Perlu Judul?

Bersikap kaku dan aneh, terlalu formal, ndak fun, cenderung menakutkan, susah didekati karena aura yang intimidatif, selalu bertentangan dengan pendapat orang lain, negatif, irit bicara, tapi kalau sekali bersuara langsung nyelekit cocok buat digampar, seringkali congkak, dan sebagainya, dan sebagainya. Demikianlah kata mereka. Tentang saya. Sejauh ini. Walaupun tidak semuanya. Diam-diam, ada yang mengangguk di kejauhan. Membenarkan.

Mungkin pendapat mereka benar adanya. Mungkin bisa juga seperti adagium “Tak Kenal Maka Tak Sayang, Sekali Sayang Tak Bakal Lekang”. Ndak ada yang tahu pasti. Tapi gara-gara itu semua, rasanya pengin banget jadi orang yang puitis dengan indera lebih sensitif terhadap hidup dan kehidupan di sekeliling. Juga romantis. Sedikit perubahan dari kondisi yang ada saat ini. Menjadi pribadi yang lebih lunak. Lagi-lagi, ada yang mengangguk di kejauhan. Mengiyakan. Meskipun kata Sang Tathagata, semua hanyalah jerat delusi semata.

Mohon maklum, Guru. Saya masih berusaha belajar membuka mata. Masih jauh tahapannya dari menutup mata, untuk mulai melihat dengan hati.


 

Puitis. Batin yang begitu mudah tergugah.

Ketika melihat sehelai daun–apa pun itu–rontok, jatuh perlahan dari tangkainya. Berpisah. Ia sempat berputar-putar indah di udara selama beberapa saat. Indah dalam ketidakberdayaannya. Kemudian mendarat di permukaan tanah dan pergi terseret angin. Dibawa entah ke mana.

Ketika melihat bulir-bulir air yang menempel di kaca jendela saat gerimis menjelang senja. Mati lampu saat itu. Titik demi titik. Beberapa di antaranya bertemu, menyatu, menjadi lebih besar. Cukup berat, hingga meluncur perlahan kemudian. Mengalir, berkumpul dengan sesamanya.

Ketika melihat sang kekasih. Tertidur pulas. Bibirnya terkatup rapat. Hangatnya masih berbekas. Damai, meski hanya berbungkus selimut bergambar beruang cokelat dari perut ke bawah. Lehernya sedikit berkeringat, gerah tampaknya. Akrab dengan aromanya. Dengkurnya halus, tapi terus ada. Seperti energi yang sengaja dipenjara, agar siap menggila saat kembali dilepaskan esok harinya.

Maaf. Picisan. Akan tetapi sekiranya demikian. Membantu memaknai hidup dengan kesan berbeda. Rehat sejenak dari dunia yang tergesa-gesa.


Romantis. Hati yang lebih lembut.

Ketika bisa menjawab semua pertanyaan “buat apa?” dengan kalimat “demi cinta.

Tahi kerbau memang. Tak bisa bikin kenyang memang. Hanya saja, hampir seisi dunia masih terlampau mudah dibuat takluk olehnya, oleh sesuatu yang sampai saat ini belum saya anggap sebagai sebuah keniscayaan. Sesuatu yang berada di luar akal sehat. Sesuatu yang kerap kali mengganggu dan menyusahkan. Membuat kita makin hanyut dalam keadaan. Tapi tetap ada, dan terus kuat mencengkeram.

Kenyataannya, saya bukanlah kekasih. Masih sangat jauh dari kualitas itu. Mbuh, saya sendiri enggan, dilucuti dengan yang namanya cinta. Dibuat telanjang, bergumul, dan menjadi pecinta. Itulah sebabnya, dengan mudahnya saya bisa berbicara: “aku cinta kamu?

Lebih dari sekadar urusan raga. Cinta memang–yang selama ini saya yakini–jauh lebih tinggi. Nisbi dari berahi; menjadi bagian sekaligus terpisah jauh. Bikin mabuk. Saking mabuknya, sampai-sampai banyak yang bingung membedakan keduanya. Kabur. Samar. Harus ditampar. Begitu muntah, isinya mulai dari puja-puji sampai caci maki. Tergantung apa yang masuk sebelumnya.

Ndaktaulah bagaimana. Jangan tanya soal cinta sama saya.

 


Dari ihwal puitis sensitif dan romantis di atas, intinya cuma satu: saya pengin berubah. Angka tahun yang bikinan manusia aja berubah, masa’ saya yang manusianya ndak ikut berubah? Cita-citanya sih mulia, berubah menjadi persona yang lebih baik, akal budi, simpati dan perasaannya. Minimal berubah jadi baik bagi diri sendiri, syukur-syukur juga bisa dirasakan orang lain. Tapi lagi-lagi, ndaktahulah nanti bakal seperti apa. Biarlah saya berusaha semaksimal mungkin, sendiri. Kalau nanti perlu bantuan, paling juga nyari sendiri. Ya kan?

Juga ndak paham, mengapa mendadak bicara soal ini sekarang? Padahal ujung akhir tahun tepat jatuh di piket pekan depan. Tadinya malah pengin bicara soal film Bollywood teranyar yang masuk Indonesia: “PK”. Film yang ternyata jauh lebih transendental ketimbang ceramah-ceramah agama beberapa abad belakangan, dan/atau Mbak Fahira Idris, dan/atau FPI, dan/atau para pendeta yang berhasil mendirikan denominasi sendiri saking hebatnya berkhotbah, dan/atau para penyelenggara upacara pembakaran kertas nama demi “kavelingan” di surga dengan ajimat suku kata-suku kata tertentu, maupun kelompok-kelompok sayap kanan lain dari agama apa pun. Biar. Nanti saja dibahasnya. “Esok kan… masih ada…,” begitu katanya mendiang Utha Likumahuwa, kepada seorang nona manis. Lagipula toh di Linimasa sudah ada Mas Nauval, jawaranya urusan film.

Kembali soal harapan untuk berubah tadi. 2014 bakal berakhir sebentar lagi. Beberapa perubahan–atau upaya menujunya tengah saya usahakan. Orang-orang idealis lebih suka menyebutnya sebagai resolusi. Barangkali Anda juga punya resolusi masing-masing. Baik yang moril maupun materiil. Asal jangan ill-will. Soal kesan dan kenangan, mungkin bakal saya tulis pekan depan. Yang pasti, saya ingin membuka tirai beledu baru panggung 2015 dengan sejumlah kebaikan. Meninggalkan keburukan-keburukan yang merugikan orang lain. Mudah-mudahan bisa jadi kenyataan. Toh kebaikan itu universal. Baik ya baik, apapun perbedaannya. Buruk ya buruk, apapun alasannya.

Selamat Natal. Selamat berlibur. Tuhan, memberkati kita.

[]

6 respons untuk ‘Perlu Judul?

  1. Padahal, menurutku, kamu sudah sangat perhatian dan terkadang romantis. Memang, ndak perlu jadi puitis untuk bisa romantis, Long.

    Aku sih cinta kamu apa adanya, Long. Gak perlu berubah. 🙂

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s