“Pesawatku mendarat jam 17.55” kata Fatima di telepon untuk Maria di seberang pulau. Mereka sudah terpisah sejak Sekolah Dasar di sebuah desa di Jawa Tengah. Tak hanya satu sekolah mereka pun bertetangga. Hampir tidak ada sore dilalui tanpa bermain bersama. Walau masing-masing memiliki hobi yang berbeda. Maria lebih suka main masak-masakan dan penganten-pengantenan, sementara Fatima lebih suka panjat pohon dan main gundu.
Perbedaan ini rupanya malah semakin mengeratkan persahabatan mereka. Dunia adalah keluasan tanpa tepi bagi kedua bocah ini. Tak ada sudut desa yang belum pernah kena jejak kaki kecil mereka. Senja di desa itu sepi seperti kuburan kalau Maria dan Fatima berlibur keluar desa. Atau saat ujian kenaikan kelas tiba. Membuat banyak penduduk desa merasa kehilangan. Sampai-sampai orang tua mereka masing-masing diinterogasi tetangga tentang keberadaan dua anak itu kalau senyap beberapa hari. “Ke mana anak-anak? Sepi bener udah lama?”
Seperti Metro Mini, hanya Tuhan yang bisa menebak jalan hidup. Selepas SD, Maria dan Fatima berpisah. Maria ke Kupang seiring penugasan ayahnya yang berpofesi sebagai tukang kayu. Sementara Fatima pindah ke Jakarta melanjutkan sekolah bersama Budenya yang kaya raya. Pada saat itu belum ada email apalagi Twitter. Hubungan mereka berdua yang awalnya direkatkan oleh surat menyurat perlahan menjadi jarang sebelum akhirnya lenyap.
“Aku jemput… aku yang jemput kau, Fatima” kata Maria seolah tak percaya apa yang didengarnya. “Kau sendiri ke sini?”
“Aku sama anakku, semata wayang… Rahman. Sudah kelas 2 SD dia” jawab Fatima sembil disergap rindu.
“Batalkan hotelmu, kau dan anakmu tinggal sama aku. Mau ya? Mau? Aku bawa kau dan anakmu keliling kota. Kita jalan-jalan, makan-makan, senang-senang…Mau ya?” Maria berharap.
“Mau? Mau ya katamu? HARUS DONG!” Jawab Fatima sambil tertawa.
Besok adalah hari besar bagi kedua sahabat ini. Setelah berpisah lebih dari 15 tahun berpisah. Waktu yang cukup lama untuk membuat manusia berubah. Satu ucapan saja dari sahabat, berpotensi mengembalikan bukan hanya kenangan tapi juga perasaan yang pernah ada. Hangat dan tenteram. Perasaan yang memberikan kepercayaan diri untuk menghadapi segala macam cobaan yang akan menghadang di kemudian hari.
Maria duduk sendirian di kursi panjang depan Bandar Udara El Tari di Kupang. Duduk dengan rapih menantikan teman lamanya. Wajahnya sesekali tampak menerawang mengenang dan penasaran seperti apa teman lamanya ini. Dalam hatinya berpikir kalimat pertama apa yang akan diucapkan nanti. “Apa kabar?” sepertinya terlalu basi. Apa kira-kira yang akan Fatima ucapkan ketika pertama kali menemui dirinya? Akankah persahabatan mereka masih seperti dulu? Ah, mungkin meminta maaf karena tidak bisa menghadiri pernikahan Fatima menjadi pilihan yang terbaik.
Pintu kedatangan terbuka. Beberapa orang keluar terlebih dahulu. Terutama yang hanya menjinjing tas ransel. Maria celingukan berusaha mencari teman perempuannya bersama anaknya. Matanya terus tertuju pada pintu yang terbuka itu. Perlahan kepanikan mulai tampak di wajah Maria seiring semakin sedikitnya penumpang yang keluar dari pintu itu. Lima, sepuluh menit perlahan pintu kedatangan mulai tak terbuka lagi. Maria mengeluarkan ponsel dari tasnya.
“Fatima… di mana kau? Aku di depan pintu kedatangan…”
“Kamu di mana Maria? Aku di dekat gerbang. Aku mencarimu tadi tapi tak kelihatan…”
“OK, kau diam di situ, aku yang mendatangi. Gerbang utama kan? Tunggu tunggu….”
Di benak kedua perempuan itu mempertanyakan bagaimana mungkin mereka tidak lagi saling mengenal teman lama mereka. Rasa penasaran menambah bumbu pertemuan ini.
“Fatima…” ujar Maria saat melihat seorang perempuan bersama anak laki-lakinya. Perempuan itu menoleh dan sebayang rasa terkejut menghampiri masing-masing. Namun belum lagi sempat berkata apa pun mereka berdua berpelukan. Semua rencana kata sambutan dari Maria buyar sudah. Sulit untuk berkata saat kerongkongan tercekat. Riak perlahan menjadi gelombang dahsyat. Membawa mereka ke masa lalu dan menyatu kembali untuk membawa cerita. Napas mereka berdua lambat laun menjadi seirama. Degup jantung mereka pun mereda senada. Sebelum akhirnya masing-masing rela melepas.
“Rahman, ini Tante Maria…” Rahman yang hendak menyalami Maria ditarik dan didekap dengan erat.
“Rahman tolong ya, fotoin Tante dan Ibumu…”
Rahman mengangguk dan mengambil kamera.
Sebelum berpose, Maria membetulkan jilbab Fatima yang mulai miring. Sementara Fatima membalas dengan merapihkan beberapa helai rambut Maria yang menyembul dari kerudung suster ordo Jesuit yang dikenakannya. Mereka berangkulan. Sore itu matahari pergi tersenyum.
8 tanggapan untuk “Maria dan Fatima”
Duh terimakasih sudah menulis ini kak, saya juga punya teman yang deket banget, seorang muslimah.
Tapi kami ini sehatinya kelewatan. Jadi mewek bacanya.
Maacih peluk
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih udah mampir. Udah lama banget ini
SukaSuka
Reblogged this on Serendipity.
SukaSuka
Nyeeeess! :’)
SukaSuka
Reblogged this on #tintakopi.
SukaSuka
Seingetku dulu bukannya ada foto dua orang ini ya, Glenn?
SukaSuka
ada, tapi itu bukan berdasarkan cerita ini. kebetulan ada adegan mirip. dan entah sudah ke mana fotonya.
SukaSuka
seketika terdiam, bagus ceritanya ko glenn, as always.
SukaSuka