Sudah merupakan karakteristiknya, bahwa agama dan segala hal terkait merupakan urusan pribadi. Sehingga tidak sepatutnya dicampuri pihak lain, apalagi diperlakukan dengan seragam.
Sayangnya–setidaknya bagi saya, sebagai negara yang religius, agama mendapat porsi perhatian khusus di Indonesia. Saking khususnya, sampai-sampai lebai dan kerap dijadikan bancakan. Sering terjadi, tujuan dan cara untuk mencapainya tidak sinkron. Tapi kok terus menerus dibiarkan begitu saja? Barangkali karena masih mendapatkan porsi anggaran.
Sesuai jumlah agama yang diakui resmi di republik ini, setidaknya ada lima Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Ditjen Bimas) dalam struktur organisasi Kementerian Agama (Kemenag). Sedangkan rencana pembentukan Ditjen Bimas Khonghucu sebagai agama resmi keenam, katanya masih digodok. Mengingat sejumlah persyaratan yang tampaknya rada sulit untuk dipenuhi. Salah satunya, ada berapa banyak sih Pegawai Negeri Sipil (PNS) penganut Khonghucu, yang notabene warga Tionghoa? Setelah sekian lama mereka mesti “ditampung” dan dianggap sebagai bagian dari agama Buddha, tanpa ada sedikitpun upaya untuk mengenali perbedaan antara keduanya.
…
Lantunan ayat-ayat suci dikumandangkan dengan lantang. Menyentuh kalbu dan berhasil memunculkan ketakjuban dalam batin setiap orang. Namun kemudian, penilaian diberikan. Membuat suasananya tak jauh berbeda dengan sekadar ajang perburuan kemenangan.
Entah dicetuskan oleh siapa untuk pertama kalinya, kelima Ditjen Bimas tersebut seolah memiliki program yang serupa tapi tak sama, yaitu lomba keagamaan. Gagasan awalnya, lomba-lomba keagamaan tersebut diselenggarakan sebagai bagian dari pembinaan keterampilan aspek beragama para umatnya dalam lingkup terbatas. Ciri khasnya: dilakukan secara eksklusif (hanya diikuti penganut agama yang bersangkutan), berjenjang (diawali dengan seleksi di tingkat dasar hingga berakhir pada level nasional), kompetisi regeneratif (ada batasan usia tertentu bagi peserta), dan kontinu (dilaksanakan secara periodik). Meskipun setelah daftar juaranya dirilis, tidak ada hasil evaluasi terkait berhasil-tidaknya acara-acara tersebut menelurkan generasi agamis sesuai harapan. Lagian, kalaupun ada, parameternya pasti abstrak bukan kepalang. Paling banter, hanya menyisakan gaung kebanggaan kontingen provinsi yang berhasil jadi pemenang.
Ada Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), ada Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) bagi kawan-kawan Katolik dan Protestan, ada Utsawa Dharma Gita (UDG) bagi teman-teman Hindu, dan ada Svayaṃvara (dibaca: swayangwara) Tripiṭaka Gātha (STG) bagi yang beragama Buddha.
Di antara keempat lomba keagamaan tersebut, bisa jadi hanya STG saja yang penyelenggaraannya paling membebani pikiran. Dari panitia level seleksi provinsi, sampai ke jajaran penyelenggara tingkat nasional. Pasalnya, nuansa pelaksanaan STG dikondisikan mesti seragam dengan lomba-lomba keagamaan lainnya. Sehingga tak jarang terkesan dipaksakan.
Ada sejumlah perbedaan mendasar antara dinamika penyelenggaraan STG dibanding lomba keagamaan lain di Indonesia. Apabila peserta MTQ dan Pesparawi selalu beregenerasi, sangat sulit menjaring peserta STG dari tiap-tiap provinsi. Terutama di daerah-daerah yang sangat minim jumlah umat Buddhanya. Karena itu, petunjuk pelaksanaan (Juklak) seleksi provinsi pun kerap kali terpaksa direvisi, terutama mengenai batasan usia peserta.

Penjaringan peserta pun dilakukan berbasis vihara. Di luar Jawa, umumnya hanya ada satu vihara dalam satu kota/kabupaten. Tidak sedikit pula daerah dengan umat Buddha yang hanya bisa berkumpul dari rumah ke rumah macam arisan.
Pelaksanaan seleksi peserta STG di satu provinsi jarang terbilang rapi dan sesuai mekanisme. Sebagai pembanding, setiap kelurahan mengirimkan kafilahnya untuk bertanding pada MTQ kecamatan. Kafilah juara, akan ditandingkan dengan kafilah juara kecamatan lainnya di tingkat kota/kabupaten. Setelah itu, para jagoan setiap kabupaten/kota akan diadu dalam MTQ provinsi. Pemenangnya pun menjadi wakil dalam MTQ nasional. Pelaksanaannya teratur, memiliki jadwal yang jelas, dan benar-benar berjenjang.
Sementara dalam STG, jadwal seleksi provinsi kerap dibatalkan dan dijadwalkan ulang secara dadakan. Tergantung kesiapan panitia yang dipimpin Pembimbing Masyarakat (Pembimas) Buddha Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag provinsi masing-masing. Bila kelimpungan atau tidak ada lawan, tak jarang panitia lokal melakukan konsolidasi; mempersilakan tim dari kota/kabupaten yang merasa siap, untuk langsung tampil mewakili wilayah. Bisa juga menggunakan sistem tunjuk-bagi; membagi rata jatah cabang pertandingan (sesuai mazhab-mazhab resmi agama Buddha) kepada tim kota/kabupaten dalam penyusunan kontingen provinsi. Bukannya malas repot-repot melakukan seleksi, tapi memang keadaannya tidak memungkinkan. Waktu yang terlampau mepet, anggaran yang tidak seberapa, kepanitiaan sukarela, serta tektek bengek penyelenggaraan yang belum pasti juntrungannya.
Ironisnya, karena terlampau “fleksibel”, jadwal penyelenggaraan STG tingkat nasional bisa turut maju-mundur dengan gampang pula. Kontingen provinsi pun kebingungan mengatur jadwal mereka.
Kemudian, sangat sulit untuk menentukan provinsi tuan rumah penyelenggaraan STG dengan skema rotasi atau kesiapan pelaksanaan. Berbeda dengan tuan rumah penyelenggara MTQ, Pesparawi, maupun UDG yang selalu berubah setiap periode. Tahun ini, STG lagi-lagi diselenggarakan di Jakarta. Bisa jadi lokasinya sama dengan penyelenggaraan beberapa tahun sebelumnya, yaitu Bumi Perkemahan dan Graha Wisata Pramuka Cibubur.
Di samping itu, aspek lain dari penyelenggaraan STG tetap diplot harus sesuai dengan lomba keagamaan lainnya. Bila pelaksanaan MTQ sinergi dengan Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ), STG yang sebelumnya dikenal sebagai Festival Seni Baca Kitab Suci Tripitaka (FSBKST) dihubungkan dengan Lembaga Pengembangan Seni dan Baca Kitab Suci Tripitaka (LPSKST) yang baru dibentuk kurang dari lima tahun belakangan. Tidak salah apabila makin terkesan ikut-ikutan. Reputasi institusi Ditjen Bimas Buddha mungkin dipertaruhkan di hadapan Ditjen-Ditjen Bimas lainnya.
Dengan segala kelemahan penyelenggaraan, sayangnya tidak dibarengi dengan evaluasi konkret dari hasil pelaksanaan. STG yang secara harfiah berarti “Sayembara (Svayaṃvara) Membaca Tripitaka dan Pujian (Gātha)” ini, berasa hanya menjadi ajang adu unggul kemampuan membunyikan teks berbahasa India kuno (Pāḷi dan Sanskerta) dengan cengkok dan pakem cara bacanya saja. Ibarat beo yang diajari menduplikasi suara tuannya sebagai hiburan, tanpa harus repot-repot dipastikan memahami arti suara tersebut. Pendengar maupun juri memang bisa dengan mudah dibuat merinding atau takjub dengan keindahan pembacaan syair Tripitaka, tapi efek tersebut tidak bernilai apa-apa tanpa pemaknaan dan pelaksanaan maksud dari ayat tersebut.
…
Isi tulisan ini memang tidak menyenangkan dan patut diperdebatkan, namun bukan bermaksud untuk menjatuhkan. Sebab semata-mata dihasilkan dari pertanyaan “STG, mau diapakan?”
[]
Damailah senantiasa…harmoni dan selaras…
SukaSuka
Untung ada linimasa. Saya sama sekali belum pernah dengar tentang STG sebelumnya. Baru kali ini tau bahwa ada ajang kompetisi seperti itu.
SukaSuka
Ya mungkin karena eksklusif tadi, jadi hanya penyelenggaraan tertentu saja yg lebih terkenal.
Terima kasih sudah membaca dan memberi komentar. 🙂
SukaSuka