Beberapa hari yang lalu sebuah bank lokal bernama BNI terbuka jalannya untuk membuka kantor cabang di Korea. Hal tersebut ditandai dengan kesepakatan antara Indonesia dan Korea dalam perjanjian bilateral kedua negara. Atas kesepakatan tersebut BNI diperkenankan untuk membuka usaha di sana dan sebagai balasannya Shinhan Bank, sebuah bank asal Korea boleh beroperasi di sini.
Di Kuala Lumpur Malaysia, Bank Muamalat Indonesia, salah satu bank syariah yang sejatinya sebagian besar modalnya dimiliki asing telah membuka cabang beberapa waktu lalu, hanya saja pengoperasiannya terbatas karena hingga saat ini negeri jiran melarang bank asal Indonesia turut bertransaksi dalam mata uang lokal (ringgit).
Bagaimana di negara lain? Sebelumnya Indonesia juga telah bekerjasama dengan China terkait kemungkinan bank asal China masuk ke Indonesia melalui pembukaan anak perusahaan (subsidiary) maupun akuisisi. Saat ini satu bank komersial asal China telah mengambil ancang-ancang untukmemasuki pasar Indonesia. Nama bank tersebut China Construction Bank. Sebagai perimbangannya, bank lokal kita yang bernama Bank Mandiri tengah memproses status menjadi full branch di Shanghai untuk bisa bertransaksi dengan menggunakan mata uang lokal.
Asing dan tak asing.
Selalu saja menarik untuk dibahas. Isu ini kembali mengemuka sejalan dengan situasi politik dalam negeri. Soal Sipadan Ligitan. Soal Ambalat. Soal Natuna dan soal-soal wilayah perbatasan lainnya. Bagaimana dengan isu asing dan tak asing dalam ranak ekonomi? Sama-sama sensitif.
Asing dan tak asing. Selalu tentang nasionalisme.
Masih relevankah?
Apalagi saat ini Komisi XI DPR dan pemerintah telah sepakat memasukkan soal pembaharuan dan penyempurnaan RUU Perbankan dalam Program Legislasi Nasional 2015. Apa sih Prolegnas itu? Silakan cari sendiri. Masuknya RUU Perbankan dalam program legislasi merupakan inisiatif DPR.
Sebagian suara berpendapat bahwa soal asing dan tak asing bukan suatu masalah. Akan lebih tepat jika menyikapi secara lebih fokus apa peranan bank asing maupun modal asing dalam membangun perekonomian bangsa.
Sudah ada yang menghitung seberapa besar bank asing memberikan pembiayaan bagi sektor produktif? Apakah bank asing berkenan membiayai proyek infrastruktur yang cenderung memerlukan modal besar dengan jangka waktu yang lama? Pernahkah pengusaha Indonesia memanfaatkan jaringan internasional bank asing untuk kemudahan pasar luar negeri dan kemudahan ekspor, semisal Citibank dan HSBC?
Asing dan tak asing.
Apa sih asing itu?
Bagaimana kalau kita sepakati saja bahwa bank asing adalah kantor cabang bank asing yang belum memiliki badan hukum yang terdaftar di Indonesia? Juga bank yang kepemilikan modal oleh orang asing maupun badan hukum asing lebih dari 50%? Jadi kalau saya bikin bank lokal lalu sahamnya sebagian besar dibeli asing maka dapat dikategorikan bank asing? ya!
Benarkah bank di Indonesia boleh dimiliki oleh asing hingga sebesar 99%?
WOW?
Mau tidak mau hal tersebut memang faktanya. Usai krisis ekonomi di akhir tahun 90-an, permodalan bank hanya dapat dipenuhi dengan masuknya modal asing. Begitu perlunya kita pada modal sehingga keran kepemilikan dapat dibuka hingga 99% saham dimiliki asing. Apakah kita sedemikian liberal? Ya. Liberal mentok. Namun ini adalah buah konsekuensi dari kesunyataan defisit modal.
Lantas apakah setelah sekian lama berjalannya waktu hal tersebut masih relevan?
Mari kita kaji lagi. Sebagian lain menawarkan konsep lain bernama resiprokal. Atau asas resiprositas. Kita harus memberlakukan dan meminta diberlakukan sama dengan perlkuan negara lai pada perusahaan kita. Apa bisa?
Padahal faktanya membuktikan: Kita jauh lebih perlu modal asing dibanding asing memerlukan modal kita. Bukan begitu? Seharusnya kita pun sadar pada fakta lain: Negara lain memerlukan potensi pasar kita yang begitu besar (dibaca konsumen) dibanding kita harus ekspansi ke luar negeri.
