Barangkali hanya ada tiga jenis manusia yang benar-benar “peduli” dengan para pelaku Jilboobs. Pertama, mereka yang kurang kerjaan dan menyangka punya pemahaman lebih tinggi, sehingga merasa pantas mengomentari orang lain. Mereka gerah dengan para pelaku Jilboobs yang dianggap melanggar ketentuan berpenampilan dikaitkan seruan ibadah. Padahal, urusan itu merupakan ranah pribadi antara si pelaku dan Tuhannya, bukan untuk diintervensi sesama manusia.
Kedua, para wanita yang merasa terganggu–risi, insecure, atau diam-diam malah iri–dengan fitur fisik orang lain karena kelewat gampang menarik perhatian. Tidak jarang sikap ini disebarluaskan berupa cibiran dalam pertemuan-pertemuan informal; saat berkumpul di gerobak tukang sayur, ketika arisan, dan sebagainya.
Terakhir adalah mereka yang syahwatnya bangkit karena Jilboobs. Bukan hanya mereka yang ngaceng (straight ataupun bukan) ketika melihat tonjolan payudara dan pantat yang tampak menantang dan menggelisahkan dalam balutan pakaian kencang, bahkan ada yang tegang hanya gara-gara mendengar dan membayangkan arti kata boobs itu sendiri. Lantaran tidak ada yang bisa menjamin isi pikiran seseorang, termasuk efek yang ditimbulkan kala membayangkan/melihat/mendengar/menyentuh/mencium sesuatu. Apapun itu.

Meskipun bermasalah terhadap Jilboobs dengan alasannya masing-masing, tapi ketiga jenis manusia di atas sama-sama menempatkan perempuan ber-Jilboobs sebagai sumber masalah. Tanpa dikomando, mereka semua sepakat bahwa perempuan harus menutup penampilan serapat-rapatnya, terutama dari pandangan laki-laki. Ya, walaupun ujung-ujungnya tetap bermuara pada persoalan tegangan di selangkangan juga.
Di sisi lain, ada beberapa kondisi yang menyebabkan perempuan berjilbab menjadi ber-Jilboobs. Ada yang secara sadar dan sengaja memodifikasi penampilan, hingga akhirnya menjadi pusat perhatian. Bisa jadi mereka memang lebih percaya diri tampil dengan pakaian ketat, sebagai upaya untuk menunjukkan betapa ideal tubuh yang mereka miliki atau betapa fashionable-nya selera mereka berpakaian. Mereka juga senang dipuji, terutama dari sesama perempuan sebagai bentuk keunggulan ego, entah mengenai pilihan busananya maupun bentuk dan gerak-gerik tubuhnya.
Lebih jauh lagi, tidak mustahil ada yang ber-Jilboobs karena merasa lebih seksi. Sebab tak sedikit foto para pelaku Jilboobs yang menunjukkan bahwa mereka terkesan sengaja berpose sedemikian rupa, menonjolkan bagian tubuh tertentu dengan aneka penekanan dan aksi gaya. Misalnya dengan “S Shape”, alias membusungkan dada dan mendongakkan pantat, dan aneka pose lainnya. Bagaimanapun juga, itu hak mereka.
Namun jangan lupa, tak sedikit perempuan yang akhirnya dituding ber-Jilboobs padahal mereka tidak sengaja mengkondisikan hal itu terjadi.
“…Badan saya gemuk, jadi kalau pakai baju pasti ketat,” (regional.kompas.com, 12 Agustus).
Belum lagi predikat Jilboobs yang diberikan secara membabi-buta kepada perempuan berjilbab di tempat gym maupun kolam renang. Karena bagaimanapun juga, aktivitas olahraga yang mereka lakukan akan lebih efisien dengan mengenakan celana spandex plus kaus berlengan panjang yang tidak mudah berkibar, atau kostum renang yang memang seharusnya ketat.
…
“We don’t give a sh*t.” Kalimat itu spontan terlontar, saat ditanya mengenai cara pandang Buddhisme mengenai fenomena Jilboobs.
