Setahun Sekali

Tiga hari lagi, umat Nasrani akan merayakan hari Natal. Tujuh hari kemudian, dunia akan merayakan pergantian tahun. Kedua hari besar tersebut dipenuhi dengan harapan. Hari Natal  dipenuhi dengan harapan abadi akan perdamaian dunia. Dan malam Tahun Baru yang dipenuhi dengan harapan akan kehidupan yang lebih baik.

Harapan adalah api abadi yang menyemangati hidup. Memberikan alasan untuk bangun dari tidur setiap pagi. Menggerakkan kaki melangkah untuk mencapai tujuan dan tangan untuk bekerja dan berkarya. Harapan adalah energi dahsyat yang bisa membuat Bandung Bondowoso membangun seribu candi. Menguatkan Suciwati Munir selama delapan tahun berdiri di depan Istana Negara setiap hari Kamis. Dan menjadi semangat ribuan anak muda mengantri untuk membeli tiket konser Suju.

Harapan memiliki sisi balik bernama Kekecewaan. Saat harapan tak tercapai, segala perjuangan terasa sia-sia dan sering disertai dengan kemarahan dan kesedihan. Tuhan pun diharapkan hadir setiap saat. Berdoa saat berharap di awal, dan berdoa lagi saat kebahagiaan atau kekecewaan di ujung. Di mana Tuhan berpihak saat ada dua harapan pada kedua kubu, menjadi misteri abadi. Untuk kemudian disebut takdir.

Keluarga Ade Sara tentu berharap Ahmad Imam Al Hafitd dan Assyifah Anggraini dihukum seberat-beratnya. Sebaliknya, keluarga Ahmad Imam Al Hafitd dan Assyifah Anggraini berharap hukuman seringan-ringannya. Korban Lapindo tentu berharap ganti rugi sebesar-besarnya. Sementara Lapindo berharap tidak perlu ganti rugi. Petani cabe tentu berharap harga cabe yang tinggi dengan daya beli tinggi, sementara pedagang sambal berharap harga cabe serendah mungkin agar bisa untung lebih besar. Indonesia berharap dolar Amerika serendah-rendahnya, dan Amerika berharap tetap menjadi negara Adi Kuasa.

Tuhan bagaikan Hakim Agung yang diharuskan bisa memberikan jawaban seadil-adilnya akan harapan umat manusia. Manusia berusaha, Tuhan menentukan. Dan kalau belum puas dengan keputusan Tuhan, buat sebagian manusia, masih ada kekuatan ilmu lain. Cinta ditolak, Dukun bertindak. KPK mendatangi, Tuyul menghalangi. Bisnis gagal, Santet menyelamatkan.

Maria yang sedang hamil tua, naik keledai dituntun suaminya Yosep mencari penginapan. Namun tak satu pun yang mau membukakan pintunya karena mereka miskin. Sampai akhirnya Maria melahirkan bayi Yesus di kandang domba. Ini adalah dongeng dahsyat tulisan manusia yang melintasi ruang dan waktu. “Sesungguhnya, tidak seorang pun yang tahu kapan persisnya Yesus dari Nazaret dilahirkan ke dunia ini. Tidak ada suatu Akta Kelahiran zaman kuno yang menyatakan dan membuktikan kapan dia dilahirkan. Tidak ada seorang saksi hidup yang bisa ditanyai” – Ioanes Rakhmat

Kelahiran bayi Yesus, disimbolkan sebagai pembawa harapan akan terang. Cahaya di ujung lorong gelap. Pembawa damai diantara perseteruan manusia. Sang Sejahtera yang akan menyelamatkan dunia dari kemiskinan. Sang Waktu yang akan memberikan usia lebih panjang di dunia. Raja Cinta yang akan mendekatkan setiap insan dengan pasangan hidupnya. Peace on earth, seruan doa dunia di malam Natal berabad lamanya.

Dunia menaruh harapan pada dongeng? Pada khayalan penulisnya? Yesus diperlakukan setara dengan Dukun, Tuyul dan Santet? Bahkan di cerita kelahiran Yesus, ada kehadiran Tiga Raja dari Timur yang membawa dupa, mas dan mur. Yang bukan tidak mungkin dimaksudkan sebagai simbol dari sogokan untuk memenuhi harapan manusia di dunia.

Kandang domba tempat Yesus dilahirkan, ditafsirkan sebagai tempat yang kotor dan hina. Mencerminkan sifat manusia yang tidak ingin dekat dengan kemiskinan materi. Takut miskin. Membimbing manusia untuk menjadi materialistik. Padahal bisa saja diceritakan kandang domba adalah tempat di mana sinar jutaan bintang bisa masuk ke dalamnya melalui atap jerami, menjadikannya tempat termewah dan terberkati di dunia.

Bintang di atas palungan, yang disimbolkan sebagai penunjuk arah bagi manusia yang mencari terang. Sehingga saat kegelapan datang, menjadi menakutkan. Kegelapan dinilai sebagai keterpurukan, hukuman, ketidakhadiran Tuhan, Sang Cahaya Abadi. Padahal, bagaimana mungkin kita memahami terang tanpa kehadiran gelap. Terang dan gelap, saling membutuhkan dan saling memuliakan.

Cerita ini dilatar belakangi kejadian di tahun 8-4 SM. Berabad kemudian, sifat manusia belum berubah. Inilah mungkin yang menjadikan dongeng kisah malam Natal, abadi. Relevan. Menyentuh. Setahun sekali.

kelahiran-yesus

 

By:


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: