Disekanya noda putih itu dengan tisu. Di kening, dagu dan sedikit saku baju. Lalu ia tersenyum dan memandang pria di atasnya yang juga tersenyum.
“Besok aku tugas luar kota. Kamu mau oleh-oleh apa?“, Baridin bertanya sembari mengenakan helm dan mengancingkannya.
“Oh gitu, jadi setelah enak-enak kamu ngabur dines gitu, Mas?”
“Hahaha!“, Baridin tertawa. Diceknya kaca spion. Lalu ia starter GL-Pro tua.
“Eh, kok kamu malah tertawa?”
“Hahaha! Senin lusa aku sudah balik lagi kok. Kamu jaga diri baik-baik. Kamu aku oleh-olehin bakpia patuk saja ya?”
Oh Jogja. Bowo membatin. Dia tak menjawab. Hanya kepalanya yang ia geleng-gelengkan. Tangannya merespon dengan tangan menggeleng-geleng juga. ” Dadaaah“. Ia setengah berteriak sembari menyaksikan motor itu menjauh dan akhirnya menghilang.
Baridin segera menghambur ke dalam kamar. Mirna, istrinya, tersenyum.
“Pa kabar anak kesayangan kita?”
Istrinya tak menjawab, hanya mengelus-elus perutnya yang membuncit.
“Sikunya mulai keluar lagi ya, Sayang? Tuh..tuh… Wah, anak Papah tau nih papahnya pulang“. Baridin tertawa dan mencium perut istrinya. Dipeluk dan lalu bertubi-tubi ia kecup.
“Papah sudah makan?”
Baridin tak menjawab. Dalam benaknya terbayang sorot mata Bowo.
“Papah sudah makan, Pah?”
Sekarang Baridin membayangkan ubun-ubun Bowo. Ada dua!
“PAH!”
“Eh, iya Mah.. napa Mah? Papah sudah makan tadi di kantor. Biasa. Nasi Kotak.”
Merasa tumben bak mandi tak terisi penuh, Bowo membuka keran. Lalu ia berwudhu. Bagian kanannya ia basahi dan basuh berulang kali. Tangan kanan dan kakinya. Kemudian bagian yang kiri.
Diraba-rabanya ventilasi di atas pintu kamar mandi. Tangannya terhenti. Ia ambil benda itu. Satu sachet shampoo ia robek. Isinya dituang ke telapak tangan kiri.
Diguyur seluruh tubuhnya. Dari rambut hingga mata kaki. Lalu ia tempelkan tangan kanannya dengan telapak tangan kiri. Setelah digosok-gosok ia usap-usap rambutnya yang basah. Tengkuknya sedikit ia tekuk. Sekarang ia memijat-mijat kulit kepala. Pikirannya melanglang buana.
Baridin o Baridin. Mengapa engkau masih kembali. Bukankah Kau telah memiliki istri. Baridin O Baridin. mengapa kau masih bisa berdiri, padahal kau pernah mengecewakanku. Katanya kamu harus melupakanku. Baridin O Baridin. Kamu masih lengket. Kamu masih berisik. Kamu masih menawan. Kamu dan kamu masih milikku.
Bowo mengambil sabun cair di tepi dinding bak mandi. Dituangkannya dalam spon. Setelah diremas-remas ia balur ke sekujur tubuhnya.
Baridin o Baridin. Mengapa kamu perhatikan aku.
Digosok wajahnya tanpa spon.
Baridin, lihat! jerawatku tumbuh satu. Kupastikan ini milik kamu.
Digosoknya dada dan seputar pusar dengan gerakan memutar.
Baridin, lihat! Masih ada noda lengket di sela pusarku.
Tangan Bowo terus menggosok dan semakin ke bawah.
Baridin oh. Baridin Oh. Baridin lihat Oh! Bari.. Baridin. Oh. BARIDIN OH. BARIDIIIIIIIIIIIIIIIN!
Seorang perempuan gemuk menggendong bayi mungil menuju meja pendaftaran. Seorang lelaki mengikutinya dari belakang, tapi sepertinya urungkan niat untuk terus mengikuti dan memilih duduk sembari memainkan hape di kursi panjang ruang tunggu.
Ini hari Sabtu.
Mereka tak sadar sepasang mata bola memandang dua sejoli ini. Pandangan dari seorang pria setengah baya yang sedang menahan rasa mulas perutnya. Agak jauh memang jarak antara ruang tunggu Bidan Wati dan Pak Mantri. Hilir mudik pengunjung klinik, dan suara televisi di pojok atas ruangan membuat suasana klinik ini lebih mirip halte busway.
Pandangan itu tetap lekat. Memandang si bayi yang rupanya mulai menangis karena diletakkan di atas timbangan. Ibunya berusaha menghibur. Bapaknya masih saja sibuk bermain hape.
Punya hape baru rupanya. Pria itu membatin.
Suara tangis bayi makin melengking.
Ih, kok Mirna gendutnya gak sembuh-sembuh?
Ibu itu panik dan meminta perawat mengangkat bayinya.
Kamu juga sekarang gendut! Apa gendutnya menular padamu?
Suara bayi ini semakin menjadi-jadi. Hampir seluruh pengunjung ruang tunggu memandang bayi itu.
Mana oleh-olehnya?
Ibu itu semakin panik. Wajahnya begitu kesal memandang perawat yang tetap saja konsentrasi mengukur berat badan si bayi.
Jangankan oleh-oleh, sudah empat bulan kamu ndak maen ke rumah. Baridin Baridin O Bari.. Pria ini tiba-tiba tak lagi berpikir. Dilihat lelaki bertopi tak lagi bermain hape. Bayi kecil itu tiba-tiba terdiam saat diangkat oleh lelaki itu. Digendongnya. Dilihatnya Ibu si bayi tersenyum. Ia tak lagi panik. Lalu mencium kening si bayi. Tak lupa ia juga mengecupkan bibirnya ke pipi kanan si Lelaki.
Pria pemerhati pasangan ini terhenyak. Kali ini mulasnya sirna. Berganti tiba-tiba ia sesak napas. Bahkan kini, tak kuasa menghirup udara. Pandangan matanya berkunang-kunang. Kursinya berputar. Dunia menjadi gulita.
Samar-samar dilihatnya lelaki bertopi mencium perempuan itu tepat di keningnya. Lama sekali.
Pria dengan sesak napas dan gelap pandangannya itu itu tiba- tiba berdiri dan berlari menuju pintu keluar. Tangannya gemetar. Tubuhnya lunglai. Tak kuasa ia berlari. Tapi ia terus berlari. Tepat di samping tong sampah dekat parkiran, ia terjungkal.
Air matanya jatuh.
…
..
————————-
Suatu malam, seorang lelaki sedang menonton televisi. Berita tentang seorang menteri yang menjadi tersangka karena pengadaan gardu listrik begitu menarik perhatiannya.
Sebuah pesan singkat masuk ke layar hape yang tergeletak di atas sofa. Diambil dan dibacanya tulisan di layar:
Aku memang tak memiliki rahim. Tapi aku masih punya hati.
..
..
[]
Jakarta, 6 Juni 2015, 02.13 WIB
*) Terbakar Cemburu – Padi
yaampun bowo dan baridin.
hal-hal seperti ini emang menarik banget buat dijadiin cerpen.
suka! 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
terima kasih. 🙂
SukaSuka
Dunia saat ini makin mirip dunia dahulu kala..
SukaDisukai oleh 1 orang
mesti mbaknya tuwa banget ni.
SukaSuka
Bowo Oh Bowo….
SukaDisukai oleh 1 orang
Bowo: “y sy mb..”
SukaSuka