada tombol yang terlewat. Yang penting si penerima bisa memahami pesan yang disampaikan.
Hanya saja, trik memangkas tulisan seperti ini tidak cocok diberlakukan pada bahasa maupun kebanyakan bentuk aksara lain. Boro-boro diterapkan pada tulisan Tionghoa yang berupa logogram atau piktogram termodifikasi atau kata-kata yang nyaris berbentuk gambar (berkurang satu garis, berbeda pula maknanya), untuk tulisan bahasa Jerman yang sama-sama menggunakan alfabet saja bakal jadi membingungkan.
Kendati demikian, penghilangan sebagian atau keseluruhan huruf vokal dalam satu kata, sukses diterapkan dalam bahasa-bahasa Timur Tengah dan sekitarnya sampai sekarang. Seperti dalam tulisan Arab modern maupun Arab gundul tanpa tanda baca yang fungsinya mirip huruf vokal, tulisan Ibrani atau Yahudi, termasuk tulisan Aramaic (dipercaya sebagai bahasa tutur Yesus saat hidup), maupun tulisan bangsa Saba (ingat cerita Ratu Balqis dan Nabi Sulaiman?). Bukan sekadar menghilangan tanda baca, pada praktiknya tetap berlaku kaidah penulisan dibarengi dengan kesepakatan dan pemahaman kontekstual. Supaya pembaca tetap bisa mengenali kata-kata meski tertulis hanya berupa abjad-abjad saja.

Secara umum, selain alfabet dan abjad (huruf + tanda baca), setidaknya ada tiga model tulisan lain untuk bahasa-bahasa manusia selama ini. Yaitu silabel, Abugida, dan logo-fonetik. Dari ketiganya, bentuk tulisan silabel dan Abugida lumayan lebih mudah dihafal, serta dipakai untuk menulis bahasa lain, jadi semacam tulisan kode rahasia.
Silabel adalah tulisan baku per satu suku kata. Sederhananya, satu aksara mewakili satu suku kata (konsonan + vokal, misal: ba, bi, bu, be, bo). Sudah tidak banyak bahasa tutur modern yang menggunakan tulisan model ini.
Contoh:
- Hiragana, dan Katakana Jepang;
- Tulisan Cherokee.
Skema penulisan bentuk Abugida sekilas mirip abjad, sebab terdiri dari aksara konsonan dan aksara vokal. Tapi berbeda dengan abjad yang tanda bacanya bisa dihilangkan, Abugida tetap harus menampilkannya karena tiap-tiap suku kata memiliki bentuk hasil kombinasinya sendiri.
Contoh:
- Hanacaraka (Jawa Kuno, dan Bali),
- Kawi Singosari,
- Sunda,
- Devanagari (mulai Sanskerta sampai Hindi),
- Punjabi,
- Kannada,
- Bengali,
- Sinhala,
- Thai,
- Khmer,
- Tulisan Tibet,
- Siddham (Bonji dalam bahasa Jepang),
- Lontara Bugis,
- Pallava,
- Tagalog,
- Tulisan Batak,
- Tamil,
- banyak lainnya.
Sedangkan logo-fonetik menggunakan bentuk-bentuk gambar untuk mewakili bunyi dan kata, baik yang bermakna konkret maupun abstrak.
Contoh:
- Hanzi (tulisan Tionghoa, dan variannya dalam Kanji Jepang maupun Hanja Korea),
- Hieroglif,
- Tulisan bangsa Maya,
- Huruf paku.
Dari kelima model tulisan, logo-fonetik adalah yang paling riweuh. Karena ada beribu-ribu bentuk yang mesti dihafal untuk bisa disebut menguasai penulisannya. Keberlimpahan kosakata terjadi secara harfiah. Dalam bahasa Tionghoa, misalnya. Kategori anak TK sebaiknya menguasai hingga puluhan karakter, angka itu makin bertumbuh sampai akhirnya menginjak usia kuliah dan dewasa dengan penguasaan 5 ribu sampai 8 ribu karakter. Belum lagi apabila seseorang bekerja di bidang bahasa sebagai penulis, pengajar, seniman kaligrafi maupun sastra, arkeolog, dan sebagainya, bisa menguasai belasan ribu karakter. Tidak ketinggalan, “kabar baiknya” adalah, dalam kamus Kangxi terbitan 1716, setidaknya ada 42 ribu karakter tulisan Tionghoa. Itu pun diklaim masih belum sepenuhnya mengakomodasi karakter-karakter khusus dialek tertentu. Wow! Leluhur orang Tionghoa rajin sekali menciptakan kata-kata.

[]
5 tanggapan untuk “Tulisan tentang Tulisan”
jebakan kaum pembelajar adalah kegenitan intelektual, misalnya selalu ngotot dengan kerapihan tata bahasa dan kelengkapan kata per kata karena dianggap cerminan pola pikir dan keluasan pengetahuan.
blh blh sj sh tp kl sy mh mlz bgt.
SukaSuka
Nyindir ya, Mas?
SukaSuka
ahahahaha!
SukaSuka
Nulis tanpa vokal di chat sih masih oke ya mas. Tapi kalau dalam literasi. Dalam blog saja saya nggak mau nulis seperti itu
SukaSuka
Ya saya juga begitu sih, setidaknya biar kelihatan kalau benar-benar orang yg berbahasa Indonesia. 😀
SukaSuka