Home, Not a House. Rumah, Bukan Tempat Tinggal.

Sebagian dari pembaca hari ini pasti pernah menonton serial “Sex and the City”. Serial ini banyak menampilkan quote-worthy dialogue yang diucapkan salah satu dari empat pemain utamanya. Dari sekian banyak dialog, ada satu yang paling saya ingat sampai sekarang.

Di episode ini, Miranda (Cynthia Nixon) sedang berdiri di atas kapal ferry yang mengantarnya pulang ke Manhattan dari Staten Island. Sambil bersandar di pegangan kapal, dia berkata sambil menerawang,

“Who woulda thought that an island that tiny, would be big enough to hold all our boyfriends?”

Dialog ini masih membuat saya tersenyum sampai sekarang. Padahal episode ini ditayangkan pertama kali sekitar tahun 2001-2002. Relevansinya masih terasa sampai sekarang.

Kadang-kadang, saya harus mencari email lama di mailbox yang saya lupa subject atau bahkan pengirimnya siapa. Saat saya cari dengan kata kunci yang sederhana, misalnya, “rekomendasi galeri di Singapura”, eh muncul juga email-email dengan mantan tentang hal ini saat mau pergi bersama. Munculnya bersamaan dengan email-email lainnya yang justru lebih dicari. Di situ suka merasa takjub, bagaimana mungkin satu alamat surat bisa menyimpan begitu banyak informasi dan memori?

Demikian pula dengan saat reuni sekolah, atau kampus, atau institusi lain yang pernah kita tempati selama beberapa waktu. Ketika kita sudah lama meninggalkan tempat-tempat tersebut, kita hanya bisa mengenang dengan penuh keheranan bahwa, “how can one place hold so much memory?

Jawabannya, tentu saja, adalah … It’s not where you live. It’s how and what you do about it.

(Taken by yours truly)
(Taken by yours truly)

Kalau kita datang ke perkumpulan teman-teman atau kolega-kolega lama, tentu saja kita tidak akan membicarakan saat-saat melakukan upacara bendera, ulangan umum, atau belajar bersama. Yang kita bicarakan adalah hal ringan seperti waktu siapa lagi jatuh cinta sama siapa, pergi naik gunung bersama, atau menempuh perjalanan jauh demi ikut lomba matematika tingkat propinsi. Bisa saja ‘kan? Hal-hal rutin yang membuat kita menjalani hari akan hilang dari ingatan. Tapi hal-hal luar biasa yang membuat hari-hari kita istimewa akan selalu lekat di ingatan.

Tulisan hari ini mungkin lebih singkat dari tulisan biasanya. Tapi berbicara tentang tempat yang pernah kita singgahi, mau tidak mau saya terpapar juga dengan fakta bahwa sebentar lagi, negara Indonesia akan merayakan ulang tahun kemerdekaannya yang ke-70.
Pertanyaannya, apakah Indonesia sudah jadi rumah buat kita? Pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Apalagi dengan serentetan krisis belakangan ini. Dan setiap orang punya jawaban berbeda. Ada yang menjadikannya rumah lebih dari 70 tahun, ada juga yang menolak menjadikan Indonesia sebagai rumah.

Buat saya, Indonesia belum jadi rumah. Perjalanan saya di sini mengukir kenangan dan pencapaian belum selesai. A house may be completed, but a home is always a work in progress. Banyak hal-hal di Indonesia yang membuat saya belum “sreg”, tapi ketidaksempurnaannya membuat saya memilih untuk menetap di sini, dan meninggalkan rumah yang lama for good.

(Still taken by yours truly)
(Still taken by yours truly)

Jadi, ketika kita melihat dari atas langit saat pesawat kita akan turun di landasan, di manapun itu, mungkin kita bisa bertanya dalam hati, “is this a home for me?

Because everything begins at home.

8 respons untuk ‘Home, Not a House. Rumah, Bukan Tempat Tinggal.

  1. Tulisan menarik, tapi kalau boleh saya komentari dari sisi linguistik.
    Walau saya paham yg dimaksudkan penulis, setahu saya justru Home yg artinya Tempat Tinggal, karena bisa berbentuk house (rumah), apartment (rusun), atau bahkan trailer (mobil gandeng).
    Jadi Home, Not a House: seharusnya diikuti dengan Tempat Tinggal, Bukan Rumah, walau mungkin jadi berbeda dgn arti psikologis yg dimaksud penulis. Tapi karena penggalan pertamanya sudah berbahasa asing, mau tak mau penggalan kedua terikat terjemahan bakunya.
    Sekedar berbagi.

    Suka

    1. Terima kasih atas koreksinya. Mungkin waktu menulis, secara tidak sadar saya bermaksud untuk menampilkan “feeling home”, atau tempat tinggal dalam bentuk psikologis. Lalu pas diterjemahkan, bingung cari padanannya. Hahahaha. Let’s leave it as is, sementara komentar Anda akan selalu ada di sini, as a very kind reminder. Thank you.

      Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s