Apakah di antara kita ada yang ingin bercita-cita meraih nobel? Ekonomi misalnya. Maka rajin-rajin lah menulis sesuatu yang tak dibaca siapapun, dengan teori yang tak digunakan siapa pun, dan beri kuliah yang tak dimengerti siapa pun. Olok-olok ini disampaikan Nassim Nicholas Taleb saat hadir dalam suatu panel di Moskwa dengan salah satu pembicara Edmund Phelps, peraih Nobel Ekonomi tahun 2006.
Nassim adalah praktisi bisnis. Pernah menjadi pialang saham dan setelah bukunya terbit ia diangkat sebagai Profesor Kehormatan di New York University’s Polytechnic Institute. Sekarang menyebut dirinya sebagai flaneur – menurut Charles Baudelaire, istilah ini direkatkan pada orang yang kerjaannya berjalan berkeliling kota untuk mengalami peristiwa, bermeditasi di kafe-kafe yang tersebar di muka bumi.
Banyak orang yang mengenal Nassim sebagai penulis Fooled by Randomness dan The Black Swan. Tapi jarang orang mengenal beberapa hasil tulisan dirinya yang lain, yang lebih random, lebih dark. Salah satu judul bukunya yaitu Ranjang Prokrustes. Dalam edisi aslinya diberi judul The Bed of Procrustes: Philosophical and Practical Aphorism.
Buku ini bukan berupa narasi. Seluruhnya melulu tentang peribahasa.
Buku ini adalah buku dimana dirinya mengaku kalah bahwa manusia memang memiliki batas pengetahuan, juga kesalahan dan bias manakala menangani hal-hal yang berada di luar bidang pengamatan, yang tak diamati, dan yang tak bisa diamati- yang tak diketahui; yang terletak di balik tabir tak tembus pandang; yang terserak berkilau bagai cahaya di atas cahaya.
Mengapa demikian?
Menurutnya, karena akal budi itu sejatinya malas. Lebih menyukai dan memilih mereduksi informasi sehingga setiap realitas yang ditemui akan diamputasi sesuai kategori yang jelas dan telah dipahami oleh pikiran sendiri. Kita jarang menunda kategorisasi dan merasakan terlebih dahulu atas apapun yang terjadi. Otak kita cenderung memaksakan narasi yang keliru dan terlalu sederhana ketimbang membiarkan tanpa narasi. Kita sejatinya memiliki “kebencian pada yang abstrak”. Karena akal kita tak piawai menangani yang tak terjelaskan.
Maka akal sangat berpotensi menjadi alat delusi diri yang hebat. Akal kita memang tak dirancang untuk menghadapi kerumitan dan ketidakpastian linier.
Hal ini sejalan dengan pendapat (justru) peraih nobel yang lain. Namanya Daniel Kahneman, seorang psikolog yahudi yang meraih nobel ekonomi tahun 2002 dengan konsentrasi utamanya adalah perilaku dan cara kerja otak manusia dalam memutuskan sesuatu. Dia adalah penggagas utama bidang kajian Ekonomi perilaku. Bahagia dan rasa puas itu berbeda. Otak yang menyimpan perasaan saat mengalami dan otak yang menyimpan ingatan tentang perasaan saat mengalami itu berbeda. Jebakan nalar yang tak menyukai kerumitan, katanya.
Kembali kepada pendapat Nassim dalam bukunya. Ada ketidakcocokan antara keacakan dunia kita sekarang yang kaya informasi, dengan interaksi rumit dan intuisi kita atas peristiwa, yang berasal dari cara hidup lebih sederhana yang dihuni leluhur kita. Warisan arsitektur mental yang makin lama makin tidak cocok dengan dunia tempat kita hidup.
Akibatnya terjadilah tipu menipu ini. Memaksakan seluruh fenomena dalam kategorisasi sesuai peta yang mereka pahami. Oleh Nassim ini disebut arogansi epistemik. Dilakukan oleh orang bodoh zaman digital, yaitu mereka yang terdidik, akademisi, jurnalis, pembaca koran, sainstis mekanistis. Mereka disebut bodoh karena kemampuan mereka yang luar biasa untuk meremehkan apa yang tak mereka lihat, yang tak bisa diamati. lalu mereka memasuki alam dan kondisi penyangkalan. Orang yang melakukan reduksi secara keliru, yang menghilangkan sesuatu yang sejatinya penting.