Jawaban itu memang terdengar kasar, tak simpatik, dan jauh dari nuansa bijaksana. Namun pada dasarnya, “ketidakpedulian” memang diperlukan untuk melihat dengan apa adanya. Sehingga dapat diikuti dengan respons dan tindakan yang sepatutnya.
Secara umum, kebanyakan orang ternyata lebih nyaman menyalahkan orang lain ketimbang mengurusi diri sendiri. Soal Jilboobs, kebanyakan orang lebih fokus meributkan apa yang mereka lihat ketimbang memahami cara mereka melihat.
“Berbusana ini soal sikap. Sikap yang baik membawa seseorang menjadi baik dan sukses, begitu pun sebaliknya. Bagaimana mau dihargai, jika berbusana saja tidak baik,” Asli Nuryadin, Kepala Dinas Pendidikan Kota Samarinda (Kaltim Post, 22 Agustus).
Pernyataan di atas seolah-olah menunjukkan bahwa tidak semua manusia pantas dihargai. Terlebih untuk para perempuan ber-Jilboobs, yang seakan disamaratakan dengan perempuan pemakai rok mini, tank top, dan pakaian berbahan minim sejenis, yang lebih lebih dulu kebagian jatah dipandang dan diperlakukan buruk.
Buddhisme menekankan bahwa kontak indera (phassa) menimbulkan perasaan (vedanā) menyenangkan/tidak menyenangkan. Padahal kontak indera dan perasaan adalah dua proses yang terpisah. Lalu, perasaan akan memunculkan bentuk-bentuk pikiran (saṅkhāra), dan bermuara pada kemelekatan serta memunculkan kehendak. (Disclaimer: Prosesnya tidak sesederhana ini, karena terdiri dari rangkaian proses psikologis yang cukup njlimet.)
Dalam kasus Jilboobs maupun pakaian minim, bisa ditebak dong bentuk-bentuk kehendaknya apa saja. Ada yang benci, ada yang pengin colek, ada yang berpikiran mesum (bahkan dijadikan bancol!), ada yang berani melakukan pelecehan verbal maupun seksual entah dengan alasan khilaf, tak tahan, atau merasa “diundang”, dan sebagainya. Bagi penganut Buddhisme, semua kehendak tersebut menyebabkan kamma/karma. Mekanisme sebab-akibat yang berjalan otomatis. Bila tindakan buruk (lewat pikiran, ucapan, perbuatan) terjadi, yang patut disalahkan tetaplah sang pelaku. Bukan korban, bagaimanapun kondisinya. Toh, se-slutty apapun penampilan seorang perempuan, bukan pembenaran untuk melakukan perkosaan, bukan?
“Bagi beberapa orang, kontak (ketika indera dan objek bertemu) merupakan suatu yang menggairahkan. Dengan demikian mereka terbawa arus dumadi, hanyut di sepanjang jalan kosong tanpa tujuan…”
“Tetapi ada orang-orang lain yang sampai pada pemahaman tentang aktivitas indera… Mereka hanya melihat sebagai kontak saja, dan dengan demikian nafsu keinginan mereka pun berakhir. Mereka mewujudkan ketenangan total.”
(Dvayatanupassana Sutta/Khotbah tentang Asal Mula dan Penghentian: 736-737)
Jilbab–dan pakaian pada umumnya–memang bertujuan untuk menutup tubuh dengan sedemikian rupa. Perempuan memang seharusnya menjaga inderanya pula. Hanya saja, para pria juga wajib berani memegang kendali penuh atas semua tindakannya. Sayang, dalam dunia yang masih dipenuhi nuansa maskulinitas tanpa pengimbang ini, banyak yang beranggapan bahwa ledakan syahwat akibat balutan pakaian itu wajar. Menjadi pengecut untuk mengatakan “tidak!” pada diri sendiri, agar tak berbuat yang tercela. Salah satu contohnya, angka kejahatan seksual di dalam armada Transjakarta masih marak terjadi. Entah sekadar menggesek-gesek pelir ke bagian belakang tubuh korban, atau sekalian memperlihatkan barangnya (padahal enggak bagus-bagus amat).
