Memasuki usia ke-80an, Peter terbaring lemah hampir tak berdaya. Makan pun tak lagi bisa sendiri. Virus yang menyerang seluruh sarafnya perlahan, membuatnya hanya bisa duduk dan menunduk. Tangannya tak lagi bisa diangkat. Kakinya sudah 2 tahun tak lagi berfungsi.
Tinggal di sebuah rumah mewah di negara Kangguru ditemani seorang perawat pribadi dan seorang sanak keluarga yang dengan setia mengurusnya setiap hari. Kekayaannya mampu memberikan fasilitas jasa pijat setiap pagi dan dokter pribadi yang siap dipanggil kapan pun Peter inginkan. Sebuah tombol bel tersedia di genggamannya untuk memanggil.
50 tahun yang lalu, Peter adalah pria paling disegani di keluarga dan kantornya. Usia belia telah menduduki jabatan kedua terpenting pada sebuah bank internasional di Jakarta. Kehadirannya di setiap acara keluarga pun selalu dinantikan. Dia bagaikan penyelamat instan bagi setiap anggota keluarga yang membutuhkan bantuan.
Sebuah rumah mewah di kawasan elit, dibangunnya dengan disain khusus sesuai selera tingginya. 1 kamar utama berukuran 1 unit apartemen 3 kamar di pusat kota Jakarta sekarang, menjadi tempatnya tidur bersama istrinya. Dan 3 kamar berukuran 1 unit apartemen 2 kamar untuk setiap anaknya. Semua untuk mewujudkan impiannya, menghabiskan masa tua bersama anak dan cucunya.
Ketiga anaknya pun disekolahkan di luar negeri. 1 di Australia dan 2 di Amerika sampai jenjang pendidikan tertinggi sesuai kehendak anak. Tak ada batasan dana untuk pendidikan dan kesehatan anak-anaknya.
Anak memang memiliki pilihan kehidupannya sendiri-sendiri. Satu per satu memutuskan untuk menetap di luar negeri setelah lulus kuliah. Membentuk kehidupan dan keluarga jauh dari rumah mewah di kawasan elit yang telah disiapkan untuk mereka.
Jadilah Peter dan istrinya menetap di rumah besar yang sepi. Saking sepinya, mereka berdua bisa saling mendengarkan suara nafas masing-masing. Bahkan sehelai bulu ayam jatuh pun terdengar nyaring sampai ke hati. Kehadiran 3 pembantu, 2 tukang kebun dan 2 supir pribadi tak bisa menghadirkan kehangatan di ruang tamu.
Setelah kepergian sang istri, Peter tak lagi bisa menghadapi sepi. Rumah pun dijual dan pindah ke apartemen. Masih kesepian juga, Peter pindah ke Australia. Negara terdekat dengan negaranya. Dengan harapan bisa lebih sering bertemu dengan cucu-cucunya. Ditambah, badannya perlahan mulai melemah.
Semua dokter terbaik di dunia telah dikunjunginya. Peralatan kedokteran tercanggih telah dicobanya. Dana milyaran telah keluar dari koceknya. Sampai akhirnya seorang dokter tercanggih angkat tangan sambil berkata “tidak ada harapan untuk sembuh, tapi bisa diperpanjang usianya dengan bantuan obat-obatan saja.”
Hari demi hari dilewati Peter di ranjang. Satu persatu teman terdekatnya meninggal dunia. Tak ada lagi yang mengunjunginya. Makanan favorit Peter pun sudah 3 tahun tak pernah melewati kerongkongannya. Perjalanan keliling dunia yang dilakukan dulu bersama keluarganya perlahan lenyap seiring dengan melemahnya daya ingat. Saat cucunya datang pun, Peter tak lagi dapat melihatnya. Matanya senantiasa tertutup dan berair. Peter kini bagai seonggok daging bernyawa di ranjang tanpa kehidupan.
Bukan sebulan dua bulan tapi dua tahun. Dua tahun Peter memperpanjang hidupnya. Peter sempat berkeinginan untuk menghentikan seluruh pengobatan sehingga bisa mengakhiri umurnya. Karena umur tanpa kehidupan bukanlah berkah. Tapi apa daya, keuangan berlimpah membuat anak-anaknya merasa bersalah jika tidak mengupayakan perpanjangan umur ayah mereka. Uang memang bisa memperpanjang umur tapi tidak kehidupan.
“Oom Peter telah meninggal dunia” begitu bunyi sms yang disebarkan ke seluruh anggota keluarga. Entah harus bersedih atau bersyukur. Bersedih karena perjuangan harus berakhir. Bersyukur karena perjuangan sudah berakhir.
Saat semua tempat favorit di dunia tak lagi bisa disambangi. Saat teman-teman terdekat yang membuat hidup berarti, telah lebih dahulu pergi. Saat makanan favorit yang bisa membuat hidup begitu indah tak lagi bisa dinikmati. Saat raga hanyalah umur bukan kehidupan. Masih inginkah panjang umur?
Bukankah usia adalah kuantitas tak berarti kualitas? Lalu mengapa setiap ulang tahun dinyanyikan Panjang Umurnya? Bukankah sebaiknya Panjang Hidupnya?
2 tanggapan untuk “Panjang Umurnya?”
ahhh
Dalam usia yang muda selalu berpesan kepada sesama muda,
selancang-lancangnya pada yang sedikit diatas
“hidup yang penting dinikmati dan makin berkualitas”
hal yang menakutkan menghadapi usia lanjut adalah ketika sudah tidak ada pengharapan akan pencapaian,
mudah2an tidak perlu menghadapinya.
aaahhhh
SukaSuka
“Semoga sehat selalu dan bahagia” tampaknya lebih pas ya. Walau sebenernya hidup tak se-klise itu. Tapi, daripada Panjang Umurnya? :))
SukaSuka