Minggu lalu, dalam pertemuan rutin dengan beberapa teman sambil makan malam, kami saling bertukar cerita tentang kebiasaan kalau lagi bepergian.
Teman 1: “So how was the trip?”
Saya: “’Kan udah aku ceritain di Path. Sama semua yang aku upload di Instagram. Trus Instagram ya nyambung ke Facebook ama Twitter ‘kan? Gila ya, emang Instagram itu diciptakan buat keperluan jalan-jalan! Kalo gak jalan-jalan, gak aktif. Hahaha.”
Teman 2: “Tapi gak semuanya diceritain di socmed deeeh. Let’s hear the naughty, juicy, uncensored ones!”
S: “Apanya yang naughty, juicy, uncensored. Lha wong gak ngapa-ngapain!”
Teman 3: “Gak ngapa-ngapain kok lupa beliin tumbler pesenan gue?”
S: “Hehehe, maaf. Gak main ke cafe mainstream ceritanya. Cieeeh!”
T1: “I just wanted to ask you this. Did you enjoy the trip?”
S: “Iya. Banget. Nggak tau ya, tapi kok kayanya the best personal trip so far ya.”
T1, T3: “Oh ya?”
T2: “But you’ve been to other exciting places before. Pas yang waktu itu ke India, ke Nepal …”
S: “Iya. Waktu pergi ke negara-negara yang elo sebutin tadi memang menarik perjalanannya. Each one is memorable. Cuma mungkin karena kemaren saya pergi dengan tidak ada plan sama sekali mau ngapain di setiap kota, purely spontaneous, jadinya malah banyak nemuin hal-hal unik yang bahkan gak kesebut di guide book. Beneran selewatnya aja, kalau lihat ada spanduk tentang museum, ya ayo masuk museum. Lha itu, film museum. Liat spanduk kecilnya aja pas malem-malem mau ke pantai. Langsung besoknya Google. Ternyata ada lho!”
T3: “Saw the pictures. Kayanya bagus banget!”
S: “Emang. Bagus banget! Dan pas di sana, rasanya beneran gak papa banget kalo ngabisin waktu setengah hari cuma ke satu tempat itu. Dan ini juga sih ya, selama ini kalo pas pergi, ternyata baru nyadar kalo ada dua tempat yang bikin saya jatuh cinta sama kota atau negara itu.”
T2: “And they are … Booze, sex and more booze?”
S: “Gundulmu! Enggak. Akhirnya kemarin nyadar kalo selama ini, mau ke mana pun perginya, pasti nyari: taman dan museum. Ya kalo gak museum, galeri lah. Pokoknya dua tempat ini ternyata jadi tujuan wajib buat saya.”
T1: “Kalo gue, selama ini kita kan di sini jadi makhluk indoor ya. Apalagi saya yang tinggal di apartemen di gedung bertingkat yang tinggi kayak gini. Pergi ke mana-mana naik mobil, mau mobil pribadi atau taksi. Dari rumah, masuk mobil, terus keluar sebentar, masuk kantor atau masuk mall lagi. So indoor. Makanya begitu ada kesempatan pergi sejenak, langsung lah saya menggila! Guling-gulingan di pantai, trekking atau sekedar jalan kaki.”
S: “True. Kemarin pun akhirnya ada momen cuma duduk doang di taman berjam-jam. Totally doing people watching, and totally fine.”
T1: “See? And we can just enjoy those moments. Karena bisa jalan kaki keliling kota dan duduk di taman itu mahal harganya. Kita gak punya yang proper.”
S: “Nah, dengan alasan yang sama itulah kenapa saya juga menggila kalau ada museum atau galeri. Pameran koleksi lukisan lengkap Salvador Dali dan Andy Warhol aja, harganya masih lebih mahal tiket bioskop kita kalo weekend. Dan belum tentu ada juga.”
T1: “Exactly!”
T2: “Isn’t it funny how basic and simple things can be expensive?”
Lalu saya melihat foto ini tanpa sengaja saat sedang mencari image yang pas untuk tulisan yang Anda baca sekarang. Foto ini saya ambil bulan lalu di Bratislava, ibu kota Slovakia. Kotanya tidak lebih besar dari Depok. Penduduk pun tidak banyak. Kotanya sepi. Namun jalan-jalan di kota ini terhubung oleh satu taman dengan taman lainnya. Setiap sudut, selalu ada taman kota dengan kursi-kursi panjang.
Ibu ini seseorang yang homeless. Dia mengembara, bersembunyi dari satu sudut kota ke sudut yang lain untuk sekedar beristirahat. Problem serupa banyak ditemui di negara-negara Eropa Timur lain: angka pengangguran yang cukup tinggi, dan krisis ekonomi yang entah kapan selesai.
Saya duduk persis di sebelahnya. Dia memejamkan mata. Waktu itu hari Rabu sore, menjelang matahari terbenam. Semilir angin cukup kencang, sehingga cuaca sekitar 23 derajat Celcius tidak terasa “gerah”. Diam-diam saya ambil foto ini. Buru-buru saya mengambil gambarnya, karena takut dia terbangun dan terganggu.
Mungkin dia berpikir, betapa mahal untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak.
Yang pasti saya berpikir, betapa mahal untuk menikmati apa yang dia nikmati sekarang.