Setiap hari, ada begitu banyak hal yang ingin disampaikan, namun bingung harus memulainya dari mana. Seperti yang terjadi saat ini, ketika otak terasa begah setelah kebanjiran begitu banyak informasi yang sempat menarik perhatian, kemudian teronggok laiknya tumpukan barang di gudang. Entah mau diapakan, dan enaknya digimanain.
…
Ada satu hal yang cukup menarik perhatian kemarin petang. Urusannya sih ndak jauh-jauh dari selangkangan. Ternyata, usia legal untuk melakukan hubungan seksual di Norwegia adalah 16 tahun, atau kurang lebih setara dengan umur pelajar Kelas XI (kelas 2 SMA) di Indonesia. Implikasi sederhananya, barangkali, setiap warga negara Norwegia yang telah berusia 16 tahun atau lebih, diperbolehkan terlibat dalam sebuah aktivitas seksual secara sadar dan sukarela tanpa harus khawatir bakal terjerat pasal Statutory Rape.
Sayangnya, saya bukan periset maupun penganalisis. Sebab, akan sangat menarik untuk melihat data valid mengenai beberapa hal. Misalnya, hubungan antara pemberlakuan usia legal seksual tersebut dengan tingkat kehamilan yang tidak diinginkan, serta angka aborsi ilegal, maupun menilik pengaruh kebijakan tersebut dengan persepsi anak muda Norwegia dalam memandang hubungan seksual.
Di sisi lain, tidak kalah menarik bila membandingkannya dengan kondisi anak muda di Indonesia. Gambaran kasarnya, ketika remaja usia 16 tahun di Norwegia sudah diperkenankan melakukan hubungan seksual (dengan/tanpa kewajiban terikat pernikahan), bagaimana dengan remaja Indonesia yang diam-diam juga mulai mencoba, atau bahkan telanjur menikmatinya secara membabi buta? Hingga akhirnya berujung pada kehamilan yang tidak diinginkan, dan tindakan kejam berupa aborsi, pembunuhan bayi setelah dilahirkan, maupun penelantaran. Apalagi dari sudut pandang lain, Indonesia merupakan negara agamis, yang menempatkan agama–lengkap dengan Imtak–sebagai satu-satunya tameng pamungkas untuk semua hal-hal buruk. Sedangkan Norwegia terkenal sebagai negara yang sangat sekuler, yang menempatkan tuhan pada posisi sangat intim; dalam benak dan hati masing-masing penduduknya.
Biarlah para pemegang data valid yang menjawabnya.
…
Ada sebuah teori sosial–kalau saya tidak salah ingat–yang secara garis besar mengemukakan bahwa makin sering dan mudah sesuatu didapatkan, maka terasa makin biasa atau bahkan menjemukan ketika mendapatkannya. (Mungkin pemikiran ini yang menyebabkan cowok atau cewek harus jual mahal, agar terkesan lebih menantang untuk ditaklukkan serta layak diperebutkan. Terasa istimewa.)
Jika dikaitkan dengan regulasi seksual ala Norwegia tadi, bisa jadi urusan syahwat itu mereka perlakukan tak lebih dari sekadar hal alamiah dan manusiawi, serta cenderung biasa namun tetap tunduk pada hukum. Jadi, tidak bikin panik asal mengaburkan gambar belahan dada di layar televisi, lantaran seolah semua pria yang menontonnya akan langsung ereksi massal dan sekonyong-konyong cari pelampiasan.
Akan tetapi, kembali ke Norwegia sana, alih-alih dibiarkan menggelinding begitu saja dan menjadikan mereka bangsa yang biadab, ternyata telah disiapkan paket pendidikan seksual kepada anak-anak. Bertolak belakang dengan ungkapan populer di Indonesia: “ah, kalau soal itu mah enggak usah pake belajar-belajar, bisa tahu sendiri,” dengan dampak yang relatif memprihatinkan. Karena pada akhirnya, media pornografi penuh kamuflase yang dijadikan rujukan.
Tidak tanggung-tanggung, materi pendidikan seksual bagi sekurang-kurangnya anak kelas 3 sekolah dasar Norwegia, tampil tanpa tedeng apa pun. Gamblang serta buka-bukaan, bisa bikin risi, tapi sekaligus jelas, dan mampu menjabarkan dengan komprehensif. Video berikut ini adalah salah satu cuplikan episodenya, hanya saja cukup NSFW.
Okelah, video tadi mungkin dianggap terlalu vulgar dan tidak sesuai dengan so-called budaya ketimuran. Namun setidaknya menyampaikan informasi yang netral, dan tidak cenderung menyesatkan seperti beragam mitos seksual yang dipegang teguh hingga saat ini. Toh, berdasarkan riset UNESCO, ada beberapa fakta terkait penyampaian pendidikan seksual terbuka kepada kaum muda. Beberapa di antaranya. (1) Tidak ada satu pun program tersebut yang mengarahkan dan mendorong kaum muda untuk cepat-cepat melakukan hubungan seksual, (2) Lebih dari sepertiga program tersebut menunda keinginan kaum muda untuk melakukan hubungan seksual.
Asumsinya, pendidikan seksual yang disampaikan bukan melulu soal aktivitasnya saja, melainkan juga pemahaman bahwa setiap orang berhak mengatakan tidak dan menolak ajakan berhubungan seksual. Menghindari paksaan dan ketidaknyamanan fisik maupun mental, juga menekankan bahwa hubungan seksual seharusnya mengikuti prinsip hukum yang berlaku di wilayah masing-masing. Adil, kan?
Semuanya mengarah pada pertanyaan, kapan pendidikan seksual yang komprehensif semestinya diberikan pada remaja Indonesia? Apa mesti tunggu makin banyak laki-laki yang tidak paham bahwa sebenarnya para perempuan perlu merasakan orgasme juga?
[]
Tinggalkan Balasan ke nauvalyazid Batalkan balasan