Setapak Demi Setapak

Pertama, mari kita dengarkan lagu. Silakan klik.

Jika sudah berbunyi, mari membaca tulisan hari ini.

Jika belum berbunyi, mohon bersabar.

Jika volumenya terlalu besar, tolong kecilkan terlebih dahulu.

Sudah?

Baiklah.


Kedua, coba jawab pertanyaan berikut ini:

Sejak kapan sukses adalah tujuan dari hidup?

Sejak kapan kesehatan rohani hanya diperoleh dari agama?

Sejak kapan kerja keras dianggap  kebajikan dan kemewahan adalah najis?

Sejak kapan ketabahan dalam penderitaan dianggap kesukaan Tuhan?

Satu kata yang sepatutnya bertanggung jawab atas keserakahan adalah kata sukses. Ketika pikiran banyak orang menuju kemasyhuran, rumah besar, harta melimpah, dan boleh leyeh-leyeh sepuasnya namun duit ada terus dianggap sebagai penggambaran dari kata sukses, maka setan-setan duniawi akan hepi dan bikin party. Sukses materi.

Kita tak dapat memaksakan orang untuk mengganti mimpi mereka dan menafsir ulang arti sukses. Hidup kita singkat. Lebih baik kita mensukseskan diri kita untuk sukses menurut versi masing-masing. Padahal kata sukses secara sederhana dapat kita artikan sebagai “berhasil”. Orang berhasil tentunya diukur dengan pencapaian. Persoalan mulai muncul saat pencapaian butuh pengakuan. Pencapaian umum. Bahwa berhasil itu harus dengan syarat bla-bla-bla. Padahal pencapaian boleh diartikan beda. Terserah yang menjalani hidup.

Berangkat kerja tidak terlalu pagi. Tanpa perasan bergegas. Sepanjang jalan menikmati musik yang disetel melalui linimusik. Gowes tanpa jeda, dengan kecepatan sedang-sedang saja. Memandang lautan pekerja, sama seperti dirinya. Lalu sepanjang perjalanan berdialog dengan diri sendiri. Bertukar pikiran, antara yang nakal, sesat dan jernih. Tetap dengan menggowes.  Dialog pagi hari, dengan diri sendiri. Kecepatan sampai tujuan ditentukan diri sendiri. Memandang macet dan menerobos di sela-sela empat roda. Menginjak rumput taman, melintasi pembatas jalan. Sampai ke tempat kerja dan masih belum dianggap terlambat saja, bagi sebagian kecil manusia adalah hidup. Iya ini bukan soal sukses tidak sukses. Ini soal bagaimana kita menikmati hidup.

Apakah hidup sejatinya adalah perjalanan rohani?

Mensana in corporesano. Olah raga adalah olah fisik. Tapi dalam olah raga sejatinya ada olah rohani disana. Ketika mental saling berdiskusi dengan pikiran dan ingatan-ingatan. Lalu merencanakan tujuan. Masih dalam proses kaki berlari atau mengayuh.

Rohani konon katanya akan dibawa hingga mati. Artinya adalah rohani dan budi bagian dari yang akan abadi. Ia tidak kita tinggalkan di dunia. Keluhuran budi dan kemuliaan rohani mungkin tingkatannya jauh lebih tinggi dari sekadal mental hasil revolusi.

Masalahnya dokter rohani selama ini, bagi sebagian manusia hanya menjadi otoritas agama. Rohanimu sehat jika sering mengaji. Rohanimu sehat jika sholat lima waktu. Rohanimu baik-baik saja bahkan jauh lebih baik setelah pulang haji. Rohanimu terawat rapi jika tak pernah absen sekolah minggu.

Bagi sebagian lain percaya bahwa rohani kita sehat jika misalnya ada anak kecil berdiri di dalam bus, kita berikan jatah duduk kita, atau jika kita naik taksi dengan pelayanan prima lalu kita berikan ongkos lebih dari angka yang tertera.

Ini bukan soal ukuran ibadah agama. Ini adalah soal menjadi manusia yang hidup bersama.

Rohani menjadi kuat dengan cara lain.

Jika kita melihat orang rajin dengan penuh khidmat mengerjakan pekerjaannya dengan ulet dan telaten, penuh dedikasi dan bersungguh-sungguh,  kita melihat ada suatu hal yang relijius. Indah memandangnya. Manusia yang sedang bekerja adalah manusia yang sedang memuliakan dirinya. Bukankah asasi pertama kali dari makhluk adalah bertahan hidup. Berusaha agar dirinya tidak lekas mati. Manusia yang sedang memanusiakan dirinya adalah sesuatu yang begitu relijius.

