Maya atau Nyata, Manusia Ya Manusia

Beberapa waktu lalu, saya baru menyelesaikan membaca buku “Modern Romance” karya Aziz Ansari. Aziz ini adalah komedian dari Amerika Serikat yang berasal dari orang tua imigran asal Iran. Aziz pernah menjadi pembawa acara MTV Movie Awards. Beberapa stand-up comedy shows yang dia gawangi, sukses besar. Ada beberapa potongan klip-nya di Youtube. Saya mulai familiar dengan Aziz saat dia main di serial “Parks and Recreation”.
Dengan portfolio seperti ini, saya pikir buku “Modern Romance” ini adalah buku komedi tentang perjalanan hidup dan karir dia. Mirip dengan buku-buku serupa dari komedian seangkatannya, seperti Mindy Kaling, Tina Fey, dan rekannya di serial “Parks”, Amy Poehler. Ternyata saya keliru.

Buku “Modern Romance” bertutur tentang betapa ribetnya memulai dan menjalin hubungan asmara di era digital. Ya, ini bukan buku biografi, tapi murni pengamatan Aziz dan ahli sosiologi, Eric Klinenberg, yang membantu menulis buku ini. Bertahun-tahun mereka mengamati, melakukan survei dan sesi FGD (focus group discussion) tentang bagaimana orang-orang mencari pasangan hidup di dunia maya. Bisa jadi, kata “orang-orang” ini diganti dengan kita.

Dari sekian banyak poin menarik yang dituturkan di buku ini, ada satu yang menarik perhatian saya.
Menjelang akhir buku yang cukup tebal ini, Aziz berkata:

Online dating dan smartphone membuat kita bisa mengirim pesan ke siapa pun di seluruh dunia. Namun perubahan dalam digital communication ini membawa pengaruh besar. Saat kita melihat ke layar ponsel dan melihat ada pesan masuk, mungkin dari orang yang sedang kita incar untuk kita dekati, seringnya kita melihat ada kotak atau lingkaran yang berisi pesan tersebut. Dan seringnya kita lupa untuk melihat bahwa ada manusia di balik kotak atau lingkaran. Sejalan dengan semakin seringnya kita mencari pasangan hidup lewat jalur online, kita lupa bahwa di setiap pesan masuk, di setiap profile online dating, ada manusia yang hidup, bernafas, dan punya kisah yang kompleks, persis seperti Anda.”

Cukup lama saya memandang kutipan di atas, dan sedikit terhenyak. Jangankan pesan di aplikasi online dating. Kadang saya pun lupa kalau ada manusia “beneran” di balik setiap pesan di WhatsApp atau LINE atau jalur komunikasi instan lainnya. Paling jelas kealpaan ini terlihat saat kita sedang marah. Kalau sudah marah, kita bisa merepet menulis begitu banyak kata, seolah-olah tidak memberikan kesempatan kepada lawan bicara untuk membela diri. Well, at least, saya pernah melakukan itu, sih. Lalu menyesal setelah beberapa saat kemudian.

Thank you, Google Image!
Thank you, Google Image!

Kutipan di atas dilanjutkan oleh Aziz dan Eric dalam contoh-contoh nyata yang praktikal. Misalnya saja, saat mulai mengajak orang berkenalan di dunia maya. Mereka menyarankan agar mulai menyapa orang seperti ketika bertemu orang untuk pertama kali di bar atau club. Tidak perlu menghabiskan alfabet terlalu banyak seperti “Yo, wuuuzzuuupp ma guuurrrllll/boyyyyzz?!”. Coba lafalkan saja kalimat di atas. Susah, tho? Yang lebih gampang memang cukup “Hey, what’s up?”, karena di dunia nyata pun, kita juga mengatakan hal yang sama, seperti “Hai, boleh kenalan?”
(Kalau nggak boleh, ya nggak pa-pa. Penduduk Indonesia hampir 300 juta kok saya, eh kamu, masih jomblo. Jleb.)

Memang, butuh keinginan kuat untuk sekedar mengirimkan pesan kepada orang yang belum kita kenal. Seringnya kita takut, atau jiper/keder/minder duluan karena melihat profil orang tersebut. Padahal, seperti yang sudah dibilang di atas, ada orang beneran kok di setiap profil ini. Artinya, orang aslinya bisa dipastikan jauh berbeda dengan yang terlihat di profil.

Online world, let alone social media, can make us whoever we want to be.
Siapapun bisa menampilkan citra apapun yang ingin ditampilkan di media sosial. Apalagi “sekedar” profil dating. Maklum, dalam kapasitas jumlah kata-kata yang singkat, ukuran foto yang sekecil-kecilnya, kita ingin menarik minat orang lain sebanyak-banyaknya. Karena berlomba-lomba ingin menjadi terlihat yang paling oke/kece/keren, maka aplikasi pemoles foto pun laris manis. Kalau perlu, foto dari 5 tahun lalu kita poles lagi dengan Camera 360. Deskripsi diri sekedarnya saja, kalau perlu pakai Google Translate.
Akhirnya, online profile hanya mewakili maksimal sekiar 1% dari jati diri asli kita. Tentu saja, the other human parts, the rest of 99% yang membuat orang itu menyenangkan, karena dia bangun tidur dengan bekas iler, tapi bisa membaca 200 halaman dalam waktu sejam, dan bisa membuat kopi enak sekaligus telur dadar yang nikmat untuk sarapan, tapi bisa bete karena gak bisa ganti ban mobil, all of the flaws and imperfection that make one perfect are often unheard and unseen.

Thank you again, Google Image!
Thank you again, Google Image!

Bukan salah kita juga kalau belum bisa melihat atau mendengar bagian tersebut, karena bisa jadi kita tidak akan mendapat kesempatan itu. And it’s more than fine.
Paling tidak, kita sudah berusaha untuk mengorangkan orang. Dalam bahasa Jawa, ada istilah “nguwongke wong”, atau memperlakukan manusia sebagaimana mestinya. Tantangan besar memang saat kita hanya melihat sedikit bagian dari orang lain itu, baik dalam bentuk gambar atau tulisan singkat. Tapi ingatlah selalu, bahwa ada jemari yang menulis dan nafas yang berhembus penuh harapan, bahkan di satu kata yang paling pendek pun: “Hai”.

(Di bawah ini ada beberapa snippets dari buku “Modern Romance” versi Kindle yang saya capture dengan ponsel.)

7 respons untuk ‘Maya atau Nyata, Manusia Ya Manusia

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s