Berbahasa Indonesia

Saya percaya, tak perlulah kita menjadi seorang penulis atau penyunting terlebih dahulu, untuk bisa mengenali kesalahan penulisan, pemborosan kata, maupun ketidakjelasan penyampaian. Sudah semestinya, pengalaman dan pembelajaran bahasa Indonesia yang tak terputus selama 12 tahun lebih, menjadi modal dasar yang cukup untuk mau berbahasa dengan baik dan benar. Setidaknya secara tertulis, agar bab-bab awal skripsi tidak dihujani coretan revisi, dan tidak mengulangi kesalahan sama di sesi-sesi konsultasi berikutnya. Kalaupun tidak kuliah, setidaknya mampu menulis surat lamaran kerja dengan penuh percaya diri.

Sumber: flickr.com

Kata kuncinya ada pada konsistensi dan keteraturan.

Bagi sebagian orang, keteraturan memang membosankan, menancapkan batasan, layaknya sebuah kerangkeng yang menghambat pergerakan. Namun bagi sebagian lainnya–terlebih yang bergelut dengan Obsessive Compulsive Disorder (OCD) linguistik dan visual–keteraturan merupakan sebuah candu, pemberi ketenteraman, sebuah isyarat bahwa semua sedang baik-baik saja. Harap diingat, ini hanya berbicara mengenai tulisan. Media penyampaian bahasa yang kasat mata. Bukan seni sastra, yang pemaknaannya lebih dalam ketimbang Palung Mariana.

Apalagi dalam ranah profesional. Konsistensi dan keteraturan menjadi bagian dari sebuah standar. Agak mengganggu, misalnya, ketika kita menemukan kata “cenderamata”, “cendera mata”, dan “cinderamata” untuk menyebut “kenang-kenangan” dalam satu tulisan. Seolah menunjukkan bahwa sang penulis tidak punya pegangan, atau jarang membuka kamus.

Disayangkan, gangguan-gangguan yang demikian malah marak terjadi pada dunia jurnalistik dalam jaringan alias online. Selalu ada artikel berita dengan kesalahan penulisan di dalamnya setiap hari. Seolah tak ada penyunting yang dilibatkan dalam proses produksi. Bahkan saking seringnya, sampai-sampai kealpaan itu dimaklumkan begitu saja. Dianggap biasa. Menyisakan koran, tabloid, majalah, buku, dan lembaran manual yang terkesan tampil serius dengan gaya penulisan baku.

Pada kasus berbeda, seandainya sang penulis tidak bersedia tunduk pada kaidah baku sesuai kamus, jalankanlah ketidaksetujuan itu secara konsisten. Menjadi sebuah kesepakatan. Contohnya, penggunaan lema “praktek” di majalah Tempo, yang sejauh ini tak pernah digantikan dengan kata “praktik”. Entah apa pun alasannya.

Toh pada dasarnya, penyusunan isi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun didasarkan kesepakatan para ahli bahasa, bukan?

Ujung-ujungnya, dua ilustrasi di atas memang terkesan tidak penting untuk diperbincangkan lebih jauh, bila dibandingkan dengan merajalelanya kasus korupsi, kisruh kriminalisasi KPK, daerah-daerah di Tanah Air yang masih kesulitan air bersih, atau praktik culas dalam penyusunan nama rombongan ke Berlin yang tengah digempur Joko Anwar saat ini. Ingin rebel soal perbendaharaan kata? Ndak mau dan ngerasa ndak perlu memusingkan soal kata baku? Ya silakan saja. Kendatipun ndak jelas apa faedahnya.

Di sisi lain, sebut saja fenomena “Grammar Nazi”. Santer kita temui di semesta maya sejak beberapa tahun terakhir, ketika para penggiat media sosial begitu bersemangat membagi pengetahuan bahasa yang mereka miliki. Sayangnya, riuh untuk bahasa Inggris saja. Sedangkan kekeliruan-kekeliruan nonverbal dalam bahasa Indonesia seolah dibiarkan berlalu. Buktinya, tidak sedikit meme berbahasa Indonesia dibuat untuk asal dibaca dan bikin ketawa. Baiklah, mungkin banyak netizen yang tergelak-gelak dibuatnya, tapi tak sedikit orang yang merasa agak gatel ketika membaca tulisan “dibawah”, “dimana”, “pake” dan sebagainya.