Bagaikan menerima tamu seorang musafir. Kita persilakan tidur di ranjang, namun dengan syarat prinsip ranjang kita harus pas. Maka ketika musafir itu, dengan panjang tubuh yang melebihi panjang ranjang tidur terlentang, kakinya menjulur. Celakanya, kita memaksakan diri demi prinsip, mengamputasi kelebihan itu. Terkadang kaki, namun lebih sering kepala yang diamputasi.
Dampak dari zaman pencerahan adalah kecenderungan kita menyalahkan dunia karena tak cocok dengan dengan ranjang rasional kita. Keinginan kita agar segala hal masuk akal bagi kita (rasionalisme) selalu bersitegang dengan kenyataan apa adanya (empirisme). Kita mengubah diri agar cocok dengan teknologi, mengubah etika demi kecocokan kita dengan pekerjaan, ingin sekali kehidupan pribadi cocok dengan teori ekonomi dan hitung-hitungan matematis, dan meminta kehidupan kita cocok dengan narasi.
Maka yang dibutuhkan saat ini adalah sikap tegar.
Tetap hadir dan merasakan sesuatu yang tak kita ketahui. Jika tidak, berarti kita rapuh. Nassim berupaya menghargai alam yang menghadirkan ketegaran dan dalam miliaran tahun membuat yang rapuh tersisih. Orang klasik lebih tegar, katanya. Mereka menghormati yang tak diketahui. Mereka memiliki kerendah-hatian epistemik. Orang modern lebih banyak mengalami autisme pseudosains naif.
Lalu apa sebaiknya yang perlu dilakukan? Nassim menganjurkan agar kita memiliki sikap tiga serangkai: Keterpelajaran, Keanggunan, dan Keberanian untuk melawan kepalsuan, sikap sok pintar, dan sikap anti- seni budaya.
Mengapa?
Seni itu tegar. Seni membuat hidup layak dijalani: seni, puisi dan peribahasa.
Maka Nassim begitu mengagumi peribahasa. Singkat, padat namun penuh makna. Ini sejalan dengan heuristis Gigerenzer dan Goldstein: ” Lebih sedikit itu banyak”.
Baginya peribahasa adalah utama. Seperti dalam Amsal dan pengkhotbah. Juga seperti Quran yang mengandung penuh peribahasa yang terkonsentrasi. Sebagai nubuat sastra bagi Nietzsche dalam Zarathustra atau anak Lebanon Utara, tetangga desa asal Nassim, bernama Kahlil Gibran.
Selain agama, dahulu katanya, peribahasa muncul dimana-mana. Dalam Simposium, yaitu pesta minum kota Athena di abad keempat sebelum masehi. Dimana semuanya yang terpelajar berkumpul, minum-minum dan bicara “hanya” cinta. Tempat orang-orang keren berbicara soal hati dan perasaan. Mereka menikmati peribahasa peribahasa Herakelitos dan Hippokrates. Bahkan seorang budak Suriah bernama Publilius Syrus mendapat kebebasan berkat keahlian berbahasanya.
Peribahasa digunakan dalam banyak keperluan. Eksposisi, teks keagamaan, nasihat nenek pada cucu, untuk menyombong, sebagai satire, mengungkap filosofi yang tak tembus pandang, filosofi yang relatif lebih jernih, juga gagasan yang sangat jernih. Peribahasa, begitu privat. Sesuatu yang harus diselami sendiri oleh pembaca.
Peribahasa ada bermacam-macam. dari yang kering, dan ada yang kelewat sering dipakai yang isinya adalah kebenaran penting yang sudah pernah kita pikirkan (jenis yang membuat orang cerdas bergidik membaca The Prophet Gibran); peribahasa yang menyenangkan; yang tak tak pernah kita pikirkan tapi memancing ucap “Nah”, seolah-olah mendapat penemuan penting.
