Hari Libur dan Mental Kacung

SELAMAT berhari libur! Selamat kembali menikmati tanggal merah di awal pekan, momen yang barangkali memang dinantikan banyak orang. Jeda antara Senin dan The Hump Day, Rabu mendatang.

Terlepas dari label agama apa pun, hari raya yang diganjar tanggal merah di kalender kita sebenarnya dirayakan semua orang. Namun caranya yang berbeda. Hari ini misalnya. Sebagian besar umat Buddhis–baik yang merupakan murid serius maupun penganut berdasarkan tradisi–mencurahkan lebih banyak perhatian dan waktu untuk terlibat dalam sejumlah kegiatan religius. Apalagi mereka yang tengah menginap di Jogjakarta, Magelang, maupun sekitarnya demi mengikuti prosesi peringatan garapan Walubi di Candi Borobudur.

Lalu, bagi selain umat Buddhis, bentuk perayaan atas hari ini begitu beraneka. Ada yang sengaja memperpanjang liburannya di luar kota sejak Sabtu (31/5) lalu; ada yang tidur mbangkong; sebaliknya ada pula yang sengaja bangun cukup pagi untuk berolahraga dan menikmati sarapan dengan tenang; ada yang mengajak pacar, istri dan anak, orang tua, teman, gebetan berjalan-jalan; ada yang mendedikasikan waktu luangnya untuk me time dengan membaca, atau menulis, atau memotret, atau beragam hobi lain; ada yang berkeinginan memanfaatkan hari libur untuk belajar sesuatu, atau memperbaiki makalah dan tugas kuliah/sekolah sebelum dikumpulkan, atau malah menyelesaikan presentasi bisnis agenda Rabu mendatang; ada yang memberdayakannya dengan melakukan kegiatan-kegiatan sosial; tak ketinggalan ada pula yang menghabiskannya untuk berusaha menikmati dolce far niente.

Semuanya adalah bentuk perayaan. Perayaan atas hidup, yang masih serba-transaksional, yang selalu dipenuhi pertanyaan “ada/dapat apa setelah ini?” Pamrih.


Transaksional.

Ketika ada yang memperoleh, dan yang memberi.

Ada yang meminta, dan yang melayani.

Saling mengimbangi. Selalu berganti posisi.

Hanya saja, sayangnya, dalam hidup yang masih serba-transaksional ini, lebih banyak orang berminat jadi yang meminta dan memperoleh, bukan yang melayani dan memberi. Entah karena ilusi ego dan harga diri yang dirasa terlalu tinggi, sehingga tidak sudi melayani. Entah karena takut kehilangan atau memang tidak punya apa-apa sama sekali, sehingga enggan memberi.


Saya ndak tahu, apakah bagian ini nyambung dengan tulisan di atas atau tidak. Tapi yang pasti, dalam percakapan dengan seorang kawan beberapa hari lalu, kami berdua sepakat bahwa melayani bukan semata-mata bertindak laiknya seorang pelayan yang diupah. Bahkan pada dasarnya, pelayan pun jelas tidak bisa disamakan dengan kacung. Posisi sosial yang dianggap hina saking rendahnya. Ini juga menyangkut mentalitas.

Bagi kami, melayani berarti membantu orang lain. Membantu dalam arti luas, termasuk membuat orang lain yang awalnya tidak tahu dan tidak bisa, menjadi paham dan mampu. Terlebih bila mampu membantu memanusiakan manusia lainnya. Ini klop jika merujuk pada tulisan Mas Roy akhir pekan lalu. Yakni seyogianya sebuah bantuan diberikan dengan tuntas, tidak nanggung, benar-benar berorientasi pada kebaikan bersama, bukan cuma ajang pamer eksistensi.

Melayani sesama adalah sebuah keniscayaan bagi kita, makhluk bernama manusia. Akan tetapi, pilihan dan keputusan untuk melakukannya merupakan hak pribadi masing-masing. Kalau sedari awal memilih dan memutuskan tidak ingin terlibat dalam pelayanan sosial, maka sebaiknya memang tidak dilakukan sekecil apa pun. Ketimbang malah menjalaninya dalam pamrih, memperlakukannya ibarat jalan pintas menuju popularitas dan kesuksesan berbasis nama–yang aslinya belum tentu–baik. Pasalnya, sikap itu tidak menjadikan Anda seorang pelayan sosial, melainkan seseorang dengan mental kacung; hanya tahu menjalankan perintah majikan, sang pemberi upah. Hanya pandai menabur konsep dan berharap menuai kekaguman, namun pura-pura tuli kala diminta melaksanakannya. Omdedoomong gede doang.

Kami juga sepakat, justru diperlukan mental yang sangat kuat untuk bisa menjadi seorang pelayan sosial. Kerendahan hati untuk berbagi dan memahami kekurangan orang lain, komitmen dan konsistensi, serta profesional. Kendati semuanya tak diukur dengan nominal.


Ehm, sebelum saya melantur makin jauh, lebih baik dihentikan sampai di sini.

Selamat berhari libur.

Selamat memperingati Vesak.

Semoga Anda, dan semua makhluk berbahagia.

[]

P.S.: Sepertinya saya juga perlu ngaca. Karena jangan-jangan, saya pun cuma Omdedo.

2 respons untuk ‘Hari Libur dan Mental Kacung

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s