Apakah kamu pernah jatuh cinta pada aroma tubuh?
Ketika semerbak bau keringat yang menyeruak dari tubuh membuatmu merasa hangat, nyaman, dan kangen. Aku pernah mengalaminya pada suatu ketika.
Begini ceritanya.
—
Ketika pertama kali kenal dengannya, hatiku luluh lantak. Pipi gembil menggemaskan. Poni rambut yang menyentuh alisnya. dan matanya itu lho, berbinar-binar seperti lampu taman. Aku jatuh cinta sejak dirinya memandang aneh wajahku. Binar matanya seperti ingin tertawa. Tapi hatinya menahan diri. Waktu itu, aku memang tak setampan saat ini.
Ketika pertama kali bersalaman, bau tubuhnya bau matahari. Seperti jemuran di loteng kos-kosan. Mustahil jika dikatakan wangi. Tapi entah kenapa, tiba-tiba, aku menyukai dirinya. Suka pada bau tubuhnya. Suka pada ketidakpeduliannya pada aroma.
Alis matanya tebal seperti ada ulat bulu yang menempel pada dahinya. Jika dia mengernyit, dua ulat bulu itu bersentuhan. Aku suka.
Pucuk dicinta ulam tiba. Setiap hari, sejak pertemuan itu aku diperbolehkan menjemput dirinya.
Tugasku simpel. Setiap jam sepuluh pagi bawa mobil Mazda Vantrend warna hijau. Menuju suatu tempat yang memang telah dijanjikan. Setelah sampai, parkir di tepi jalan. Lalu menunggu. Tak lama, perempuan itu muncul. Tanpa basa-basi dia buka pintu sendiri, dan duduk di sebelahku. Gerakan rutinnya pun masih kuingat: Senyum. Lempar tas ke jok belakang, lalu rebahkan sandaran kursinya dan tidur. Jika sudah begitu baru kujalankan mobil dan mengantarnya ke rumah.

Hingga saat ini aku yakin dirinya tidak benar-benar tidur sepanjang perjalanan. Aku selalu membayangkan diam-diam dia mencuri pandang. Apalagi yang kurang? Lelaki membawa mobil, dengan kacamata hitam. Gagah bukan? Ketika tingkat kegagahanku optimal, ada perempuan yang diam-diam memerhatikan. Oh Tuhan, Engkau sungguh jahanam!
Di dalam mobil dia tidak ingin kusetelkan lagu dari CD. Juga radio. Dia lebih menyukai keheningan. kami masing-masing diam. Apa yang lebih indah dari sebuah perjalanan hening, dalam satu mobil, antara lelaki dan perempuan?
Apalagi bau tubuhnya jelas tercium. Jika suatu kali ada yang bertanya padaku apakah surga itu tetap, maka tanpa ragu kukatakan: “Surga itu berjalan, dengan empat roda”. Juga kutambahkan: “Surga itu warnanya hijau toska”.
—
Baiklah, kusebut saja sebuah nama. Sasa. Tapi memang perempuan yang bau tubuhnya membuatku mabuk kepayang ini bernama Sasa. Setidaknya dia memperkenalkan diri dengan nama itu: Sasa. Bukan Miwon atau Ajinomoto. Jangan tanya nama lengkapnya. Sejak pertama berkenalan hingga saat ini, dia tak tahu nama lengkapku. Vice versa. Adil bukan?
“Om, aku panggil Loi aja ya. kalau Roy pasti sudah banyak yang panggil. Om Loi. Om yang bibirnya seksi.”
“Hahaha..“, aku tertawa bangga.
“Hahaha..“, dia tertawa entah kenapa.
Jika ada orang lain yang menyebut namanya, dia akan menengok dan tersenyum. Sasa memang ramah. Senyum dengan bonus poni yang tersibak.
