Siapapun yang termasuk dalam group chat, apapun itu aplikasinya pasti sudah kenyang mengalami yang namanya pesan yang diteruskan atau forwarded message. Sebenarnya kalau dirunut, sepertinya ini asal muasalnya adalah surat berantai, yang kemudian jadi e-mail berantai (yang dulu sering pakai embel-embel ancaman “teruskan ke 10 orang yang Anda kenal atau Anda akan terkena sial tujuh turunan mandul” dan semacamnya), sekarang jadi pesan berantai. Versi sekarang sebenarnya sudah jarang sekali pakai ancaman, tetapi herannya kok banyak sekali yang masih dengan suka rela meneruskannya.
Memang tidak semua isinya mengesalkan, terkadang ada doa (sepertinya masih banyak fansnya), sekedar trivia yang cukup informatif, tetapi tidak jarang berita omong kosong daur ulang dari jaman e-mail berantai dahulu. Atau sekedar berita bombastis yang sudah dibantah oleh pihak yang lebih memiliki kredibilitas. Biasanya kalau mendapatkan yang begini saya akan memberi tahu kepada penerus di grup “Itu hoax, jangan diteruskan lagi,” yang kemudian biasanya diikuti dengan penerus berita merasa malu (atau tersinggung karena kejudesan saya). Memang, gerakan menyeleksi teks kemudian mengkopi dan memindahkannya ke jendela obrolan yang berbeda dan tekan kirim, lebih mudah daripada memeriksa kebenaran berita tersebut. Tapi selalu ada pilihan untuk tidak meneruskan, loh.
Saya kira tadinya skeptisisme hanya langka di negara ini saja karena sejak kecil kita sudah dihimbau untuk tidak mempertanyakan hal-hal yang disuapi dari guru dan pendidik lainnya. Apalagi soal agama. It’s blind faith or none at all. Tapi artikel yang ditemukan teman saya ini berkata lain. Dari cerita tentang eksperimen yang dibuat untuk membuktikan, apakah media memeriksa dan melakukan verifikasi sebelum menayangkan berita kesehatan dengan klaim yang populer ini membuktikan; bahwa profesi dan institusi yang seharusnya paling skeptis saja sering melewati proses pemeriksaan sebuah riset kesehatan hasilnya valid atau tidak. As if berita dan update dari dunia kesehatan terutama nutrisi setiap hari kurang membingungkan saja. Setiap hari ada saja berita baru mengenai kita “harus mengonsumsi lebih banyak lemak dan protein” lalu esoknya ada berita “protein terlalu banyak bahaya untuk kesehatan” dan terus demikian. Untuk proses due dilligence sebuah riset kesehatan memang sudah ada standarisasinya. Tetapi bagaimana proses due dilligence untuk rakyat jelata seperti kita, yang selalu dibanjiri dengan informasi bertubi-tubi setiap hari? Apakah kita harus percaya bahwa dengan minum jus buah dan sayur setiap hari bisa meluruhkan seluruh racun dalam tubuh (Jawabannya tidak)? Apakah kita harus percaya kalau infused water lebih baik dari air biasa? (Coba jawab sendiri)? Apakah gula organik lebih baik dari gula biasa (cari tahu)?
Sepertinya sekarang waktunya kita asah sifat skeptis kita. Terutama yang membuahkan rasa ingin tahu untuk menggali lebih dalam. Mendapatkan berita terusan di grup? Kalau informasinya bersifat praktis seperti lalu lintas yang dibuka tutup karena acara di satu kota, teruskan lah ke rekan Anda yang kira-kira membutuhkan. Jika terbaca seperti menakut-nakuti dengan kata-kata “bahaya” atau “awas” kemudian diikuti dengan “mengandung minyak babi” mungkin Anda patut ragu. Doubt is good. Keraguan membuat kita mempertanyakan. Pertanyaan membuat kita mencari tahu. Pencarian itu akan menghasilkan pengetahuan atau pencerahan. Mendengar berita mengenai suara terompet dari langit dan yakin kalau itu tanda-tanda dunia akan berakhir? Boleh saja. Lebih boleh lagi kalau Anda cari informasi lebih banyak soal fenomena ini. Pada akhirnya apa yang kita percayai ya terserah kita. Ketika memikirkan banyak kemungkinan, bukan berarti kita menjadi tidak percaya apa yang kita percaya. Bingung ya? Saya juga. Kata Artistotle, “It’s the mark of an educated mind to be able to entertain a thought without accepting it.” Keingintahuan mengenai ateisme tidak menihilkan kepercayaan kita terhadap tuhan. Membaca buku tentang atau kitab agama lain tidak akan menjadikan kita syirik. Rasa ingin mencoba diet mayo bukan berarti saya tidak lagi menganut paleo (tetep).

Satu tanggapan untuk “Meringis Skeptis”
[…] “Meringis Skeptis” dari Mbak Leila. – “Jadilah Pendukung yang Biasa-Biasa Saja” dari Kang […]
SukaSuka