Masih Januari

Terlalu lekas waktu berdampak.

Baru pekan keempat 2015, sejibun peristiwa sudah terjadi. Tak perlulah saya sebut soal hiruk pikuk yang terjadi di negara kita, apalagi di belahan lain dunia. Terlalu jauh, bahkan boleh dibilang terlalu tidak signifikan dengan kehidupan kita masing-masing. Bukan menganjurkan untuk bersikap apatis nan individualistis, melainkan kembali mengingatkan bahwa standar “penting/tidak penting” setiap orang punya ukuran berbeda.

Ketika semua orang memang berhak berkomentar, namun senyaring atau sehebat apapun komentar itu, ya sekadar komentar. Paling jauh hanya bisa dijadikan penanda keberadaan, eksistensi, itu pun di akun media sosial masing-masing, atau isi blog yang bisa dibaca umum, lalu kembali ditanggapi. Komentar untuk komentar. Toh, pada kenyataannya, justru komentar yang sayup-sayup disampaikan dalam ketertutupan jauh lebih didengarkan si empunya kepentingan. Itu artinya, kemungkinan besar bukan komentar Anda, apalagi saya. Jadi, tak perlulah buang tenaga percuma.

Kembali soal pekan keempat 2015. Momen-momen penting bisa saja berupa peristiwa sepele, bagi sebagian orang. Kesempatan memenangkan arisan bulanan perdana misalnya. Sambil menunggu payroll dikucurkan dari atas, isi dompet mengalami kelegaan. Dengan kelegaan itu juga, akhirnya bisa menunaikan janji ingin membawa kerabat memeriksakan kesehatan paru-parunya. Maklum, sedang musim penghujan. Yang bersangkutan selalu terbangun dengan keadaan sesak napas saban ba’da subuh.

Ada yang harus mempertanyakan kesiapan diri menjalani komitmen, dan ketegaran menghadapi perubahan dalam hubungan. Saat sang kekasih memutuskan untuk meneruskan studinya di Amerika Serikat. Enggan memberikan kepastian kapan pulang. Ikatan emosional terancam di ujung tanduk. Adu argumentasi pasti terjadi, siapa saja menjelaskan apa saja. Menjadi titik untuk mempersiapkan diri menghadapi semua yang mungkin terjadi.

Berbanding terbalik dengan kisah sebelumnya, ada yang tengah bersiap-siap kembali ke Tanah Air. Mencoba untuk hidup di lingkungan yang masih masuk “daerah kekuasaan”: banyak rekan dan handai tolan. Kembali menjejakkan kaki di tanah yang dihuni orang-orang dengan perangai beragam. Orang-orang yang sayangnya–mengutip isi pidato kebudayaan yang disitat Mas Roy Sayur dalam tulisan Sabtu lalu, memiliki lima ciri khas buruk dan satu ciri khas baik. Tapi tenang saja, sikap kritis nan rebel justru tumbuh subur dalam suasana yang tidak stabil polaritasnya. Sepulangnya ke kampung halaman, besar kemungkinan keberadaan si polan bakal lebih mengemuka. Lebih sukses pun. Amin!

Ada yang sedang tersenyum kecut, lantaran aplikasinya ke luar negeri ndak tembus. Akhirnya mencoba menghibur diri dengan beralibi bahwa cuma orang pinter nan hebat saja yang bisa menembusnya, dan masih ada kesempatan-kesempatan berikutnya. Baiklah. Barangkali sehabis ini, ada segudang peluang yang siap dijalankan. Siapa tahu.

Masih soal fase hidup sepasang manusia, ada yang melangsungkan pernikahan tahun ini. Ibarat seremoni gunting pita meresmikan ruko baru, pernikahan menjadi penanda diawalinya sebuah perjuangan baru. Pernikahan dengan segala macam alasan yang mendominasinya. Sedangkan di bawah instalasi-instalasi atap seng lainnya, ada pasangan yang baru berbaikan kembali. Akhirnya bisa saling mengecap kehangatan dan manisnya status nikah muda. Sebaliknya, ada yang baru pertama kali geger besar. Sebuah pengalaman anyar yang berujung pada tiga kemungkinan: menguatkan, mematahkan hati, atau malah cukup sekadar tahu.

Ada yang mendadak mengalami perombakan struktur kerja di kantor masing-masing. Mendadak, lantaran keputusan tersebut diambil dengan kesan gali lubang ketika sudah kebelet buang air besar. Tanpa persiapan dan proyeksi kerja yang jelas. Sehingga formasi yang dimodifikasi, masih kabur apa implikasinya. Siapapun yang mengalami ini, tentu boleh dibilang telah mencicipi perubahan ala tahun baru.

Ada yang tiba-tiba gemar merenung. Kejenuhan membuatnya bertanya: “mau ngapain?” Pertanyaan yang mestinya terlintas dalam pikiran semua manusia, setidaknya beberapa belas menit setelah belakang kepala menyentuh bantal. Berusaha tertidur, memisahkan diri sejenak dari ingar-bingar kehidupan.

Sumber: devianart

Keriuhan dalam hidup seringkali memaksa kita semakin menjauh dari impian, aspirasi, tujuan utama, cita-cita, harapan. Seolah membuat kita menjalani hidup dalam labirin, yang ironisnya kita bangun sendiri. Makin kompleks kehidupan kita, makin rumit pula percabangan alur labirinnya. Temboknya pun makin kokoh, setiap kali kita merasa ketambahan beban. Bisa bikin terjebak seumur hidup.

Apapun yang tengah terjadi, baik atau buruk, itulah komponen pengisi hidup kita saat ini. Dan apapun yang tengah terjadi saat ini, baik atau buruk, jelas berpengaruh pada apa yang akan terjadi nanti. Dengan demikian, apapun alasannya, tidak ada yang perlu disesali. Toh, sang waktu tetap terus berlari.

Ada sebuah kelakar yang cukup populer di kalangan Buddhis hingga saat ini: “Saat diterpa keburukan, bergembiralah. Saat mendapat keberuntungan, bersedihlah.” Bergembira dalam kemalangan. Itu artinya cadangan buah karma perbuatan buruk berkurang. Sebaliknya, meratapi keberuntungan. Itu artinya cadangan buah karma perbuatan baik juga berkurang. Dengan catatan tetap bijaksana. Tidak mencari-cari kemalangan atau mendekati penyebab musibah, dan tidak menolak kebaikan atau menepis keberhasilan.

Namanya juga kelakar, besar kemungkinan keliru. Entahlah. Tergantung bagaimana Anda mencernanya. Namun dari kelakar ini, tersirat petuah bahwa janganlah terlalu lama digoncang kesedihan maupun dibuai kebahagiaan. Ketika mengalami kemalangan, petiklah pelajaran dan berhati-hatilah di masa depan. “Jangan menyemai bibit karma buruk lagi.” Sedangkan ketika menikmati keberhasilan, jangan lupa daratan dan terus lakukan yang terbaik di masa depan. “Semai bibit-bibit karma baik baru.

Perpetual causality, life it is.

Bersyukurlah Anda, yang saat ini sedang merasa berbahagia. Sedangkan bagi Anda yang tengah merasa berbeban berat, bermuram durja, penuh keluh dan penolakan, semoga lekas diringankan. Minimal, mampu menjalaninya tanpa menambah beban pada diri sendiri. Jangan lupa, ini baru Januari. Masih ada sebelas bulan lainnya yang siap dijalani, dengan misterinya sendiri-sendiri.

[]

Satu respons untuk “Masih Januari

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s