Namun peribahasa paling penting adalah yang belum pernh terpikir dan perlu dibaca berkali-kali untuk disadari bahwa isinya kebenaran penting, terutama ketika sifat kebenaran terpendamnya-nya sangat kuat sehingga begitu dibaca langsung terlupa.
Peribahasa menuntut kita mengubah kebiasaan membaca kita dengan cara pembacaan secara bertahap, karena setiap peribahasa adalah satuan utuh, narasi utuh yang terpisah dari yang lain.
Nassim dengan usil mendefinisikan arti Nerd: adalah orang yang meminta kita menjelaskan sebuah peribahasa.
Bagi Nassim, peribahasa adalah suara-suara dari balik tabir tak tembus pandang. Dengan membebaskan diri dari segala batas, pemikiran dan kegiatan yang melumpuhkan bernama pekerjaan, usaha, maka unsur yang tersembunyi dalam tekstur realitas mulai menatap kita, katanya. Dan misteri yang tak pernah terpikirkan oleh kita, muncul di depan mata.
Salam hangat,
Roy
Bonus:
Pidato Dahniel Kahneman dalam forum Ted selengkapnya dalam Bahasa Indonesia:
Semua orang berbicara tentang kebahagian akhir-akhir ini. Saya meminta seseorang menghitung jumlah buku yang judul bukunya mengandung kata “kebahagiaan” dan yang telah diterbitkan lima tahun terakhir. dan mereka menyerah setelah sekitar 40 (buku), padahal masih ada lebih banyak lagi. Ketertarikan terhadap kebahagiaan sangat besar,dikalangan para peneliti. Ada banyak pembimbingan kebahagiaan. Semua orang ingin membuat orang lain lebih bahagia. Tapi meskipun begitu banyak penelitian telah dilakukan,ada beberapa jebakan nalar yang membuat hampir mustahil untuk berpikir jernih tentang kebahagian
Dan pembicaraan saya hari ini sebagaian besar mengenai jebakan-jebakan nalar itu. Ini berlaku bagi orang kebanyakan yang berpikir tentang kebahagiaan mereka sendiri, dan juga berlaku bagi kaum terpelajar yang berpikir mengenai kebahagiaan, karena kenyataannya kita sama “parah”-nya dengan orang lain. Jebakan pertama adalah keengganan untuk mengakui kerumitan. Kenyataannya kata kebahagiaan itu tidak terlalu berarti lagi karena kita menggunakannya untuk terlalu banyak hal yang berbeda Saya pikir kita bisa batasi maknanya menjadi hanya satu arti tertentu tetapi secara umum ini akan menjadi suatu pengorbanan dan kita harus menerima pandangan yang lebih kompleks tentang arti kesejahteraan. Perangkap kedua adalah adanya kerancuan antara pengalaman dan ingatan:pada dasarnya ini adalah soal merasa bahagia dalam hidup anda dan merasa senang tentang hidup anda. atau merasa senang dengan hidup anda Dan kedua hal itu merupakan dua konsep yang sangat berbeda, dua hal itu adalah ganjalan dalam teori kebahagiaan. Dan yang ketiga adalah ilusi yang timbul karena pemusatan perhatian, dan kenyataan pahit bahwa kita tidak mampu memikirkan apapun yang berpengaruh pada kesejahteraan tanpa membiaskan apa yang penting. Jadi ini benar-benar sebuah perangkap nalar. Yang tidak bisa dihindari
Sekarang, saya akan mulai dengan sebuah contoh tentang seseorang yang melakukan tanya jawab setelah kuliah saya. [tidak jelas…] Dia bilang dia pernah mendengarkan sebuah simponi yang musiknya luar biasa indah tapi diakhir rekaman musik itu, ada cacat suara yang sangat jelek. Dan ia menambahkan dengan sangat emosional, hal itu merusak kesan keseluruhannya. Padahal tidak demikian. Apa yang rusak adalah ingatan tentang kesan itu. Ia tetap mengalami pengalaman itu. Ia menikmati musik yang luar biasa indah selama 20 menit. Yang hilang percuma karena sebuah ingatan; ingatan yang rusak, dan hanya ingatan rusak itulah yang ia simpan.
