Menjelang akhir tahun, di beberapa kota besar sontak dihujani banyak perhelatan. Di Samarinda barusan digelar Festival Mahakam. Di Yogyakarta tak kurang berturut-turut ada 3 festival film digelar dari akhir November sampai pertengahan Desember. Di Jakarta? Jangan tanya lagi. Di kota-kota lain di dunia? Apalagi.
Mendengar kata “festival”, yang memang berasal dari kata festive atau perayaan, biasanya kita langsung terbayang suasana seperti antrian, keramaian, dan acara yang tak henti-henti. Tak salah memang. Di fashion festival kita berlari dari satu fashion show ke fashion show lain. Di music festival kita bersorak dari satu gig ke gig lain. Di film festival kita duduk menonton dari satu film ke film lain dalam sehari, lalu berhari-hari.

Selama beberapa periode tertentu, entah itu satu akhir pekan atau satu minggu, daya serap perhatian kita sebagai pengunjung dan penonton seperti tercurah dan terkonsentrasi pada satu titik. Lalu dari masing-masing fokus per orang ini terciptalah collective energy yang menghembuskan jiwa dan memberikan nafas di setiap festival, sehingga ia terasa hidup. Iya, energi.
Energi setiap festival inilah yang jadi denyut nadinya. Dia tercipta dari apresiasi penonton terhadap karya yang mereka saksikan. Energi ini bisa terlihat saat tepuk tangan yang membahana saat perancang busana maju dan berjalan bersama para peragawati. Riuh rendah penonton yang berteriak “we want more!” saat penyanyi pura-pura mundur ke belakang panggung. Pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung henti saat sutradara dan pemain film melakukan kegiatan tanya-jawab di akhir pemutaran.

Gegap gempita. Itulah kata yang paling pas menggambarkan suasana festival. Perhatian kita yang terfokus pada satu masa kegiatan. Konsentrasi pembuat karya yang tertuju pada satu masa kegiatan yang sama. Keduanya bersinergi menciptakan one big common bubble, dan kita sama-sama bersuka ria di dalamnya.
Ada energi tersendiri dalam festival. Our appreciation level heightens and increases. Boleh saja musisi yang tampil di festival sudah termasuk kategori “has-been”. Tapi toh nyatanya ketika dia tampil, kita masih tertegun dan bertepuk tangan. Bisa jadi film yang kita tonton di festival, ternyata melempem ketika rilis di pasaran. Itu karena gemuruh tepuk tangan saat tanya jawab dengan sutradara, hanya terjadi di festival.

Jadi, mari kita sudahi tulisan ini. Pasti ada undangan acara yang anda acuhkan di inbox. Coba lihat lagi. Siapa tahu acaranya seru.
Lupakan realita sesaat. Mari berpesta!