Rapuh. Catatan Kecil Marathon Pertamaku

Saat anda sedang membaca ini kemungkinan besar saya sedang hampir kehabisan napas di Gianyar, Bali. Menuntaskan ambisi yang dari tahun lalu sudah terucapkan: ikut full marathon race. 42, 195K. Tahun lalu saya menyelesaikan tantangan diri, menyelesaikan Half Marathon 21K di usia saya yang 41 tahun. Hesteknya #21at41. Saat sedang berlari itu, saya berkata dalam hati “kalau ini selesai, tahun depan ikut full marathon. Hesteknya #42at42. Lucu juga…”

Tapi sejak Februari 2015, saat program latihan dimulai, saya menyadari ternyata tidak selucu yang saya kira. Bisa dibilang saya tidak punya kehidupan sosial. Urusannya hanya masak pesanan nasi ayam, bikin pesanan iklan dan latihan lari. Yang paling memakan waktu bisa dibilang lari. Jakarta bukan kota yang bersahabat untuk pelari. Trotoar yang tak penuh jebakan dan kendaraan yang tak beraturan ditambah jambret yang selalu mengancam. Saya pun akhirnya memilih berlatih di GBK atau GOR Soemantri. Satu lingkar GBK itu 1K, sementara GOR Soemantri 400m. Kalau harus berlatih di atas 20K di GOR Soemantri, keluar-keluar rasanya akan seperti Hamster.

Semakin mendekati tanggal race, jarak latihan pun semakin bertambah. Telinga saya disumpal earphone untuk menghilangkan kejenuhan. Dan di suatu titik pun bisa hafal lagu-lagunya sehingga tak lagi membantu. Alhasil, saya sering berbincang dengan diri saya sendiri. Semacam meditasi. Kadang-kadang saat itulah saya mendapatkan ide untuk tulisan di linimasa.com.

Dalam keheningan dan kadang kegelapan, karena malam telah larut, saya hanya bisa mendengar suara nafas dan derap kaki saya. Keringat sudah mulai mengering. Kaki-kaki saya terasa pegal kadang tak terhankan. Kekhawatiran kalau tidak menuntaskan latihan maka saya tidak bisa menyelesaikan full marathon saya yang pertama nanti, memaksa saya terus berlatih. Beragam cara pun saya lakukan untuk mengurangi rasa sakit saat berlatih.

Suatu saat, saya diserang batuk pilek yang lumayan berat. Terpaksa berhenti latihan selama seminggu. Rasanya panik dan sedih. Saat memulai lagi pun, sepertinya saya belum sembuh 100%. Tapi rupanya inilah saat saya mendapatkan pelajaran yang paling menguatkan. Pelajaran untuk pasrah. Bahkan rapuh. Yang dimulai dengan menerima fakta bahwa tubuh saya tidak kuat dan saya hanyalah makhluk yang lemah. Di saat itu pula secara mengejutkan rasa sakit berkurang jauh.

Mungkin, teorinya begini. Benda yang keras, semacam tembok atau kayu, sangat menantang untuk dihancurkan. Segala alat diciptakan selain untuk membangunnya, juga untuk memecahnya menjadi serpihan. Atau binatang buas yang perkasa. Sangat mengundang manusia untuk berburunya. Beda halnya dengan benda-benda rapuh. Coba letakkan sebutir telur dalam genggaman, dan remaslah. Saat itulah mendadak tangan kita merasa lemah. Padahal telur adalah benda berkulit rapuh. Atau coba genggam seekor anak ayam yang baru menetas. Mendadak tangan paling perkasa di dunia pun akan menjadi lemah dibuatnya.

Dunia olahraga selama ini punya nyawa Citius, Altius, Fortius (bahasa Latin untuk “lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat”).  Tentunya ini cocok untuk para Atlet. Terutama di pertandingan kelas dunia. Tapi saya bukan atlet. Adalah kegilaan dan kebodohan kalau saya pernah berpikir saya bisa sekuat atlet. Atau bermimpi bisa berlari secepat pelari Kenya. Saya baru mulai berlari di usia 25 tahun. Dan tidak ada pelatih yang setia mendampingi. Dan di atas segalanya, eksistensi saya bukan dari berlari. Profesi saya bukan pelari. Dapur saya bisa mengebul bukan karena saya sering berlari.

Saat sedang belajar di Google Institute, saya mencoba mencari hubungan antara “melemahkan diri” dengan “kekuatan”. Benarkah ini ada atau mungkin hanya ada di pikiran saya saja. Bukan pelajaran universal. Saya pun bertemu dengan pemenang Olimpiade musim dingin asal Korea, Kim Yuna. Figure Negara yang sama sekali tak mengenal menari di atas ring es. Saya heran, bagaimana kita bisa lebih mengenal Lee-MinHo dan Bubble Tea? Padahal Kim Yuna adalah pesohor paling bersinar dengan bayaran termahal di Korea.

Di suatu wawancara, Kim Yuna berkata “saat saya bertanding di Olimpiade, saya merasa sayalah orang paling lemah di dunia. Saya hanya bisa memasrahkan diri saya sepenuhnya pada musik. Untuk kemudian melepaskan segalanya”.

Di dunia lari berlari, hal ini bisa dilihat dari kaos-kaos lari yang ditawarkan oleh label-label terkenal. Disain yang tadinya memberikan kesan kuat, cepat dan sporty, perlahan beralih menjadi lebih santai. Motif kotak-kotak, garis warna warni, kartun, bahkan kembang-kembang. Mungkinkah ini menjadi bentuk demokratisasi olahraga. Bukan lagi dominasi yang kuat, cepat dan tinggi. Tapi untuk dinikmati semua. Bahkan yang terlemah sekalipun.

Running-in-Full-Summer-Bloom-The-Nike-Photosynthesis-Pack-1 hulk-age-of-ultron-under-armour img-thing

Sekarang mungkin saya masih berlari atau berjalan kaki tak kuat lagi. Apa pun itu, saya hanya bisa bersyukur. Bukan hanya saya semakin mengenal diri dan tubuh saya. Saya pun belajar untuk melemahkan diri. Merapuhkan diri. Karena dari situlah saya menemukan kekuatan yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Pasti lebih tahan lama ketimbang medali dan kaos finisher.

Di sebuah film yang saya lupa judulnya, ada yang bilang “the beginning might be exciting, the ending might be disappointing, what matter the most is what happens in between”.

16 respons untuk ‘Rapuh. Catatan Kecil Marathon Pertamaku

  1. Yang penting mulai dulu ya om.. Akhir-akhir ini saya jarang lari, karena kesibukan sehari-hari, tapi saya punya target bulan ini bisa ikut jakmar untuk HM. Semoga terwujud.

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s