(Abis mau bagaimana lagi? Namanya juga untuk main-mainan doang.)

(Iya juga sih.)

IMG_8253IMG_8246

Teruntuk para Influential Copywriter seantero Nusantara, kami titipkan harapan ini di pundak kalian.

Berbicara soal gatel di lapisan berikutnya. Lebih gatel mana antara penulis dan penyunting soal produk bahasa? Penulis mencari dan kemudian gatel menumpahkan ide menjadi sebuah tulisan. Tentu ada pesan yang ingin disampaikan, dan tak sedikit yang mampu menggerakkan perubahan zaman. Sedangkan penyunting gatel untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan, sebelum akhirnya tulisan itu beredar lebih luas. Sebagai the second eyes, penyunting bertugas untuk menghilangkan, minimal mengurangi kesalahan semaksimal mungkin.

Dalam lingkup jurnalisme cetak, penyunting alias redaktur seolah memiliki kedudukan lebih tinggi ketimbang penulis alias wartawan. Apa pasal? Sebab di tangan redakturlah tulisan divonis layak terbit atau tidak. Bukan vonis buta, idealnya. Lantaran redaktur juga bertugas mengarahkan wartawan untuk memperbaiki tulisannya; menambah data, melengkapi konfirmasi, memilih angle dan fokus penulisan, termasuk mengganti kata-kata yang penggunaannya meleset. Wajar, sebab ada beban moral yang melekat pada setiap tulisan yang dipublikasikan. Baik berupa tanggung jawab kepada masyarakat, maupun pihak-pihak yang dicantumkan sebagai subjek tulisan. Belum lagi mesti dikejar-kejar tenggat, yang akhirnya sampai membuat Kompas merilis edisi Stop Press 24 Januari lalu, walaupun khusus hanya untuk wilayah edar Jakarta dan sekitarnya.

Berbeda pula dengan lingkup penerbitan buku. Penulis menjadi bintang utamanya. Penyunting seolah menjadi rekan yang merapikan dan memoles tulisan seperlunya. Laiknya tahap finishing. Itu sebabnya nama penyunting ditulis kecil di halaman identitas buku. Biasanya terletak pada halaman dengan penanda angka Romawi bukan kapital.

Untung saja ini adalah Linimasa. Bukan media penyaji berita. Tempat kita bersuka-suka. Tapi dari sini, bolehlah kiranya kita mulai mencicipi nikmatnya berbahasa Indonesia yang sepatutnya. 🙂

Kalau menurutmu, gimana?

[]

By:


17 tanggapan untuk “Berbahasa Indonesia”

  1. Menggunakan bahasa dengan benar itu adalah salah satu bentuk penghargaan kita terhadap diri kita sendiri. Menggambarkan kita. Kita merasa seolah-olah mahir berbahasa Inggris lebih keren daripada berbahasa Indonesia. Padahal gramatikanya juga ngawur. Makanya salon-salon pada nawarin “faecel, fasial, faisal, dll…”.

    Suka

  2. Belakangan saya juga sering merasa “gatal” akibat beberapa penulis yang kekeuh pakai huruf kecil setelah tanda titik. ya. semacam. ini. nih.

    Suka

  3. Suka gatel lihat blogger blogger ABG yang notabene masih pakai seragam sekolah tapi nulis “di mana” aja masih “dimana”. Mungkin mereka ketiduran waktu pelajaran bahasa Indonesia. Hehehe.

    Suka

  4. Editor saya selalu menekankan semua kata dasar yang memiliki huruf awal KPTS harus melebur apabila diberi awalan, yang benar itu ubah bukan rubah dan yang lainnya. Dulu sih saya sewot, tapi sekarang saat saya harus belajar jadi editor kesalahan penulisan “di mana” jadi “dimana” sudah bikin cukup senewen. hahaha

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: