Lalu Kita Bersandar Di Bebatuan Pinggir Sungai, Dengan Kaki Merasakan Alirannya. Angin Semilir, Udara Sejuk, dan Kita Menikmati Sore dan Merayakan Hidup yang Kerasan.

Mary Shelley mulai menulis kisah Frankenstein ketika ia berumur 18 tahun. Edisi pertama dipublikasikan dengan tanpa nama pengarangnya setahun kemudian di London yaitu pada tahun 1818. Nama Mary baru muncul pada edisi kedua yang terbit pada tahun 1831.

Frankenstein berkisah tentang Victor, seorang ilmuwan Swiss, yang lahir di Jenewa dan dibesarkan orang tuanya untuk memahami dunia lewat ilmu pengetahuan. Ketika kanak-kanak, ia melihat petir menyambar pohon, lalu bertanya-tanya itukah sumber kehidupan? Apakah manusia dapat menciptakan manusia lain?

Si tokoh Victor yang gila,  mulai bekerja untuk meniru ciptaan terbesar Tuhan. Ia membuat monster dari serpihan dan potongan orang mati. Serpihan dan potongan tubuh itu disatukan dengan cara dijahit bersama, dan dihidupkan lagi menggunakan listrik dari petir. Tak perlu dikatakan, terlepas dari semua yang telah dilakukannya, eksperimen itu jadi lepas kendali. Kisah ini saya kutip dari beberapa sumber di wikipedia.

Frankenstein

 

Salah satu sumbangan terbesar para pendebat paling masyhur sejagad raya, atau kita sebut saja “para sarjana di bidang hukum” adalah konsep yang dinamakan dengan badan hukum. 

Corporation. Corpus. Badan. Sebuah konsep ngawang-ngawang, dimana sekumpulan manusia berkumpul dan bersatu, bersepakat atas sejumlah gagasan untuk melakukan usaha dengan satu benang merah: modal. Lalu konsep ini diterima oleh kaum pedagang.

Kehebatan badan hukum ini, oleh siapapun, dimanapun, kapanpun dianggap sebagai “subyek” yang dipersamakan dengan individu manusia yang dapat memiliki hak dan kewajiban. Disebut juga: Orang. Catat,  hak dan kewajiban. Bukan amal baik dan dosa, sebagaimana konsep individu manusia aselik buatan Tuhan.

Karena saking hebatnya konsep ini, maka terciptalah “manusia” bikinan manusia, yang hidupnya dapat ditentukan sejak masa pendirian, Atau dibiarkan abadi sepanjang memiliki modal.

Usia manusia bisa jadi terbentur di angka 75 tahun. Bagaimana dengan Korporasi? Sepanjang akumulasi modal dan laba, dengan pengurus yang silih berganti, hidupnya bisa abadi. Si korporasi silih berganti majikan. Si A, lantas anaknya A, lalu cucunya A, Cicitnya A dan terus-menerus diwariskan hingga kahir zaman.

Jika korporasi dianggap sebagai manusia, maka bagaimana dengan kelakuannya? Akal budi? Kepribadiannya?

Homo homini lupus.  Menjadi pemangsa bagi yang sesama. Cenderung untuk menghabisi kehidupan usaha lainnya. Mencederai pesaing. Ingin lebih unggul dari kompetitor, dan jika memungkinkan, menjadi yang paling unggul dari seluruh “makhluk korporasi” lainnya.

Lahir dari hubungan terang-terangan antara modal dengan modal. Uang yang dikumpulkan. Usaha yang disumbangkan. Lalu dibantu kelahirannya dengan bidan yang kita namakan notaris. Pencatat kebenaran paling otentik di muka bumi.  Untuk menjaga kesehatan, korporasi selalu menjaga stamina: bagaimana menjaga aliran cash-flow-nya. Setiap tahun merencanakan kembali strategi bisnisnya, dan inilah sifat yang agak membuat pusing kepala: Mencetak laba sebesar-besarnya. Tamak? Sudah sejak awal dilahirkan.

Jika ia melahirkan anak, maka ia terus akan berupaya saling mendukung dengan ibu kandungnya. Berupaya menjadi yang terbesar. Membentuk keluarga besar konglomerasi. Jika ada keluarga pesaing pilihannya hanya dua: kerjasama bentuk kongsi, atau bunuh dengan cara menangkan kompetisi.