Apa yang lebih relijius dari seseorang yang mencintai atas apa yang sedang dilakukannya?

Dalam etika protestan, kerja keras adalah baik. Bersikap berlebihan adalah buruk dan patut dihindari. Etika semcam ini berlaku dalam aliran kepercayaan apapun. Ada kebajikan dalam hidup secukupnya. Memiliki suatu berlebih menjadi tidak najis jika kelebihan itu bukan dinikmati untuk diri sendiri. Berbagi. Karena memberi sungguh memberi arti bagi penerima dan bagi diri sendiri menyelematkan rohani. Menjaga kesadaran bahwa kebajikan membuat kita bahagia. Berbuat baik adalah kebutuhan kita.

Lantas apakah saat menderita dianggap sebagai kegagalan? Penderitaan muncul setiap saat. Bisa jadi karena tak sesuai ekspektasi. Duka. Muncul juga karena kita tak mengharapkannya. Padahal duka muncul karena kita terlahir sebagai manusia. Tak lengkap menjadi manusia jika tak pernah merasakan sedih dan derita. Ada terselip rasa bahagia saat kita bersedih. Susah dibayangkan memang. Tapi itu faktanya.

Setapak demi setapak kita berupaya menjadi dewasa. Bahwa sejatinya hidup bukanlah kompetisi dengan piala di akhir acara. Hidup adalah menjalani hidup. Kalau bisa dengan arif dan bijaksana. Tak ada lomba disini. Ini adalah pasar malam. Semua orang boleh menikmati berbagai lapak dan wahana permainan.  Terserah sesuai pilihan.  Kita bebas memilih jalan mana yang akan kita pilih. Kita bebas memilih untuk bahkan tidak memilih apapun dan sekadar hilir mudik kesana-kemari.

Hidup adalah menikmatinya.

Karena hidup perlu teori, namun pada akhirnya praktek yang berbicara. Memperoleh kearifan tidak hanya urusan banyak membaca buku dan mendengar khotbah. Ngelmu iku kalakone nganti laku. Dalam hidup sehari-hari. Berjejalan dan berdesak-desakan dalam antrian. Saat letih dan perasaan bosan. Tertekan akan beban pekerjaan. Saat patah hati dan terus mengharapkan. Dan saat kita berdialog dengan diri sendiri. Sepanjang waktu. Tanpa jeda. Saat akan mengambil keputusan dan menjalankannya.

Agak sulit memang jika melihat orang lain sepertinya hidup dengan mudah. Menikmati dan menjalani hidup tanpa susah payah. Tapi apa yang kita rasakan tak sama persis dengan yang menjalaninya. Kita percaya akan hal itu. Yang terlihat tak sama dengan yang dirasa. Kita nikmati apa yang ada. Kita perbaiki yang masih kurang, dan teruskan  kebiasaan yang sudah baik. Disinilah perlunya kita dewasa dalam mengendalikan emosi.

Tapi apa boleh bikin , setiap hal menjadi lebih bermakna jika ada emosi terlibat di dalamnya. Saat melihat anak kecil tertidur pulas saja bisa menjadi satu kejadian penuh emosi.  Melihat lelaki tua memanggul beban berlebih namun raut wajahnya sungguh-sungguh adalah pancingan emosi yang hebat.

Membangun emosi itu sulit, bahkan sekadar mempertahankannya.

Emosi tersulit adalah saat kita mulai mencintai.  

IMG_8153


Sejak kapan kita harus menjadi lebih baik?

Sejak kapan kita harus mendengar cibiran orang lain?

Sejak kapan kita harus menjawab pertanyaan sejak kapan?

Yang jelas, sejak saat ini, saya akhiri tulisan.

Ada baiknya kita pejamkan mata saja, dan merebahkan hidup beserta harapan, mengingat sepi dan meneruskan semangat.

Setapak demi setapak..

salam hangat,

roy

*)

credit:

Lagu: Shape of My Heart – STING. Gambar: Pascal Campion.

3 respons untuk ‘Setapak Demi Setapak

  1. terima kasih om roy untuk tulisannya (lagunya juga). salam hangat sehangat pisang goreng yang terletak di atas meja. ^^

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s