Tidak ada yang berbeda antara perempuan dan laki-laki dalam rangkaian kontak indera hingga pemberian respons, selain onderdil dan tampilan saja. Seyogianya tidak ada inferioritas-superioritas, dan keduanya harus sama-sama mampu mengatasi kemelekatan dan mengendalikan tindakannya. Bukan lantaran takut ngaceng seketika, lantas anti setengah mati dengan lekukan bodi.
Parahnya lagi, banyak pria yang memiliki standar ganda dalam urusan Jilboobs. Apabila sang pemakai jilbab cantik dan memang memiliki postur tubuh ideal, para pria mah diam-diam menikmati. Malah berusaha mendekati. Tapi kalau yang ber-Jilboobs, maaf kata, tidak cantik dan memang kebetulan berbadan besar sehingga tak bisa menyembunyikan tonjolan tubuh kecuali menggunakan kain ekstralebar, para pria juga bisa mencibir macam lidah pedas ala tante-tante. Kok saya tahu? Lah, kan punya telinga.
Pendekatan lain, Buddhisme juga menekankan bahwa segala sesuatu terbentuk dari gabungan unsur-unsur. Termasuk manusia, baik yang ber-Jilboobs maupun yang melihatnya sebagai sebuah masalah. Alih-alih terangsang atau terganggu saat melihat seseorang yang ber-Jilboobs, seorang Buddhis melihat dan menyadari bahwa yang bersangkutan hanyalah kumpulan dari atom, sel, darah dan pembuluhnya, syaraf, daging dan otot, tulang dan gigi, organ dalam tubuh, kelenjar, lubang, rambut, dan lain-lain hingga akhirnya ditutup dengan kulit. Bahkan kulit/tubuh pun masih harus dibungkus dengan pakaian (yang lagi-lagi merupakan gabungan beragam unsur) agar terlihat lebih indah. Buktinya, banyak pantat dan paha yang terlihat montok berisi ketika dibalut jeans ketat, membangkitkan nafsu alamiah. Namun begitu dibuka, tetap menampilkan selulit dan lemak yang tak sanggup melawan gaya gravitasi. Dengan melihat secara apa adanya dan tidak peduli dengan ilusi perasaan yang muncul, seseorang akan menghindari terjadinya kemelekatan dan mampu bersahabat dengan waktu dan perubahan. Seperti seorang teman, perempuan, cantik pula, yang woles saja ketika harus mencukur habis rambutnya kala menjalani latihan rohaniwan akhir Juli lalu.

(Foto ini ditampilkan atas persetujuan yang bersangkutan)
“Awalnya ragu, setelah itu sadar, aku sendiri suka menderita karena kemelekatanku sama rambutku. Jadi aku mau belajar melepas (perasaan dan kemelekatan) walaupun pelan-pelan…”
Itu sebabnya pula, tubuh telanjang sampai fase pembusukan jenazah merupakan salah objek meditasi dalam Buddhisme. Bukan untuk urusan mistis aneh-aneh, melainkan untuk menyadari bahwa pada akhirnya, tubuh akan rusak, membusuk, menghilangkan keindahan yang sebelumnya mudah bikin tegang. Jadi jangankan Jilboobs, ketelanjangan total pun dianggap biasa saja.
Bisa menjadi konklusi, bahwa kecintaan sekaligus kebencian terhadap jilbab maupun Jilboobs adalah bentuk kemelekatan. Kemelekatan, berujung pada ketidakpuasan. Ketidakpuasan, itu yang bolak-balik disampaikan Buddha dalam ajarannya sebagai sumber sekaligus bentuk penderitaan.
…
Jadi, beranikah Anda berhadapan dengan Jilboobs dan bersikap sewajarnya? Bila Anda bertemu dengan mereka yang berpenampilan seperti itu, buat apa repot? Mereka juga tidak memaksa Anda untuk berpenampilan serupa.
Tenang saja, masih banyak juga kok umat ber-KTP Buddha, tapi kelakuannya masih sama.
Meskipun ini bukan tulisan seorang perempuan, pun bukan seorang muslim, semoga tetap bisa memberi manfaat.
[]
Tinggalkan Balasan ke deztya Batalkan balasan