Skeptis Manis

Pernah makan buah lai? Kalau pernah, berarti Anda sudah tahu rupa, aroma, rasa, dan tekstur daging buahnya. Tapi kalau belum, ehm, saya coba jelasin ya.

Buah lai terlihat sama seperti durian pada umumnya. Bayangkan buah durian, kulit luarnya berduri cukup tajam. Untuk membukanya, kita memerlukan parang kecil atau pisau daging dengan lempengan besi yang cukup tebal. Dibelah dari pangkal buah, bekas tempat menempel pada ranting. Kecuali kalau Anda sudah lihai, atau punya bekal ilmu kebal, atau punya kulit telapak tangan yang jauh lebih tebal dibandingkan orang kebanyakan, silakan langsung buka kulitnya pakai tangan kosong. Biar lebih gereget. Setelah lai terbuka, Anda bisa menemukan daging buah lai, tertata rapi di penampangnya. Siap dicomot, dan siap mbok emplok.

Berbeda dengan durian, lai memiliki warna kulit luar yang lebih oranye. Rona serupa juga terlihat pada daging buahnya, jauh lebih cerah ceria ketimbang daging buah durian yang umumnya kuning pucat.

Selain itu, Anda juga bisa menemukan perbedaan mendasar antara lai dan durian dari aroma, rasa, dan tekstur daging buahnya. Para pelahap durian pasti sudah akrab dengan aromanya yang kuat. Sama akrabnya dengan orang-orang yang gampang mabuk durian, secara harfiah. Yakni mereka yang pusing dan mual setiap kali mencium baunya. Aroma buah lai lebih unik, dan cenderung lebih bersahabat dengan hidung khalayak banyak. Terbukti–setidaknya dalam kasus yang saya temui selama ini, mereka yang tak sanggup menghirup udara dengan bau durian di dalamnya, ternyata oke-oke saja dengan bau lai. Sekilas namun tetap kuat, aroma lai lebih mirip bau mangga. Wangi sekali.

Bukan aromanya saja yang mirip mangga. Bagi saya, daging buah lai memiliki rasa yang khas. Gabungan antara manisnya irisan Mangga Arumanis, dan rasa daging buah durian yang matangnya pas-pasan. Karakteristik ini pula yang membuat daging buah lai bisa diterima lebih banyak orang, ketimbang rasa daging buah durian.

Perbedaan terakhir ada pada tekstur daging buahnya. Sejauh ini, salah satu masalah yang lumayan mengganggu ketika menyantap durian adalah daging buah yang terkesan benyai alias benyek, terlalu lembek, basah, bisa lumer menempel di jari, dan serat daging buah selalu melekat pada biji. Itu sebabnya, salah satu cara paling efektif dan efisien untuk menghabiskan sepotong daging durian adalah memasukkannya bulat-bulat ke mulut. Setelah itu, bergantung pada keahlian si empunya mulut memberdayakan gigi dan lidah layaknya sebuah tim; bekerja sama menggaruk daging buahnya, menyisakan biji durian yang licin mengilap. Sampai-sampai ada yang bilang, orang yang doyan durian punya lidah yang cukup terlatih.

Nah, daging buah lai memiliki tekstur yang jauh lebih kering, agak liat, dan kalis. Bahkan terhadap bijinya sekalipun. Menyantap buah lai jauh lebih mudah, way less messier, kering, dan bisa hanya dengan digigit saja.

Lalu, bisa muncul pertanyaan: “kalau lai begitu, kenapa kok tidak sepopuler durian? Saya saja belum pernah lihat.” Jawabannya, karena lai adalah buah endemis khas Kalimantan, terutama di Kaltim bagian tengah, juga di Kaltara. Musimnya pun hanya sekali dalam setahun, kalau ndak salah. Boro-boro diboyong ke pulau Jawa dalam jumlah cukup banyak, lah untuk konsumsi lokal saja seringkali pas-pasan. Saya bisa habis sebutir lai, sendirian. Ehehehehe

Sekian, tentang buah lai.

Oh, bukan. Piket hari ini bukan untuk mempromosikan buah lai.

Saya memang sudah menulis berparagraf-paragraf penjelasan dan deskripsi mengenai lai, lengkap dengan fakta pembandingnya terhadap durian. Tujuannya agar Anda, para pembaca yang dermawan (karena telah bersedia menyisihkan waktu dan perhatian), lebih mudah membayangkan beberapa aspeknya.