Apa yang ditunjukkan hal itu, sebenarnya, adalah mungkin kita memikirkankan diri kita dan orang lain dalam dua sisi yang berbeda. Kita mempunyai sisi yang mengalami, yang hidup di saat ini dan menyadari saat ini, yang mampu merasakan kembali masa yang telah berlalu padahal sisi itu hanya memiliki saat ini. Sisi yang mengalami ini yang membuat seorang dokter– biasalah, ketika dia bertanya, “Sakit tidak kalau saya sentuh disini?”Kemudian ada sisi yang mengingat, sisi yang mengingat ini yang hitung-hitungan, dan yang memelihara cerita hidup kita, yang membuat seorang dokter datang dan bertanya, “Apa yang kamu rasakan akhir-akhir ini?” atau “Bagaimana perjalanan anda ke Albania?” atau hal lain semacam itu Keduanya adalah hal yang sangat berbeda, Sisi yang mengalami dan sisi yang mengingat Ketidakmampuan membedakan keduanya adalah bagian dari kerancuan dalam teori kebahagiaan.
Sisi yang mengingat ini, adalah pendongeng. Dan sebenarnya berawal dari respon dasar ingatan kita– yang mulai dengan seketika. Kita tidak hanya bercerita ketika kita ingin bercerita. Ingatan kita senantiasa bercerita, apa yang kita simpan dari semua pengalaman kita adalah sebuah cerita. Dan ijinkan saya mulai dengan sebuah contoh. Ini adalah sebuah penelitian lama. Tentang pasien-pasien yang menjalani prosedur yang menyakitkan (pemeriksaan via dubur). Saya tidak akan perjelas. Sekarang prosedurnya sudah tidak begitu menyakitkan. namun masih menyakitkan ketika penelitian itu dilaksanakan pada tahun 1990-an. Pasien-pasien diminta melaporkan sakit yang mereka rasakan setiap 60 detik. Pada dua orang pasien. Itu adalah rekam jejak mereka. Kalau ada yang bertanya, “Siapa yang lebih merasakan sakit?” dan itu adalah sebuah pertanyaan sederhana.Sebenarnya, Pasien B lebih merasakan sakit. Proses kolonoskopi nya lebih panjang, dan dari setiap menit rasa sakit yang dirasakan oleh Pasien A Pasien B lebih lama merasakannya.
Tapi, bila ada pertanyaan lain: “Penderitaan sebesar apa yang pasien-pasien ini pikir mereka rasakan ?” Inilah kejutannya: Ternyata Pasien A memiliki ingatan lebih buruk tentang proses kolonoskopi dibanding Pasien B. Ada perbedaan cerita tentang proses kolonoskopi dan karena bagian paling kritis adalah bagaimana ceritanya berakhir — dan memang kedua ceritanya sendiri biasa-biasa saja — namun salah satu dari cerita ini meninggalkan bekas… (tertawa) salah satu dari cerita ini meninggalkan bekas lebih dalam dibanding yang lain. Dan cerita yang lebih berbekas adalah ketika rasa sakit terasa pada puncaknya di penghujung proses. Dia menjadi cerita yang buruk. Bagaimana kami mengetahuinya? Karena kami bertanya pada pasien-pasien itu sehabis proses kolonoskopi,dan bertanya lagi jauh setelah prosesnya selesai, “Seburuk apakah keseluruhan proses?”dan apa yang dalam ingatan A jauh lebih buruk daripada yang di ingatan B.
Disini ada konflik tajam. antara sisi yang mengalami dan sisi yang mengingat. Dari sudut pandang sisi yang mengalami, tentunya, B yang lebih menderita. Sekarang, apa yang bisa dilakukan terhadap pasien A, dan kami sungguh-sungguh melakukan eksperimen klinis,yang sudah pernah dilakukan dan terbukti berhasil, kita sebenarnya bisa memperpanjang proses kolonoskopi pasien A dengan membiarkan selangnya tetap didalam tanpa terlalu banyak menggoyangnya. yang akan tetap menyebabkan pasiennya menderita, namun hanya sedikit dan sakitnya jauh lebih berkurang dari sebelumnya. Dan apabila hal ini dilakukan selama beberapa menit, kalian telah membuat sisi yang mengalami dari Pasien A merasa lebih parah, Dan membuat sisi yang mengingat dari Pasien A merasa lebih baik,karena sekarang kita telah memberikan Pasien A cerita yang lebih baik tentang pengalamannya. Apa hakekat sebuah cerita? Dan ini berlaku untuk semua cerita yang diceritakan oleh ingatan pada kita, dan juga berlaku untuk semua cerita yang kita karang.Hakekat sebuah cerita adalah perubahan. perubahan besar antara momen dan akhir cerita.Akhir cerita adalah sangat penting dan dalam hal ini, akhir cerita menjadi penentu.