Bagi saya korporasi adalah keajaiban dan terobosan, atau dapat dikatakan sumbangan terbesar ahli hukum bagi dunia kapitalisme yang sekarang merajalela. Merajai namun ndak sukarela. Merajai dengan semua hal penuh dengan ongkos.

Dalam teorinya korporasi bisa dibentuk oleh dan untuk atas nama negara demi kemaslahatan bersama. Namun akal bulus korporasi telah bersepakat dan menghasut negara dengan untuk dan atas nama efisiensi, modernisasi, namun sejatinya adalah skenario dari keluarga besar kapitalisme: liberalisasi dengan cara privatisasi. Ini semacam: biarkan anakmu tumbuh kembang tanpa perlu diatur dan dibatasi, agar ia menjadi dewasa, tumbuh, bisa main ke seluruh penjuru dunia, dan hidup abadi.

Iya tentu saja ini bukan pemikiran korporasi. Ini adalah pemikiran para pemilik korporasi. Para pemilik modal yang hidupnya adalah laba-laba-laba dan emoh rugi. Para lotus yang hidup di musim kemarau maupun penghujan. Dapat di hidup berkuang lumpur, di atas air, dan mereka yang segelintir menguasai hampir seluruh isi bumi. Creme de la creme.

Agar lebih mapan dan mudah diterima akal sehat, dikembangkan konsep filantropi. Juga konsep tanggung jawab sosial. Ini semacam koruptor yang rajin naik haji. Atau gembong mafia yang rutin menyumbang gereja.

Adakah korporasi yang didirikan dengan konsep untuk hidup dengan mencari sesuap nasi, makan minum secukupnya? Atau mengemban misi “ekonomi cukup”? Hidup ala kadarnya. Sederhana.

Mungkin kita salah dengar. Yang baru disebutkan itu mungkin yang dimaksud dengan koperasi. Korporasi dalam bentuk lain, yang ekslusif, yang hanya memajukan anggotanya, yang katanya soko guru ekonomi, namun hidupnya di negeri ini, dan saat ini, dilibas roda zaman. Koperasi seperti anak baduy dalam yang dilestarikan negara. Diingat hanya karena suaranya masih diperlukan, saat musim pemilihan.

Korporasi adalah perwujudan nyata puisi Chairil Anwar. Korporasi ingin hidup seribu tahun lagi. Frankenstein yang semakin menggurita dan manusia asli saat ini, hidupnya tergantung dari ribuan frankenstein yang menguasai dunia.

Bisakah kita mengendalikan korporasi? Dapatkah arah pri -kehidupan kita, dalam melakukan kegiatan ekonomi kembali ke zaman secukupnya. Tanpa perlu banyak kompetisi, adu gengsi, menjadi paling ter-ter-ter apapun?

 

Di dalam hutan nenek moyangku

Aku hanya sebatang pohon mangga

— tidak berbuah tidak berdaun –

Ayahku berkata, “Tanah tempat kau tumbuh

Memang tak subur, nak!” sambil makan

buah-buahan dari pohon kakekku dengan lahapnya

 

Dan kadang malam-malam

tanpa sepengetahuan istriku

aku pun mencuri dan makan buah-buahan

dari pohon anakku yang belum masak

La condition humaine -1975 (Abdul Hadi WM)

Hari ini hari Sabtu, saat saya berulang tahun. Bertambah usia, dengan harapan secukupnya. Usia secukupnya, rejeki secukupnya, dan bahagia secukupnya. Memiliki harapan secukupnya, mencintai secukupnya dan terus sehat secukupnya.

Saya hanya ingin tetap menjadi manusia. Bukan makhluk zombie, frankenstein, atau bahkan malaikat yang begitu mulia.

Selamat ulang tahun saya. Semoga cukup segala-galanya.

Salam hangat di hari Sabtu.

Roy.

 

7 respons untuk ‘Lalu Kita Bersandar Di Bebatuan Pinggir Sungai, Dengan Kaki Merasakan Alirannya. Angin Semilir, Udara Sejuk, dan Kita Menikmati Sore dan Merayakan Hidup yang Kerasan.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s