Namun wakil rakyat kita di parlemen, maupun pemangku kepentingan yang memiliki wewenang soal ini banyak yang terjebak dengan “asas resiprositas”. Mereka beranggapan bahwa dengan perlakuan yang sama dan diterima oleh bank milik dalam negeri yang beroperasi di negara lain dapat menyelesaikan masalah dan memberikan kesempatan kepada bank lokal berusaha di negara lain. Ini adalah jebakan logika berfikir tanpa menyadari fakta yang ada. Dalam pasal 48 UU OJK No. 21 Tahun 2011 menyatakan bahwa:
Semua bentuk kerja sama internasional, termasuk di bidang pengaturan, pengawasan, dan penyidikan, wajib didasarkan pada prinsip timbal balik yang seimbang.
Mengapa disebut jebakan?
Karena jika kita mau jujur dan berkaca dan sadar, maka sejatinya:
- Kita tidak dapat mengatur ketentuan negara lain kecuali diatur dalam MoU dan kesepakatan bilateral. Negara lain mau atur apa saja, terserah dia.
- Kondisi bank lokal di Indonesia tidak semua mau dan mampu melakukan ekspansi ke luar negeri, karena pada dasarnya pasar lokal dalam negeri lebih menjanjikan dibandingkan mengembangkan sayap ke luar.
- Asas resiprositas lebih banyak menguntungkan bank asing karena pasar indonesia jauh lebih diminati bank asing daripada bank lokal melakukan ekspansi. Bank lokal lebih memiliki hasrat menjadi tuan rumah di negara sendiri.
Ya sudah jika itu susah, bagaimana jika kita gunakan asas yang lain. Apa itu? Sebagian orang usulkan Asas national treatment yang artinya memberlakukan bank asing sama persis seperti memberlakukan bank lokal. Misalnya BRI bermain di kredit mikro, maka citibank boleh juga memberikan kredit semacam itu. Misalnya Bank Mandiri boleh buka cabang dan ATM dimana-mana, maka CIMB Niaga boleh buka juga di seluruh pelosok.
Apa iya? Sejujurnya, kita masih memerlukan perlakuan khusus bagi bank lokal dan membatasi ruang gerak bank asing.
Masih perlu adanya pembatasan bagi bank asing. Misalnya hanya dapat beroperasi di kota Metropolitan. Juga tidak melakukan ekspansi usaha di bidang kredit usaha mikro, dan kecil. Bank asing didorong untuk memberikan pembiayaan kepada sektor produktif misalnya pertanian, maritim, infrastruktur, pertambangan dan jasa pariwisata.
Bank asing harus membuktikan terlebih dahulu peranannya atau kontribusi terhadap pembangunan nasional. Ketat atau longgarnya ketentuan dan kebijakan otoritas diperlukan dibuat seakurat mungkin sesuai dengan kinerja masing-masing bank asing.
Kenyataannya, bank asing sebagian besar bermain di wilayah aman tanpa kontribusi yang jelas: Kredit konsumtif. Jualan jasa kartu kredit.
Jika bank asing terbukti memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan usaha dan pembangunan nasional secara berkelanjutan, maka tak ada salahnya bank asing tersebut secara individu mendapatkan beberapa kemudahan lain dalam beroperasi.
Isu lain yang perlu diangkat dan mendapatkan rumusan yang terbaik dan cocok bagi kondisi Indonesia adalah semangat mengharuskan kantor cabang bank asing untuk mengubah status badan hukumnya menjadi locally incorporated dengan mendaftarkannya menjadi Perseroan Terbatas dengan berkedudukan hukum di Indonesia.
Beberapa cabang bank asing misalnya (lagi-lagi) citibank, hingga saat ini bukan berbentuk perseroan terbatas sebagaimana yang diatur dalam ketentuan kita. Mereka hanya cabang dari perusahaan induknya. Belum berbadan hukum Indonesia. Bukan PT. Bank Citibank. Hanya citibank. Titik.
Sudah seharusnya mereka “dipaksa” mendaftarkan diri menjadi PT. Tapi sebagian lain (tentu saja) menolak dan beranggapan tidak perlu.
Sebagian pihak menganggap bahwa ini adalah pelanggaran kesepakatan dengan WTO terkait jaminan kepastian berusaha bagi modal asing di suatu negara.
Maka apakah perlu diambil jalan tengah: Arah kebijakan ini tidak secara gamblang tertuang dalam ketentuan, melainkan nafas dan semangatnya menjadi pokok pikiran para pemangku kepentingan jasa keuangan Indonesia, bahwa bank asing harus segera ganti baju dan memiliki “KTP”.
Secara makro, dengan beralihnya bank asing menjadi perusahaan lokal akan menguntungkan stabilitas sistem keuangan. Karena terhadap kemungkinan dampak krisis suatu negara dimana bank asing juga beroperasi maupun jika negara dimana kantor pusatnya berkedudukan mengalami masalah krisis ekonomi atau semacam itu, maka tidak secara langsung memberikan dampak yang signifikan bagi bank di Indonesia, mengingat permodalan dan ketentuan prudential telah dijalani secara mandiri.
Lalu, perlukah batas waktu kantor cabang bank asing harus mengubah statusnya menjadi semacam perseroan terbatas? Ini soal pilihan. Bagaimana anggota parlemen menyikapi permasalahan tersebut. Kepentingan akan mengemuka. Apakah ini persoalan ekonomi semata? Seharusnya malah tidak. Secara politis pun perlu diperhitungkan. Apakah asing dan tak asing merupakan isu penting, ataukah sekadar alat untuk memperkuat posisi tawar pihak tertentu terhadap pihak lainnya.
Jangan sampai guyonan atau joke semacam bandar narkoba berlaku juga di kalangan jasa keuangan nasional. Apa itu? Bahwa ketika polisi berhasil mengrebek satu bandar narkoba, sejatinya itu adalah informasi dari bandar lain dengan niat hanya satu: menyingkirkan persaingan usaha.
Soal ekonomi sejatinya soal hati. Soal bagaimana mensejahterakan warga tanpa kecuali. Tentang melindungi dan memiliki keberpihakan. Bahkan jika kita mau menaikkan level diskusi, maka soal asing dan tak asing bukan saja soal periuk nasi. Ada yang lebih hakiki: Ini soal harga diri. Bahwa negara tidak alpa dalam mengisi kolom absensi. Bahwa negara sebagain suatu bangsa memiliki harga diri. Berdikari.
Jika ada yang ikut berusaha di negeri ini. Buka pintu lebar-lebar. Jika ternyata tak memiliki kontribusi. Sebaiknya segera jabat erat tangan mereka, dan segera ucapkan: “selamat malam..”.
Soal ekonomi juga soal hati. Bahwa di dalam tubuh yang kenyang, terdapat hati yang riang.
Salam dua jari!
Roy
So,
bantu saya
meyakinkan rakyat Indonesia ( raya tercinta tumpah darahku tersayang ini ),
untuk menggunakan barang-barang yang dibuat, dihasilkan, di usahakan dari negri sendri.
bantu menginformasikan pada orang-orang terdekat bagaimana pentingnya penguatan nilai rupiah bagi kelangsungan hidup anak-cucu mereka,
bantu meyakinkan masyarakat, bahwa apa yang di dapat dari dalam negri adalah yang paling pas untuk dikonsumsi.
jika hanya mengdandalkan pemerintah…
yang kemampuan berfikir dan bereaksinya dibatasi tenaga dan daya tangkap mereka,
saya khawatir negri ini terus berada dalam posisi menggantung antara melejit keatas tak mampu, turun kebawah tak mau, akhirnya bertahan di awang-awang sebelum akhirnya hilang.
mulai bosan dengan isi tulisan : Indonesia with the consumer of 250 milion bla bla bla, Indonesia economic increasing bla bla bla, Indonesia is potential bla bla…
maafkan perspektif yang terlalu jauh dari umum,
tapi kok saya merasa sedang diperlakukan sebagai kijang liar buruan yang berdaging padet dan lincah yang diburu kaum borjuis hanya untuk kesenangan dan kebanggaan.
hmmm…
iya kalau dianggap kijang,
cantik
kalo dianggap babi…atau anjing…
kan
Asu
SukaSuka
dan aku (terjebak) membaca artikel semacam ini di kala #malamminggu
se su a tu
SukaDisukai oleh 1 orang
hahaha… merasa asing?
SukaSuka
Hehehe…
Ada satu kasus, investor lokal mau bangun power plant. Ga ada bank lokal yg mau gelontorkan dana. Akhirnya, nekat ke bank asing Negeri Panda, pun pakai pendekatan cangcingcong akhirnya dapat. Power plant dibangun, beroperasi. Kredit berjalan. Setelah itu ujug-ujug bank lokal mendekatkan diri.
SukaSuka
nah ini bank asing yang perlu dipelihara.
SukaSuka