Sedangkan, sisi yang mengalami hidup terus menerus tanpa akhir. Ia memiliki momen-momen pengalaman sambung menyambung Lalu, Apa yang terjadi dengan momen-momen itu? Jawabannya cukup jelas. Mereka hilang untuk selamanya. Maksud saya, hampir semua momen hidup kita — dan saya hitung — dimana keberadaan kejiwaan adalah sepanjang kira-kira 3 detik. Yang artinya adalah, kalian tahu, dalam satu kehidupan terdapat sekitar 600 juta (keberadaan psikologis) Dalam sebulan terdapat 600.000. Hampir semua tidak meninggalkan jejak. Hampir semua terabaikan. oleh sisi yang mengingat.Namun, meski begitu, kita tetap merasa bahwa mereka adalah penting, dan yang terjadi pada saat mengalami momen-momen tersebut adalah hidup kita. Terhadap sumberdaya terbatas yang kita habiskan ketika kita masih dibumi ini. Cara menghabiskannya tampak menjadi seusatu yang relevan, namun cerita itu bukan cerita yang disimpan oleh sisi yang mengingat.
Jadi kita memiliki sisi yang mengingat dan sisi yang mengalami. dan keduanya sangat berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan terbesar antara mereka adalah dalam memaknai waktu. Dari sudut pandang sisi yang mengalami, ketika berlibur, dan minggu kedua sama bagusnya dengan minggu pertama, maka pengalaman liburan selama dua minggu dua kali lebih baik dari pada liburan satu minggu. Itu tidak berlaku bagi sisi yang mengingat. Bagi sisi yang mengingat, liburan selama dua minggu tidak jauh berbeda dengan liburan selama satu minggu karena tidak ada penambahan ingatan baru. ceritanya belum berubah. Dalam hal ini, waktu merupakan variabel yang kritis yang membedakan sis yang mengingat dari sisi yang mengalami Waktu hanya sedikit berpengaruh pada cerita ini.
tapi sisi yang mengingat melakukan lebih dari sekedar mengingat dan bercerita. Sisi yang mengingatlah yang sebenarnya membuat keputusan karena, bila kalian memiliki seorang pasien yang pernah… mengalami dua proses kolonoskopi dengan dua dokter yang berbedadan sedang memutuskan untuk memilih (dokter) yang mana, yang memilih adalah sisi yang mempunya ingatan yang lebih menyenangkan dan dengan cara itulah dokter tersebut terpilih. Sisi yang mengalami tidak memiliki suara dalam hal ini. Kita sebenarnya tidak memilih berdasarkan pengalaman-pengalaman. Kita memilih berdasarkan ingatan dari pengalaman-pengalaman. Bahkan ketika kita berpikir tentang masa depan, kita biasanya tidak menganggap masa depan kita sebagai pengalaman. Kita menganggap masa depan kita sebagai ingatan yang kita harapkan. Dan pada dasarnya memang tampaknya, kita dijajah oleh sisi yang mengingat, dan kalian bisa berpikir bahwa sisi yang mengingat seperti menyeret sisi yang mengalami kedalam pengalaman-pengalaman yang tidak dibutuhkan sisi yang mengalami.
