Beruntunglah setiap manusia yang masih boleh memilih jalan hidupnya sendiri. Menikah atau lajang. Menjadi karyawan atau pengusaha. Memiliki anak atau tidak. Ke kantor naik kendaraan umum atau pribadi. Hidup sehat atau hidup enak. Mempercayai agama atau tidak. Dan semua pilihan lain yang buat sebagian manusia bukan lagi pilihan tapi paksaan atau keharusan.
Jangan keburu senang saat punya pilihan, karena menentukan pilihan pun bukan perkara mudah. Apalagi seenak perut. Kecuali hidup sendiri di dunia ini. Tak peduli dengan sekitar apalagi omongan orang. Pilihanku adalah pilihanku, pilihanmu adalah pilihanmu. Asal bisa dan berani bertanggung jawab dengan pilihannya sendiri. Tidak merepotkan dan menyusahkan orang lain.
Lebih sering, pilihan yang mengutamakan dan mementingkan diri sendiri, bisa memberikan kelegaan. Plong! Selain membawa ke sebuah jalan sepi. Jalan di mana banyak pohon rindang dan dipenuhi kicauan burung. Bunga dan buah tumbuh dengan indah di sepanjang jalan. Semua tinggal petik. Tinggal dinikmati. Tak ada yang menghalangi. Apalagi meyangkal dan memarahi.
Jalan sepi tak ada orang lain. Berjalan sendiri. Bebas menentukan kapan mau duduk sebentar untuk beristirahat, sebelum melanjutkan lagi. Sekehendak hati berlari atau merangkak. Saking sepinya tak ada lagi yang melihat. Tak ada yang mempedulikan. Seperti niatan awal ketika masuk ke jalan ini, tak perlu mempedulikan orang lain. Bahkan di banyak ruas jalan, hanya nafas sendiri yang terdengar. Suara detak jantung sendiri yang bisa menenangkan dan theurapeutic. Seperti seorang bayi yang sedang ditepok-tepok pantatnya secara ritmis sampai tenang tertidur pulas.
Bernyanyi kencang setengah berteriak pun tak ada yang mendengar. Apalagi protes.
Semuanya indah dan sesuai kata hati sampai jalan sepi itu berubah menjadi jalan sunyi. Jalannya masih sama. Tapi yang jalan yang berubah. “Listen to yourself”, “listen to your heart”, ” do whatever makes you happy”, “peduli apa kata orang”, “peduli setan apa kata orang!” dan segala petuah yang menekankan pentingnya kembali ke diri sendiri, ternyata lebih sering membuahkan rasa sunyi.
Dalam kesunyian bisa ditemukan keindahan. Keindahan yang berteman akrab dengan Ketakutan. Perlahan ketenangan tak lagi menenangkan tapi menghanyutkan. Membawa ke tempat tertinggi setinggi tingginya di langit tertinggi. Sampai tak berani melihat ke bawah lagi. Karena jatuh paling menyakitkan dan mematikan adalah jatuh dari tempat tertinggi.
Setelah berjalan sekian jauh di jalan sepi, bukan hanya rasa sunyi dan ketakutan yang bisa mendera, tapi juga hilangnya keutuhan manusia. Bukankah manusia dilahirkan untuk menjadi makhluk sosial. Yang untuk menjaga kelangsungan hidupnya, membutuhkan orang lain. Mandiri sering diartikan sebagai sendiri. Sendiri sering ditafsirkan sebagai prestasi.
Manusia diciptakan untuk bertahan, di situasi apa pun. Beradaptasi untuk kemudian melanjutkan hidupnya. Mencari keramaian di tengah kesunyian. Menemukan keriuhan di dalam kesepian. Mendengarkan suara di gema yang hening. Merayakan cinta di dalam diri sendiri.
Indah? Silakan teruskan perjalanan di jalan ini. Perlahan mata tak lagi bisa melihat walau terbuka. Karena mata perlu pancingan yang terus menerus untuk melihat. Sebelum menjadi tato yang tak lagi terlihat di tubuh pemiliknya setelah bertahun bertengger di tubuhnya. Karena telinga perlu mendengarkan beragam suara untuk bisa melatih pendengaran. Dan mulut perlu dilatih untuk berbicara sebelum menjadi gagap untuk akhirnya menjadi kelu dan bisu.