Efeknya, ada dari Anda yang langsung percaya tentang buah lai. Memunculkan rasa penasaran atau keinginan mencicipi buah yang pohonnya bisa setinggi 20-an meter itu. Tidak mustahil ada yang kepengin banget, saking kuatnya membayangkan aroma, rasa, dan tekstur buahnya. Meskipun barangkali hanya sedikit sekali.

Bagaimanapun juga, Anda yang belum pernah melihat dan merasakan buah lai jangan sampai lupa, bahwa Anda baru sekadar “mendengar” saya berkoar. Realitasnya, sebelum Anda melihat fisik buah lai secara langsung, tetap ada kemungkinan saya melebih-lebihkan cerita, atau bahkan berdusta, kalau jahat. Ndak ada yang tahu isi hati orang, kan?

Menambah bumbu cerita, biar lebih heboh dan laris jualannya, juga supaya terkenal. Manuver komunikasi dan kontak sosial yang lumrah dilakukan beberapa abad belakangan ini.

Sementara itu, silakan diamati. Apa yang terjadi di sekitar kita kini malah lebih parah. Yakni ketika sang penutur, atau mungkin “penjual” terselubung, tidak cuma berusaha membuat sebanyak-banyaknya orang percaya kepadanya demi kepentingan pribadi. Melainkan juga memaksa orang lain untuk turut percaya. Memaksa, berarti menggunakan ancaman, menakut-nakuti, mengintimidasi, meneror, termasuk lewat kekerasan. Padahal, kalaupun sang penutur ingin mati-matian memaksakan ceritanya tentang buah lai, orang lain tetap berhak menolak percaya lantaran memang belum pernah mencicipinya sendiri. Wajar kan.

Okelah si penutur mengaku pernah mengecap rasa buah lai dengan lidahnya sendiri, tapi tetap ndak mungkin dong dilakukan “transfer rasa dan pengalaman” untuk membuat orang lain percaya. Memangnya pakai French Kiss? Apabila ada yang percaya, kemudian terlibat saling silat lidah demi pembuktian rasa, boleh disebut dungu, kan? Sama dungunya dengan percaya modus operandi gombalan para cowok: “Kamu cinta sama aku enggak, Beyb? Kalau cinta, ‘buktiin’ dong.” Hati-hati mulut lelaki.

Lanjut…

Bentuk keparahan yang lain adalah saat si penutur menghimpun pengikut; sekelompok orang yang dengan sukarela menghina serta mengacaukan orang lain, bila mereka tak percaya pada hal sama. Berdebat tentang topik yang tidak penting, setidak penting soal cowok yang mencukur gundul bulu ketek, misalnya. Pertentangan antara kenyamanan berketiak mulus dan simbol maskulinitas.

Akhirnya, mempercayai sesuatu atau tidak, kembali pada pilihan sendiri-sendiri. Akan tetapi, kita adalah manusia dengan akal budi. Diberi kemampuan berpikir, energi untuk melakukan pembuktian, serta intuisi untuk memutuskan sesuatu dengan sebenar-benarnya. Lengkap dengan konsekuensi masing-masing. Toh, tak selamanya kita menjadi seorang anak kecil, yang baru bisa tertidur setelah dibacakan dongeng-dongeng fantastis, atau kelelahan setelah ditakut-takuti soal momok yang bisa muncul dari kolong ranjang. Semenyengankan atau semenakutkan apapun kesan yang ditinggalkan, kebohongan ya tetap saja kebohongan.

Manusia berhak bersikap skeptis, dan itu lebih baik ketimbang kadung heboh, panik, ngamuk, emosional, dan sejenisnya, untuk sesuatu yang belum jelas juntrungannya. Dibikin kecele. Merugikan orang lain, dan diri sendiri.

Jangan sudi dimanfaatkan orang lain, yang ngakunya ndak bohong.

[]

Anyway, saya ndak bohong kok soal lai. Ini fotonya. 😛

Oh ya, jangan lupa, Linimasa ingin menutup 2014 dengan berbagi inspirasi. Ada beberapa paket DVD, original, dengan judul-judul istimewa yang bisa Anda menangkan lewat cara sederhana: menulis dan membagi cerita.

Caranya, bisa dilihat pada posting-an ini.

3 respons untuk ‘Skeptis Manis

  1. Ah benar sekali.
    jadi keinget serial korea yg lagi tayang -Pinnochio.

    “Just because you believe something is true, doesn’t make it true.
    How scary it is , to talk carelessly without knowing the weight of your words.
    A word, a news… can determined someone’s life.”

    Human voice is a powerful thing, i believe.

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s