Saya merasa begitu ketika kita pergi berlibur dan ini yang biasanya sering terjadi, alasan kita berlibur sebagian besar karena demi memuaskan sisi yang mengingat itu. Dan ini memang agak kurang masuk akal menurut saya Maksud saya, seberapa banyak sebenarnya ingatan yang kita pakai ? Ini salah satu penjelasan tentang besarnya dominasisisi yang mengingat ini Dan ketika saya memikirkan ini, saya teringat pada liburan kami di Antartika beberapa tahun lalu, yang merupakan liburan terbaik yang pernah saya alami, dan secara relatif saya lebih sering memikirkan liburan itu dibanding liburan-liburan yang lainSaya mungkin hanya menggunakan ingatan saya tentang liburan selama tiga minggu itu, mungkin, sebanyak kurang lebih 25 menit dalam 4 tahun terakhir. Jika saya membuka folder yang berisi 600 foto, saya mungkin akan menghabiskan 1 jam waktu tambahan. Nah, liburannya tiga minggu, tapi ingatannya paling lama satu setengah jam. Kelihatannya ada suatu keanehan. Mungkin ini terdengar sedikit berlebihan, mengenai begitu mnimnya keinginan saya untuk mengkonsumsi ingatan, namun, meskipun saya melakukan lebih banyak lagi, akan tetap muncul sebuah pertanyaan. Mengapa kita sangat menekankan ingatan dibandingkan pengalaman?
Jadi mari kita lakukan sebuah percobaan terhadap pikiran kita Bayangkan jika liburan kalian selanjutnya anda tahu pada akhir liburan semua foto-foto kalian akan rusak, dan kalian akan meminum obat penghapus ingatan sehingga kalian tidak mengingat apa-apa. Nah, apakah kalian akan memilih liburan yang sama? (Tertawa) Meski anda memilih liburan lain, akan tetap terjadi konflik antara kedua sisi itu. dan kalian butuh memikirkan jalan keluar dari konflik itu, dan sebenarnya tidak semua mudah dimengerti karena, jika kalian berpikir berdasarkan waktu, maka kalian akan mendapat satu jawaban. Dan bila kalian berpikir berdasarkan ingatan, kalian juga bisa mendapatkan jawaban yang lain. Kenapa kita memilih liburan yang kita lakukan, hal ini adalah sebuah masalah yang kita hadapi sebuah pilihan diantara kedua diri kita
Saat ini, kedua diri kita memunculkan dua teori kebahagiaan. Tetapi terhadap diri kita, kedua konsep kebahagiaan itu hanya bisa diterapkan salah satu dari konsep itu. Jadi anda bisa tanya tentang: Seberapa bahagia sisi yang mengalami itu ? Dan anda bisa tanya tentang: Seberapa bahagia momen-momen dalam hidup sang sisi yang mengalami ? Dan semua itu — kebahagian dalam tiap momen adalah sebuah proses yang rumit. Emosi-emosi apa saja yang bisa diukur? Dan, ngomong-ngomong, sekarang setelah kita punyapemahaman yang lumayan bagus tentang kebahagiaan dari sisi yang mengalami sejalan dengan waktu. Bila kalian bertanya tentang kebahagiaan dalam sisi yang mengingat akan menjadi suatu hal yang sangat berbeda. Ini bukan mengenai seberapa bahagia kehidupan seseorang ini adalah mengenai seberapa puas seseorang ketika ia memikirkan tentang hidupnya. Hal yang sangat berbeda. Siapa saja yang tidak dapat membedakan hal itu, akan mengacaukan penelitian tentang kebahagiaan, dan saya adalah bagian dari peneliti kesejahteraan yang sudah lama ikut mengacaukan pelajaran mengenai kebahagiaan karena hal itu.
Keberadaan dari kebahagiaan sisi yang mengalami dan kepuasan sisi yang mengingat telah diakui secara luas dalam beberapa tahun terakhir, dan saat ini ada upaya-upaya untuk mengukur keduanya secara terpisah, Gallup Organization mengadakan sebuah pollingdimana setengah juta orang telah diwawancara tentang apa opini mereka tentang hidup mereka sendiri dan tentang pengalaman mereka. Dan telah ada upaya-upaya lain di jalur yang sama Jadi beberapa tahun terakhir ini kita telah mulai mempelajari tentang kebahagiaan dalam dua diri kita. Dan pelajaran utama yang kita dapat menurut saya,adalah keduanya sangat berbeda. Kalian dapat mengetahui seberapa puas seseorang terhadap hidup mereka. tapi itu tidak memberikan pencerahan apa-apa tentang seberapa bahagia mereka dalam menjalani hidupnya, dan sebaliknya. Hanya untuk memberikan kalian sedikit korelasi, korelasi ini mengenai 5 Apa artinya bila kalian bertemu seseorang,dan anda diberitahu, oh ayahnya setinggi 6 kaki, Tapi apa yang kalian tahu tentang tingginya? Kalian mungkin mengetahui sesuatu tentang tinggi orang itu, namun ada banyak ketidakpastian. Sama tidak pastinya ketika saya memberitahu kalian bahwa ada orang yang memberi nilai 8 tentang hidupnya dalam skala 1 sampai 10, Ada banyak sekali ketidakpastian mengenai seberapa bahagia sisi yang mengalami dalam diri mereka Jadi korelasinya rendah.
Kita tahu tentang sesuatu yang mengontrol kepuasan dalam kebahagiaan diri. Kita tahu bahwa uang itu sangat penting, tujuan adalah sangat penting. Kita tahu bahwa kebahagiaan pada dasarnya adalah merasa puas dengan orang-orang yang kita sukai, menghabiskan waktu dengan orang-orang yang kita sukai. Ada banyak kesenangan-kesenangan lain, namun hal ini mendominasi. Jadi, bila kalian ingin memaksimalkan kebahagiaan dalam dua diri, kalian akan berakhir melakukan dua hal yang sangat berbeda. Pada dasarnya yang saya katakan disini adalah kita seharusnya tidak usah memikirkan kebahagiaan sebagai sebuah pengganti kesejahteraan Itu adalah dua hal yang berbeda.
Sekarang, singkatnya, alasan lain kita tidak dapat berpikir jernih mengenai kebahagiaankarena kita tidak memperhatikan hal yang sama ketika kita berpikir tentang kehidupan, dan ketika kita menjalani hidup. Jadi, kalau kalian menanyakan pertanyaan sederhana tentang seberapa bahagia orang-orang di California, kalian tidak akan mendapat jawaban yang tepat. Ketika kalian menanyakan hal itu, kalian berpikir orang-orang pasti lebih bahagia di California, dibandngkan, sebut saja, orang yang hidup di Ohio. (Tertawa) Dan yang terjadi adalah ketika kalian berpikir tetang hidup di California, kalian memikirkan kesenjangan yang ada antara California dan tempat-tempat lain, dan kesenjangan itu, sebut saja, ada dalam iklim. Namun, ternyata iklim tidak begitu penting bagi sisi yang mengalami dan bahkan tidak seberapa penting bagi cerminan diri yang memutuskan seberapa bahagia seseorang itu. Sekarang, karena cerminan diri itu lebih berkuasa, kalian mungkin akan memutuskan — beberapa orang mungkin akan memutuskan pindah ke California. Dan menarik untuk diikuti apa yang kemudian terjadi pada orang-orang yang pindah ke California dengan harapan lebih bahagia. Sisi yang mengalami dari diri mereka tidak akan menjadi lebih bahagia. Kita tahu itu. Namun satu hal akan terjadi. Mereka pikir mereka lebih bahagia, karena, ketika memikirkan kebahagiaan mereka teringat pada seberapa buruk iklim di Ohio. Dan mereka akan merasa kalau mereka membuat keputusan tepat.
Akan sangat sulit untuk berpikir jernih tentang kesejahteraan, dan saya harap saya telah memberikan kepada kalian gambaran kesulitan itu.
Terima kasih.
why do you stay in prison,
when the door is so wide open?
-rumi-
SukaDisukai oleh 1 orang
ah, flaneur.
ah bahagia saat (mengalami) membaca, dan ingat hal menyenangkan dari apa yang telah dibaca.
SukaDisukai oleh 1 orang
dan bahagia ada yang sempatkan diri baca 🙂
SukaSuka
aku penyuka pribahasaaa
SukaSuka
tos*
SukaSuka
tos
SukaSuka
sepicles sayah.
“thinking fast and slow” adalah buku yang ada dalam daftar untuk dibaca tahun ini.
SukaSuka
*terlalu tebal. lebih baik baca komik :p
SukaSuka