Ketika Tuhan kusebut jahanam, karena memang tuhan begitu jahanam. Bagaimana ndak? Perempuan jelita, dengan wajah ayu memesona, seharusnya dilarang ramah. Pokoknya haram hukumnya. Cantik itu harusnya membuat luka. Cantik itu sebaiknya judes dan menyebalkan. Jadi tidak salah tingkah, kami, para laki-laki untuk menggoda dan tak mendapat apa-apa. Tapi perempuan satu ini tanpa cela. Ketika kugoda, dia balas menggoda. Bahkan bau tubuhnya, yang seharusnya membuat orang lain menjauh, bagiku malah makin jatuh cinta.
Aku. Dia. Tidak pernah end.
—
Apakah ramah adalah bagian dari warisan genetik? entahlah. Masih menjadi pertanyaan bagiku. sasa ramah dan ayahnya pun seringkali tersenyum padaku. Mesem. Sumringah. Jika tertawa, ayahnya akan memamerkan deretan gigi yang kekuningan. Saat senyum, baginya dunia gelap. Tapi bagiku, saat Ayah dan anak tersenyum, dunia sebaiknya segera tutup toko saja. Hari telah selesai. Siap melakukan perhitungan amal perbuatan.
Kami tidak memiliki ikatan darah. Ayahnya kukenal baik. Aku kenal Sasa dari ayahnya. Keluarga Sasa adalah keluarga terpandang. Kakeknya pengacara terkenal di Kota Jogja. Tiyos namanya. Beberapa orang lama Jogja akan mengenal baik keluarga ini. Ayahnya pun seorang pengacara. Jika kamu sempat ke kota Jogja, coba saja cari di yellow pages: Tub. Advokat. Alamat: Sapen, belakang IAIN Kalijaga.
—
Setiap pagi tugasku tetap sama. Naik GL-Pro menuju Sapen. Lalu meminta kunci mobil dan menjemput dirinya. Apakah Ayahnya tidak sempat? Iya. Apakah Ibunya tidak sempat? Iya. Sasa anak masa kini yang kini telah menjadi masa lalu. Dilahirkan dari orangtua yang sama-sama bekerja. Ayah ibunya orang baik. Kekeliruan terbesar dalam hidupnya mungkin cuma satu: menugaskanku untuk menjemput dirinya setiap hari.
Sayangnya sudah lama aku tak pernah lagi menjumpainya. Terakhir aku bertemu dengannya ketika Brasil menjuarai Piala Dunia di Jepang. Wajahnya hingga kini masih terngiang-ngiang. Sasa. Entah siapa nama panjangnya.
“Om Loi! Apa kabar? Sasa kangen!”
SMS itu datang pagi ini. Nomor yang tak kukenal. Tapi siapa lagi selain dia yang menyebut aku dengan sebutan Om Loi. Dalam era whatsapp, langka rasanya ada yang mengirim kabar dengan SMS. Kubalas: “INI SASA? APA KABAR?”
“Om Loi, Sasa sekarang hidup mandiri“.
“Oh iya? Apa kabar Ayah Ibu?” kutanya dengan sedikit basa basi.
“Cerai.”
Aku terdiam. Diam. Dan diam. Lama sekali…
Mobil Vantrend kuparkir di halaman rumahnya. Anak usia tiga tahun loncat dari pintu. Dilupakan kotak makannya. Lupa tas warna pink-nya. Dia berlari dan menyeruduk di pelukan ayahnya. Kusaksikan itu setiap hari. 20 tahun lalu.
Bau tubuhnya masih tercium. Tapi kali ini, semerbak aroma luka.
—
Selamat siang Sasa. Om Loi juga kangen kamu.
5 tanggapan untuk “Kisah Laki-Laki Yang Menyukai Aroma Tubuh Perempuan Dengan Dua Ulat Bulu Di Dahinya”
Jadi ini si sasa anak umur 3 tahun? Jiahaha..
SukaSuka
Om loi jahat,
Aku nangis
SukaSuka
ndak papa. biasanya ketawa-ketiwi pan. :p
SukaSuka
semoga sasa diberi kesehatan dan kekuatan untuk mempelajari arti hidupnya.
Amin
SukaSuka
terima kasih.
SukaSuka